Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kedudukan Manusia dalam Sistem Penciptaan

Al-Qur’an membahas asal-usul manusia dari Nabi Adam dengan menekankan pandangan, kecenderungan, dan kemampuan yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Ayat-ayat suci juga menyampaikan tentang kekhalifahan Adam, kemuliaan manusia, serta kerendahan dan kehinaan manusia.

Hal ini menghasilkan sejumlah pertanyaan seperti maksud kekhalifahan Adam, siapa yang menjadi khalifah, apakah kekhalifahan hanya berlaku untuk Adam atau juga untuk keturunannya, standar kelayakan menjadi khalifah bagi Adam, mengapa makhluk lain tidak memenuhi syarat menjadi khalifah, apa rahasia dari dua penjelasan Al-Qur’an tentang kemuliaan manusia, dan apakah ada kontradiksi antara kedua penjelasan tersebut?

Adam sebagai Khalifah Tuhan

Ayat-ayat suci Al-Qur’an membahas kedudukan manusia sebagai khalifah. Allah berfirman bahwa Dia akan menjadikan seorang khalifah di bumi. Para malaikat merasa heran karena manusia cenderung membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan mereka senantiasa bertasbih dan menyucikan Allah. Allah menjelaskan bahwa Dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat.

Khalifah Adam adalah khalifah Tuhan, bukan khalifah dari manusia atau entitas lainnya. Para malaikat bertanya mengapa Allah akan menjadikan seseorang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah sebagai khalifah. Namun sebenarnya, itu adalah permohonan mereka untuk menjadi khalifah, karena mereka merasa lebih layak.

Baca: Penciptaan Manusia: Keterangan Al-Qur’an dan Teori Evolusi Darwin

Kelayakan Adam menjadi khalifah terletak pada penguasaannya atas asma’ secara keseluruhan. Adam diberitahu tentang nama-nama entitas, karunia Tuhan, dan nama-nama Tuhan itu sendiri. Pengetahuannya ini memberikan Adam otoritas kekhilafahan Tuhan. Namun, maksud dari asma’ bukanlah makna-makna yang disepakati secara itibari, tetapi lebih kepada pemahaman yang mendalam dan pengetahuan tentang hakikat entitas sesuatu.

Beberapa mufasir menyatakan bahwa asma’ terkait dengan alam non-materi yang lebih tinggi dari alam malaikat. Ini adalah alam perbendaharaan yang merupakan sumber segala sesuatu, dan entitas di alam ini adalah turunan dari khazanah Allah. Pengetahuan tentang asma’ ini membawa kesempurnaan wujud yang melebihi kesempurnaan malaikat.

Ringkasnya, Al-Qur’an membahas kedudukan manusia sebagai khalifah, dengan Adam sebagai khalifah Tuhan. Adam memiliki pengetahuan tentang asma’ yang memberinya otoritas kekhilafahan. Asma’ ini terkait dengan pemahaman yang mendalam tentang hakikat entitas. Lebih lengkapnya silakan untuk merujuk Al-Mizan fi Tafsir al-Quran karya Alamah Muhammad Husein Thabathaba’i mengenai tafsir ayat pada surat al-Baqarah: 30 – 31.

Kekhilafahan Keturunan Adam

Telah dikatakan bahwa persoalan khilafah dari Tuhan secara mutlak berbarengan dengan peristiwa penciptaan Adam. Ayat ke-30 surat al-Baqarah secara jelas mengemukakan persoalan kekhilafahannya itu. Sekarang, akan dilontarkan pertanyaan berikut: Apakah khilafah ini hanya khusus untuk Adam, ataukah juga diperoleh manusia lainnya?

Dalam menjawabnya, harus dikatakan bahwa ayat tersebut bukan hanya tidak menjelaskan pembatasan kekhilafahan pada diri Adam, bahkan pertanyaan malaikat dalam ayat: “Apakah Engkau akan menciptakan seseorang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah,” menunjukkan bahwa khilafah tidak terbatas pada Adam a.s. Sebab, bila pembicaraan tentang kekhilafahan Adam hanya sebatas itu, maka dengan memerhatikan bahwa Adam adalah seorang suci (maksum) yang tidak akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, ada alasan bagi Allah Swt untuk mengatakan kepada para malaikat bahwa Adam tidak akan membuat kerusakan dan menumpuhkan darah.

Tentu saja tidak boleh dipahami bahwa semua manusia memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah Allah Swt. Karena, bagaimana mungkin kedudukan yang para malaikat sekalipun tidak memiliki kelayakan untuknya dan karena kedudukan itu mereka bersujud kepada Adam as dimiliki pelaku-pelaku kejahatan terbesar sepanjang sejarah yang entah bagaimana, dianggap memiliki kelayakan untuknya? Kesimpulannya, kedudukan ini dikhususkan bagi Adam a.s. dan sebagian keturunannya yang mengetahui semua asma’ (nama-nama teragung) Tuhan.

Karena itu, meskipun manusia memiliki kemungkinan untuk menerima khilafah Tuhan, tetapi yang jelas-jelas memilikinya adalah Adam  dan sekelompok keturunannya yang tersebar sepanjang zaman; minimal, salah seorang dari mereka hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai hujjah (bukti keberadaan dan kekuasaan) Allah di muka bumi. Inilah persoalan yang juga ditegaskan dalam banyak riwayat. Seperti yang terdapat dalam Ushul al-Kafi, jil.1, hal. 178 – 179.

Kemuliaan Manusia

Terdapat dua bentuk penjelasan dalam al-Quran tentang ‘kemuliaan manusia’. Sebagian ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang kemuliaan dan keutamaan manusia yang melebihi segenap entitas lainnya. Sebagian lainnya melontarkan cacian terhadap manusia, sampai-sampai mengatakan bahwa derajat manusia lebih rendah, bahkan dari binatang. Sebagai contoh, dalam ayat ke-70 surat al-Isra disebutkan penghormatan Tuhan kepada anak keturunan Adam dan penegasan atas keutamaan mereka di atas seluruh makhluk lainnya.

Baca: Penjelasan Alquran tentang Penciptaan Manusia Pertama

Pada ayat ke-4 surat at-Tin dan ayat ke-4 surat al-Mukminun, dijelaskan tentang bentuk penciptaan terbaik manusia. Dan pada banyak ayat lainnya ditegaskan bahwa apa-apa yang ada di langit dan di bumi ditundukkan untuk manusia atau diciptakan baginya. Sujudnya para malaikat kepada Adam dikarenakan dia mengetahui semua asma’ dan berkedudukan sebagai khalifah serta pemilik kedudukan yang tinggi.

Semua itu menegaskan kemuliaan dan keutamaan manusia atas makhluk-makhluk lainnya. Di sisi lain, disebutkan pula dalam Al-Qur’an, sejumlah sifat manusia, seperti lemah, rakus, pelaku kezaliman dan tidak bersyukur, bodoh, seperti binatang ternak bahkan lebih sesat darinya, dan berada pada derajat yang paling rendah. Serta menjelaskan bahwa manusia tidak lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya, bahkan lebih rendah.

Apakah perbedaan dua kelompok ayat ini yang menunjukkan adanya kontradiksi di antara keduanya? Ataukah setiap kelompok ayat menjelaskan satu derajat tertentu, atau menunjukkan persoalan yang lain?

Memerhatikan secara seksama aya-ayat tersebut, membawa kita pada pemahaman atas kenyataan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an, manusia memiliki dua jenis kemuliaan; kemuliaan substansial yang berhubungan dengan ontologi, dan kemuliaan iktisabi yang berhubungan dengan pengetahuan nilai (aksiologi).

*Disarikan dari buku Horison Manusia – Dr. Mahmud Rajabi

No comments

LEAVE A COMMENT