Ayat ketiga, yaitu “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh…” tentunya membuat akal manusia takjub dan takzim kepada kebesaran rahmat Allah. Sebab, ayat ini bukan hanya menyebutkan ampunan Allah kepada dosa-dosa orang yang bertaubat, melainkan juga menyatakan bahwa keburukan mereka diganti dengan kebaikan. Sedemikian luas kasih sayangNya sehingga alih-alih mengganjar dosa orang yang bertaubat itu dengan siksa, Allah justru memberinya pahala.
Bisa jadi seseorang lantas beranggapan bahwa kalau begitu maka biarlah kita berbuat segala keburukan agar kita kemudian bertaubat supaya kebaikan kita bertambah. Anggapan demikian keliru setidaknya karena tiga faktor;
Pertama, tak ada jaminan bahwa manusia akan terlebih dahulu bertaubat sebelum maut datang menyergapnya tiba-tiba. Tak ada yang mengetahui kapan ajal tiba kecuali Allah SWT yang telah menetapkan ajal bagi manusia. Tentang ini al-Quran al-Karim telah menggambarkan betapa manusia menyesal ketika ajalnya sudah tiba sementara dia belum berbuat sesuai ajaran agama. Allah SWT berfirman;
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”[1]
Kedua, meninggalkan dosa lebih ringat daripada bertaubat. Tak ada kepastian bahwa dia benar-benar bertaubat setelah berbuat dosa. Penyesalan yang merupakan syarat awal taubat tidaklah terjadi dengan mudah. Ada keadaan-keadaan tertentu yang melatar belakangi datangnya penyesalan.
Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Ali as berkata;
ترك الخطيئة أيسر من طلب التوبة. وكم من شهوة ساعة أورثت حزناً طويلاً، والموت فضح الدنيا، فلم يترك لذي لبّ فرحاً.
“Meninggalkan kesalahan lebih mudah daripada berharap taubat. Betapa banyak syahwat sesaat mendatangkan kesedihan yang berlarut. Kematian menyingkap tabir keburukan dunia, maka dunia tidaklah mendatangkan kebahagiaan bagi orang yang berakal.” [2]
Kedua, digantikannya keburukan dengan kebaikan bukan berarti bahwa orang yang berbuat dosa lalu bertaubat lebih banyak pahalanya daripada orang yang tak berbuat dosa. Sebab kebaikan atau pahala yang diberikan kepada orang yang menjauhi dosa atas kesediaannya meninggalkan dosa atau karena besarnya rahmat Allah sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kebaikan dan pahala orang yang berbuat dosa lalu bertaubat. Jelas tidak logis apabila orang yang bertaubat dari dosa disetarakan dengan orang yang sejak awal memang berusaha dan berhasil menjauhi dosa.
Ayat keempat, yaitu firman Allah, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya,..” menerangkan bahwa semua dosa diampuni tanpa ada pengecualian sehingga termasuk pula syirik yang merupakan dosa nomor wahid dan paling dimusuhi oleh agama.
Memang, mengenai besarnya dosa kesyirikan Allah SWT telah berfirman;
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”[3]
Namun ayat ini berkenaan dengan ampunan atas dosa yang tidak disusul dengan taubat, sedangkan ayat “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya,” berkenaan dengan ampunan yang diberikan karena adanya taubat, sebab pada pada kalimat berikutnya Allah berfirman; “Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (mz)
[1] QS. Al=Munafiqun [63]: 10-11.
[2] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 451.
[3] QS. al-Nisa’ [4]: 48.