Tampak bahwa apa yang dimaksud dari kalimat “… derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah,” pada hadis pertama di bagian pertama artikel ini ialah zuhud dalam arti meninggalkan perbuatan haram dan syubhat sehingga menjadi derajat wara’ yang terendah dan wara’ ini akan meningkat jenjang jika didukung dengan keberhasil meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubhat yang boleh dilakukan atau hal-hal mubah yang mengalihkan perhatian dari mengingat dan zikir kepada Allah SWT. (Baca sebelumnya: Wara’ dan Takwa – 1)
Semakin tinggi manusia dapat mendaki tangga wara’ semakin dekat pula ketenangan dan ketentraman batinnya kepada Allah SWT. Kerena itu hadis tadi melanjutkan, “Derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah.”
Ada tafsiran lain untuk kalimat “derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, yaitu bahwa zuhud di sini ialah keterhindaran dari haram dan syubhat harta, sementara wara’ artinya ialah keterhindaran dari semua haram dan syubhat dan bukan hanya berkenaan dengan harta. Tidak ada kontradiksi antara dua tafsiran tersebut.
Hadis ini sekaligus juga sebagai pesan bagi para peniti mahzab Ahlul Bait as yang hidup di tengah mayoritas umat Islam lainnya agar mengharumkan citra Ahlul Bait as dan mazhab ini. Karena jika seorang Syi’i tidak mengamalkan ajaran Ahlul Bait as maka dampaknya juga akan berimbas pada citra Ahlul Bait as dan mazhab ini.
Arti Yaqin
“Yaqin” bisa berarti keyakinan dengan tingkat kesaksian yang berada di atas apa yang disebut dengan “al-qath’” (kepastian). Al-qath’ sendiri ialah ketersingkapan sedemikian rupa sehingga menghasilkan argumen dan menghilangkan keraguan. Sedangkan yaqin adalah ilmu berupa cahaya yang dipancarkan Allah SWT pada kalbu hamba yang dikehendaki-Nya sehingga tidak bisa diperoleh kecuali dengan bekal wara’ dan takwa yang menyebabkan terbukanya bashirah, yaitu kesaksian yang bukan dihasilkan dengan mata biasa. (Baca: Menjaga Kehormatan Di Sisi Allah – 1)
Disebutkan bahwa yaqin memiliki tiga tingkatan; yaitu ilm al-yaqin, ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Ilmu yaqin digambarkan dengan keyakinan seseorang akan adanya api ketika dengan pandangan matanya dia melihat cahaya api yang menimpa benda-benda sekitar yang terterangi oleh cahaya api itu. Ainul yaqin digambarkan dengan keadaan orang yang melihat langsung api itu. Sedangkan haqq al-yaqin diilustrasikan dengan keadaan ketika orang terjilat api dan merasakan panasnya sehingga keyakinan menjadi klimak. [1]
Takwa dan wara’ adalah sesuatu yang sama. Beberapa riwayat lain juga telah menjelaskan jenjang-jenjangnya, antara lain riwayat bahwa Imam Ali al-Ridha as berkata;
الإيمان فوق الإسلام بدرجة، والتقوى فوق الإيمان بدرجة، واليقين فوق التقوى بدرجة. ولم يقسّم بين العباد شيء أقلُّ من اليقين.
“Iman berada di atas Islam satu derajat, takwa di atas iman satu derajat, dan yaqin di atas takwa satu derajat. Tak ada sesuatu yang dibagi-bagikan di antara hamba-hamba lebih sedikit daripada yaqin.”[2]
Dalam riwayat lain terdapat teks tambahan di mana perawinya, Yunus, bertanya, “Apakah yaqin itu?” Imam menjawab;
« فأيّ شيء اليقين؟ قال : … التوكّل على الله، والتسليم لله، والرضا بقضاء الله، والتفويض إلى الله.
“Tawakkal kepada Allah, berpasrah kepada Allah, rela kepada ketentuan Allah, dan penyerahan kepada Allah.” [3]
Tafsiran untuk kata takwa ini mengacu pada konsekuensi dan pengaruhnya. Takwa sendiri berasal dari kata “wiqayah” yang berarti “penjauhan atau perlindungan” bagi diri, sedangkan dalam terminologi syariat artinya ialah keterjauhan dari azab akhirat, atau dari kemurkaan Sang Maha Penyayang, atau keterlindungan dari keterjauhan dari Allah SWT, dan seterusnya. (Baca: Munajat Para Pencapai Makrifat)
Syekh al-Majlisi membagi takwa dalam tiga jenjang sebagai berikut;
Pertama, keterjauhan diri dari siksa abadi dengan cara mendapatkan akidah yang benar.
Kedua, kerhindaran dari dosa, baik yang berupa perbuatan atau bukan, dan inilah yang masyhur di kalangan ahli syariat.
Ketiga, keterhindaran dari segala sesuatu yang menjauhkan kalbu dari al-Haq SWT, dan ini merupakan jenjang kalangan khusus atau bahkan lebih khusus lagi.
Beliau berpendapat bahwa takwa yang dimaksud dalam beberapa riwayat yang menempatkan takwa di atas iman dan menempatkan yaqin di atas takwa ialah makna takwa dalam jenjang kedua. Sebab jika maksudnya ialah jenjeng yang pertama maka tidak bisa ditempatkan di atas iman. Sedangkan jika maksudnya ialah jenjang yang ketiga maka akan menimbulkan masalah pada perbedaannya dengan yaqin dan kedudukan yaqin di atasnya.
Beliau kemudian menyebutkan bahwa pada jenjang ketiga juga terdapat banyak jenjang lagi sehingga yaqin dapat ditempatkan pada jenjang tertinggi, dan pada gilirannya juga akan sesuai dengan takwa dalam pengertiannya yang ketiga.[4] …
(Bersambung)
[1] Lihat Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 142.
[2] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 52, kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab Fadhl al-Iman ala al-Islam wa al-Yaqin ala al-Iman, Hadis 6.
[3] Ibid, Hadis 5.
[4] Lihat Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 136 – 137.
Baca selanjutnya: Wara’ dan Takwa (3)