Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menerima Takdir Ilahi dengan Ridha dan Tawakal

Allah Swt mengatakan bahwa tidak ada amalan yang lebih utama di sisi-Nya daripada tawakal dan ridha dengan apa yang telah Dia tentukan. Allah telah menetapkan takdir bagi hamba-Nya, yang kadang-kadang sesuai dengan keinginan mereka dan kadang-kadang bertentangan dengan harapan mereka. Yang diinginkan oleh Allah adalah agar hamba-hamba-Nya merasa puas dengan apa yang telah ditetapkan-Nya, menerima dengan rela takdir yang sudah Dia tetapkan, dan selalu meletakkan ridha Allah di atas keinginan mereka sendiri.

Takdir ini bisa berkaitan dengan hukum agama atau masalah penciptaan. Dalam hal hukum agama, manusia diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan sebagai bentuk ridha terhadap takdir agama. Ini mencakup tingkatan awal takwa, yaitu mengutamakan ridha Allah meskipun tidak semua orang dapat mencapainya. Sebaliknya, para wali Allah dapat mencapai tingkatan di mana mereka merasakan kelezatan dalam beribadah dan merasa bahagia dengan meninggalkan yang diharamkan.

Sementara itu, dalam masalah penciptaan, manusia diharapkan menerima apa yang Allah berikan, baik sesuai dengan keinginan mereka atau tidak. Hal ini mencakup pemahaman bahwa tidak semua hal berada di bawah kontrol manusia, bahkan hal-hal sederhana seperti berbicara memiliki faktor-faktor di luar kendali kita.

Meskipun sebab-sebab alami atau manusiawi bisa mempengaruhi fenomena, itu tidak berarti Allah tidak memiliki kendali atas makhluk-Nya. Semua yang terjadi dalam kekuasaan-Nya, dan sistem alam yang Dia ciptakan merupakan yang terbaik. Kehendak-Nya memainkan peran dalam menentukan faktor-faktor dan sebab-sebab, dan proses sebab-akibat ini mencakup ujian Ilahi.

Baca: Tawakal kepada Allah: Kunci Kesuksesan dan Ketenangan Hati

Ujian ini mencakup tahapan pertama keimanan, di mana seseorang diuji dalam menghadapi masalah apakah mereka mematuhi hukum-hukum Ilahi atau tidak. Ujian yang lebih tinggi melibatkan apakah seseorang meminta pertolongan kepada Allah atau bersabar dalam menghadapi masalah. Tahapan tertinggi keimanan adalah ketika seseorang ridha dengan ketentuan Allah, bahkan dalam kesulitan dan bencana, meyakini bahwa itu berasal dari hikmah-Nya.

Allah menyatakan bahwa amalan yang paling dicintai-Nya adalah tawakal, diikuti oleh ridha dengan takdir-Nya. Ini berarti bahwa lebih dari sekadar meminta pertolongan kepada Allah, ridha dengan takdir-Nya adalah tingkatan tertinggi. Manusia diharapkan untuk berusaha, tetapi hasilnya juga merupakan bagian dari takdir Allah, dan manusia harus merasa puas dengan apa yang telah terjadi, karena itu adalah bagian dari kebijaksanaan Ilahi.

Allah Berharap yang Terbaik bagi Manusia

Nabi Muhammad Saw juga pernah menyampaikan bahwa Allah Azza wa Jalla berbicara, “Di antara hamba-hamba-Ku yang beriman, ada yang benar-benar taat beragama hanya jika mereka diberi kekayaan, kesejahteraan, dan kesehatan. Maka, Aku uji mereka dengan memberi kekayaan, kelapangan hidup, dan kesehatan agar dapat terlihat apakah mereka tetap konsisten dalam menjalankan agamanya…”

Ujian tidak selalu berupa kesulitan; kadang-kadang juga dalam bentuk kenikmatan. Allah memberikan kenikmatan dan kemudahan kepada hamba-Nya untuk menguji apakah mereka tetap melaksanakan tugas agama atau tidak. Di sisi lain, di antara hamba-hamba-Ku yang beriman, ada yang benar-benar taat beragama hanya dalam keadaan kefakiran, kesulitan, dan kesusahan. Maka, Allah uji mereka dengan kefakiran, kemiskinan, dan kesulitan agar urusan keagamaan mereka semakin baik. Allah tahu dengan pasti apa yang terbaik bagi mereka dalam hal agama.

Semua ini berlaku bagi orang-orang yang beriman dan menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah; Dia yang akan memikul beban mereka dan menjamin kemaslahatan bagi mereka. Jika kemaslahatan mereka terletak pada kekayaan, Allah akan menjadikan mereka kaya. Jika kemaslahatan mereka terletak pada kefakiran, kesulitan, dan kesusahan, Allah akan menimpakan itu pada mereka. Jika semua ini dianggap sebagai kebijakan-Nya, maka walaupun berusaha sekeras mungkin, mereka tidak akan mendapatkannya. Bahkan, mungkin setiap hari mereka akan semakin merasakan kefakiran. Karena itulah mereka berdoa kepada Allah untuk kemaslahatan dan kebaikan, dan kemaslahatan mereka terdapat dalam kefakiran dan kesulitan. Oleh karena itu, pada hakikatnya, Allah telah mengabulkan doa mereka.

Penting untuk diingat bahwa manusia tidak boleh berdiam diri dan hanya berucap, “Ya Allah, berikanlah yang terbaik bagiku.”  Melaksanakan kewajiban adalah satu hal, dan menyerahkan segala urusan kepada Allah adalah hal lain. Inti dari masalah ini adalah bahwa manusia harus menerima dengan ridha apa yang akan terjadi atau dengan apa yang Allah tetapkan, meskipun semua orang diberi tugas untuk terus berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Tetap berusaha menjaga kesehatan tubuh juga merupakan bagian dari kewajiban ini, agar terhindar dari penyakit.

Beberapa orang peduli dengan aturan kesehatan, tapi masih saja bisa sakit. Sebaliknya, ada yang tidak memperhatikan aturan tersebut, tetapi tetap sehat karena Allah melindungi mereka. Jangan kecewa jika sesuatu tidak sesuai harapan, dan jangan salahkan Allah. Jadi, jangan biarkan hidup membuatmu kecewa; tetaplah bahagia, ikhlas, dan tunaikan kewajibanmu kepada Allah, serta ridha dengan segala yang terjadi. Orang yang belum mencapai ‘maqam ridha’ cenderung merasa menderita dan kecewa dengan kesulitan, bahkan menuntut Allah atas apa yang terjadi.

Ada juga hamba yang sangat rajin beribadah, bahkan kurang tidur, hanya untuk Allah. Namun, terkadang Allah membuat mereka mengantuk untuk menguji kesungguhan mereka. Jangan sampai sombong dan merasa berhak, karena kesempatan beribadah adalah karunia Allah. Sombong dan egoisme bisa merusak iman dan menjauhkan kita dari Allah. Jangan merasa segalanya berada dalam kendali kita. Kesempatan untuk beribadah adalah karunia Allah. Terkadang Dia membuat kita mengantuk, sehingga dua rakaat salat pun terasa berat.

Baca:Cara Setan Menggoda Manusia dari Jalan Allah

Sombong akan menipu kita, dan keegoan bisa merusak agama kita. Jangan menganggap diri lebih baik dari orang lain. Jangan puas dengan ibadah dan jangan berharap terlalu banyak. Kesombongan dan keegoan ini bisa merusak. Tapi, selalu berharap pada rahmat Allah. Jika berusaha keras beribadah, kita mungkin tidak akan mencapai inti ibadah kepada Allah. Sebaliknya, berharap pada rahmat dan kebaikan Allah, serta berbaik sangka kepada-Nya. Allah Maha Pengasih dan Penyayang.

Kesimpulannya; hanya berharaplah pada Allah dalam segala tindakan dan kehidupan kita. Bertumpu pada pertolongan Ilahi, menjalankan tugas-tugas dengan sebaik mungkin, tanpa berhenti, dan tanpa terlalu bergantung pada amalan kita. Sebab, amalan kita tidak setara dengan pahala dan kenikmatan Allah. Jangan pernah menuntut Allah. Berbuat yang terbaik saat ini dan berharap pada kebaikan-Nya. Ingatlah, semua berkat rahmat dan kebaikan Allah.

*Disarikan dari buku Menjdi Manusia Ilahi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi

No comments

LEAVE A COMMENT