Ternyata hampir tak ada seorang pun yang tidak bertuhan, atau paling tidak, setiap orang secara sadar atau tidak, mengakui adanya ujung rangkaian kausal dalam dunia kosmik. Ujung rangkaian itu disebut dengan “bukan materi”.
Sedemikian “absolut”-nya pengertian di balik kata ini bagi sebagian orang, sehingga dalam komunikasi Barat, terutama Inggris, “bukan materi” (it’s doesn’t matter) yang juga berarti ‘bukan sesuatu yang penting’ dan “bukan benda” (it’s nothing) yang juga diartikan ‘bukan apa-apa’ atau diartikan ‘tidak ada’. Padahal thing (sesuatu, syay’) mengandung pengertian ontologis yang identik dengan eksistensi.
Setidaknya, sejauh yang penulis pernah dengar, ada tiga pengertian berbeda yang terkandung dalam kemasan kata “matter”, yaitu dalam ontologi, epistemologi (logika) dan kosmologi (fisika).
Baca: Bencana Beruntun dan Keputusan Tuhan
Materia dalam ontologi tidak berbentuk benda, karena ia sebenarnya tidak akan ada tanpa forma. Sedangkan materi dalam kosmologi, terutama dalam filsafat Barat adalah raga, yang merupakan gabungan dari forma (yang memberikan aktualitas) dan potensia atau materia (yang hanya menerima aktualitas). Oleh sebab itu kita menyebutnya “materia” dalam ontologi dan “materi” dalam kosmologi.
Materi dalam fisika modern lebih cocok dengan al-jism atau raga dalam ontologi dan kosmologi Hikmah Muta’aliyah. Yaitu substansi yang merupakan gabungan dari al-maddah (materi) dan ash-shurah (forma). Sedangkan al-mâddah dalam filsafat Islam, adalah sesuatu (al-ma’na) yang menyandang forma (ash-shûrah). Ia tidak berbentuk, karena ia hanyalah potensi semata, bahkan tidak akan pernah ada (sebagai al-mâddah) sebelum memperoleh forma (ash-shûrah) yang memberinya aktualitas (al-fi’liyah).
Hal inilah yang kerap menimbulkan kerancuan. Bahkan ada filosof yang mempertanyakan hyle (hayula) ini karena dianggap beraroma mitos Yunani.
Materi dalam epistemologi dan logika juga tidak sama dengan pengertian materi dalam ontologi (filsafat eksistensi objektif) dan kosmologi.
Baca: Cara Simpel Muhasabah Diri ala Ahlulbait Nabi
Materi dalam epistemologi dan logika Islam adalah muatan proposisi atau pernyataan, seperi subjek (maudhu’) dan predikat (mahmul) sebagai pasangan dari forma proposisi.
Dengan keragaman fungsi dan pengertian di balik kata “materi”, matter, dan maddah, mungkin yang paling mendesak untuk diperbincangkan adalah materi dalam kosmologi saintis atau fisika, karena koherensinya yang sangat rekat dengan tema-tema ketuhanan dan metafisika.
Pengertian “materi” ini sekurang-kurangnya dapat dipisahkan menjadi dua kelompok pengertian yang mencakup pengertian “materi” yang dikemukakan sebelum berkembangnya ilmu fisika modern (fisika mekanik) dan pengertian yang dikemukakan setelah berkembangnya ilmu fisika modern (fisika kuantum).
Materi adalah setiap entitas padat, cair, dan gas atau ion yang dapat diinderakan. Sebenarnya, definisi ini tidaklah sempurna, karena ia hanya menunjukkan ciri-ciri khas benda.
Baca: Tuhan, Manusia, Agama dan Budaya
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah materi (matter) ini menjadi populer terutama pada masa skolastik, setelah Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Ia mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda. Adapun yang dimaksudkan dengan materi prima (prime matter, hyle, hayula dalam kamus ontologi Islam) adalah potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian positif apa pun. Hyle atau materia prima ini selalu menunggu morph (shurah, aktus) yang meniscayakannya untuk “menjadi” (becoming, huduts).
Gabungan antara hyle dan morph inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai misalnya saja emas, perak, atau yang lainnya, serta gabungan antara hyle dan morph sebagai bentuk substansial (bentuk yang menyebabkan benda sesuatu menjadi sesuatu yang individual). Gabungan inilah yang disebut materia sekunda. (Rudolf Allers, 1975) atau dalam ontologi Islam disebut dengan al-jism (body). Ia adalah substansi yang berada di bawah strata intelek (al-‘aql), yang merupakan substansi tertinggi karena memiliki sifat trasenden dan abstrak dan berada di bawah strata jiwa (an-nafs) yang senanatiasa berperan sebagai mediator dan penghuni ranah interval (barzakh). Meski menempati kasta paling rendah dalam masyarakat maujud, ia sangat penting dikenali karena hukum Tuhan diberlakukan atas maujud kala substansi berada dalam kemasan jism (materi kedua).
Dewasa ini pengertian materi pada umumnya diartikan semakna dengan yang didefiniskan oleh Thomas Aquinas sebagai materia sekunda tersebut.
Hendaknya dimaklumi bahwa selama ini para filosof belum mempunyai pendapat yang sama mengenai signifikansi arti dari materi atau benda material ini. Oleh karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every thing that is, is material.” (‘Setiap sesuatu apa pun yang ada itu bersifat material’) selama ini masih menyimpan pengertian yang ambigu (bermakna ganda).
Baca: Antara Tulus dalam Keburukan dan Pamrih dalam Kebaikan
Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka kemudian materi atau benda material tersebut didefinisikan sebagai entitas yang terdiri dari bagian-bagian proses yang mencakup berbagai kualitas fisis.
Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan waktu, ukuran, bentuk, kedalaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan elektrik, gerak (spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness).
(Bersambung..)