Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keharusan Mendahulukan Allah dan Rasul-Nya

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hujurat: 1)

Tujuan turunnya ayat ini adalah untuk menegakkan disiplin moral di dalam prinsip-prinsip Islam dalam diri setiap orang-orang yang beriman. Ayat ini berfungsi untuk menciptakan disiplin moral yang dapat mencegah mukmin sejati dari sikap mendahulukan atau memprioritaskan hidupnya sendiri di atas perintah Allah Swt dan Rasul-Nya. Disiplin ini juga akan mencegah orang dari mengembangkan sikap ragu atau tidak pasti dalam kaitannya dengan perintah-perintah Allah Swt dan Rasul­Nya Saw.

Semangat dan realitas disiplin Islam ini mengajarkan bahwa setiap individu harus mengikuti kebijakan, aturan dan konvensi hukum dari Sumber Yang Sejati, terkait dengan kondisi individu dan masyarakat. Sebagai tambahan, dia benar-benar harus berpuas diri dengan hukum-hukum ini dan harus mengikuti satu pemikiran (hukum Allah) yang jauh lebih unggul dan lebih tinggi dari semua pikiran dan ideologi lainnya.

Mengapa kami berpendapat seperti ini? Kami tahu bahwa undang-undang dan perintah-perintah dalam Islam yang harus dipatuhi wajib diusung oleh orang yang pertama beriman, terutama mampu mengakui sekaligus memahami manusia. Oleh karena itu, seorang pembuat undang-undang mesti mengetahui semua rahasia, terutama masalah tersembunyi dan poin-poin penting yang ada dalam diri manusia dan jiwanya. Jangan sampai ada ambiguitas sebesar zarah pun dalam kehidupan umat manusia yang tidak ditentukan oleh hukum. Selain itu pembuat undang-undang juga harus bebas dari segala macam dosa dan kesalahan serta tidak mempunyai kepentingan terhadap masyarakat yang dapat menguntungkannya. Hal yang sangat menguntungkan akan menyebabkan dirinya merumuskan hukum sesuai kehendaknya sendiri.

Baca: Semua Perbuatan Kita Diketahui Allah Swt, Rasul Saw dan Para Maksumin

Sebagaimana yang kita ketahui, tidak ada seorang pun yang memiliki karakteristik-karakteristik demikian kecuali Sang Pencipta alam semesta. Hanya Dia sendiri yang memiliki pengetahuan penuh tentang pikiran dan batin kita dari dalam dan luar. Hanya Dia yang bebas dosa dan kesalahan dan tidak mengambil manfaat apa pun dari masyarakat. Oleh karena itu setiap orang harus memiliki keimanan sejati dan menuruti disiplin-disiplin Islam yang Dia tetapkan. Mereka tidak boleh menganggap kepentingan dan keinginan mereka sendiri lebih penting dibandingkan apa pun yang telah diputuskan oleh Allah Swt. Sesungguhnya yang harus mereka lakukan adalah mengambil inspirasi dari-Nya saja.

Apabila kita mengabaikan disiplin Islam tersebut dan semata-mata bersandar pada keinginan dan hasrat kita dalam proses merumuskan undang-undang dan aturan, maka lingkup kehidupan kita menjadi persis seperti bala tentara yang dipimpin oleh beberapa komandan. Kendati pun bala tentara sepenuhnya diberi perlengkapan utuh dan siap tempur, mereka pasti akan bingung dan kacau karena dipimpin oleh banyak komandan. Dalam waktu singkat mereka akan mudah dikalahkan oleh musuh sampai hancur berantakan.

Tahapan hidup yang sedang kita tempuh ini laksana pertempuran di garis depan, sementara harapan dan keinginan setiap orang serta masing-masing lapisan sosialnya serupa dengan pasukan yang memiliki beberapa komandan. Jika terjadi perbedaan pendapat antara para komandannya, konflik besar mudah terjadi sehingga pasukan bingung dan kacau. Akhirnya muncullah pengabaian terhadap rasa keadilan antara satu dengan lainnya.

Allah Swt telah menyebutkan pentingnya mempertahankan disiplin dalam mukadimah ayat ini, ketika Dia berfirman: “…Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (dalam kata­kata dan perbuatan)…”

Kemudian dalam ayat ketujuh surat al-Hujurat ini, Allah Swt menekankan kemaksuman Nabi Muhammad saw dan kemustahilan Sang Nabi untuk jatuh ke dalam kesalahan, Dia berkata: “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan.”

Dengan firman ini Allah Swt mengatakan Nabi Muhammad Saw memeroleh semua informasi dan bimbingan dari sumber mata air wahyu dan inspirasi Ilahi, karenanya dalam diri beliau dan dalam kepemimpinannya tidak akan pernah ada kesalahan, bahkan dosa terkecil sekalipun. Namun jika Nabi saw mengikuti (kemauan) orang banyak -dan mereka menjadi mangsa kemauan itu- maka mau tidak mau mereka akan tergelincir dalam bahaya dan kerugian.

Oleh karena itu apabila kita sungguh-sungguh ingin menjadi masyarakat mukmin dan muslim sejati, kita harus menjadikan ayat ini sebagai contoh pola kehidupan kita.

Contoh dalam Sejarah Orang-Ooang yang Mendahulukan Allah dan Rasul-Nya

Sebagian besar mukmin telah mengikuti dan menaati aturan utama Allah Ta’ala yang melegislasikan hukum bagi manusia. Sekiranya hukum itu tidak ada, maka mereka tidak akan bertindak berdasar hukum, atau dengan kata lain mereka akan mengungkapkan pendapat mereka sendiri atas suatu masalah. Namun dengan melaksanakan dan menggunakan pendapat serta kesimpulan sendiri, sesungguhnya orang­orang ini telah mendahulukan kehendak mereka sendiri di atas kehendak Allah Swt dan Rasul-Nya. Padahal tanpa sadar tindakan itu membuat mereka berpaling berdasar ayat yang menyatakan, …janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul­Nya (dalam kata-kata dan perbuatan).

Kemungkinan itu terjadi karena kadang-kadang orang bertindak berdasar imajinasi mereka sendiri atau karena ada di bawah tekanan lingkungan, karena itu tindakan mereka didasarkan pada alam pikiran mereka sendiri dan penilaian pribadi yang bertentangan dengan hukum yang telah disebutkan dalam agama secara tegas. Dengan demikian mereka memberikan gagasan-gagasan mereka sendiri dengan kesucian dan menempatkannya di atas perintah­perintah Akhirat.

Permasalahan muslim pada masa sekarang adalah menempatkan gagasan-gagasan kita sendiri di depan kalangan agamawan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita tidak siap menerima kebenaran dan kenyataan bagi sesuatu yang benar-benar digariskan. Bahkan kami dapat memberikan contoh umat Islam yang berusaha menempatkan pendapat dan gagasan mereka sendiri -yang nyatanya setara dengan menempatkan keyakinan mereka sendiri di atas perintah agama- di atas keputusan Allah Swt dan Rasul Saw. Berikut di antara contohnya:

1) Selama buIan suci Ramadan, di salah satu tahun setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah saw melakukan perjalanan dengan sekelompok sahabat menuju Mekkah. Ketika mencapai tempat yang dikenal dengan nama Kara’ al­Ghamim, Nabi Saw meminta segelas air. Di antara salat Zuhur dan Asar, beliau berbuka puasa dan memerintahkan semua orang yang menyertainya untuk berbuka juga karena Allah Swt tidak memerintahkan puasa bagi orang yang melakukan perjalanan atau safar. Namun sekelompok sahabat yang menganggap diri mereka suci menyangka bahwa jika mereka berpuasa sambil bepergian, mereka akan menerima pahala yang lebih besar.

Orang-orang ini berpikir mereka bertindak sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan menempatkan keinginan mereka di atas perintah Rasulullah Saw dan dengan demikian mereka tetap berpuasa. Kelompok muslim ini benar-benar disebut sebagai kelompok orang-orang yang berdosa oleh Nabi Islam Saw. (Wasail al-Syi’ah, 7/125)

Bencana terbesar bagi mereka terjadi ketika harus maju untuk berjihad (berperang) di jalan Allah Swt. Mereka tidak mengikuti sedikit pun bimbingan wahyu Ilahi. Masing-masing mereka terus mengikuti komandan dan pemimpin mereka sendiri yang bertindak berdasar keinginan sendiri.

2) Selama masa jahiliah menyelimuti Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam, seorang lelaki dilarang menikahi istri anak angkatnya setelah mereka bercerai. Dalam rangka menghancurkan adat dan tradisi yang salah tersebut, Allah Swt memerintahkan Nabi Saw untuk menggugurkan keyakinan ini. Oleh karena itu Dia memerintah beliau menikahi Zainab, istri yang dicerai oleh anak angkatnya, Zaid.

Nabi melaksanakan perintah Allah Ta’ala untuk menikahi Zainab di lain waktu ketika sekelompok orang beriman dalam Islam yang tahu bahwa tindakan dan ucapan Muhammad Saw tidak pernah dilakukan tanpa alasan dan tahu bahwa beliau mengikuti wahyu Allah Ta’ala dalam semua tindakannya, mulai meluncurkan kritik terhadap Nabi. Dengan menggunakan pernyataan sinis dan pendapat pedas, mereka mengatakan pernikahan itu melanggar hukum. Motif mereka melancarkan kritik seperti itu terjadi ketika pikiran mereka sendiri terbatasi oleh budaya dan kebijaksanaan pribadi yang telah diwariskan dari zaman jahiliah, yaitu kepercayaan bahwa menikahi mantan istri anak angkat itu terlarang.

Dalam rangka menghancurkan jenis kritik tidak berdasar yang berakar pada kurangnya iman pada realitas misi kenabian dan ajaran Islam yang mencerahkan, Al­Qur’an memunculkan berbagai ayat. Salah satunya dari rurat al-Ahzab: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang Jain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Baca: Karakter Perjuangan Dakwah Rasulullah Saw Menegakkan Islam

Almarhum Thabrisi menyatakan bahwa kalimat, “janganlah (ucapan dan perbuatan) kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” memiliki arti sangat dalam dan luas. Mereka yang memiliki iman sejati tidak seharusnya mendahulukan pendapat mereka sendiri di atas firman Allah Swt atau kata­kata Nabi Muhammad Saw.

*Dikutip dari buku karya Ayatullah Jakfar Subhani – Tadarus Akhlak, Daras Etika dalam Surat al-Hujurat

No comments

LEAVE A COMMENT