Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Warisan Intelektual Imam Ali Ridha as

Imam Ali Ridha as, Imam kedelapan dari Ahlulbait Nabi, adalah salah satu tokoh keilmuan terbesar dalam sejarah Islam. Beliau bukan hanya menjadi rujukan bagi para pengikut Syiah, tetapi juga dihormati oleh ilmuwan dan pemikir dari berbagai mazhab. Warisan keilmuan yang ditinggalkannya mencakup hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan: mulai dari teologi dan filsafat, kedokteran dan fikih, tafsir dan sejarah, hingga etika, politik, serta isu-isu sosial.

Imam Ridha as hidup pada masa yang penuh dinamika intelektual, khususnya saat kekuasaan Bani Abbasiyah berada di bawah Khalifah al-Makmun. Pada masa ini, diskursus ilmu meluas dan ruang-ruang perdebatan antaragama dan antarmazhab berkembang dengan pesat. Imam Ridha as tidak hanya hadir sebagai peserta diskusi, tetapi menjadi tokoh sentral yang menjawab ribuan pertanyaan dari berbagai kalangan dengan keluasan ilmu yang mengagumkan.

Kitab, Diskusi Publik dan Jawaban Ilmiah

Salah satu strategi penting yang ditempuh Imam Ridha as untuk menyebarkan ilmu dan menguatkan posisi Ahlulbait adalah melalui forum-forum debat dan diskusi ilmiah. Dalam pertemuan-pertemuan resmi yang diadakan atas perintah Khalifah Makmun, para tokoh agama dari berbagai latar belakang—Yahudi, Nasrani, Zoroaster, bahkan para filsuf dan teolog Islam—dihadapkan kepada Imam Ridha as untuk mengajukan berbagai pertanyaan pelik.

Riwayat mencatat, lebih dari dua puluh ribu pertanyaan telah diajukan kepada beliau, dan semua dijawab secara tuntas dan memuaskan. Jawaban-jawaban itu bukan hanya membuktikan keluasan ilmunya, tetapi juga menunjukkan keberanian, kejernihan logika, dan komitmen pada kebenaran, meski dalam situasi politik yang tidak selalu aman bagi keturunan Nabi.

Di samping forum diskusi, Imam Ridha as juga meninggalkan sejumlah karya tulis yang memuat pandangan-pandangan penting dalam berbagai bidang. Di antaranya:

  • Thibb al-Imam Ridha – karya monumental di bidang kedokteran
  • Musnad al-Imam Ridha – kumpulan hadis beliau
  • Sahifah al-Ridha (Shahifah Radhawiyyah)
  • Risalah Jawami’ al-Syari’ah – risalah hukum Islam
  • Fiqh al-Ridha – panduan fikih berdasarkan ajaran beliau

Hadis yang paling masyhur dan kerap dikutip adalah Hadis Silsilat al-Dzahab (Hadis Rantai Emas) yang diriwayatkan secara berantai dari Nabi Muhammad saw hingga Allah SWT:
“La ilaha illallah benteng-Ku. Barang siapa masuk ke dalam benteng-Ku, maka ia aman dari azab-Ku.”
Sanad hadis ini sangat kuat hingga dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Andaikan sanad ini dibacakan kepada orang gila, niscaya ia akan sembuh dari kegilaannya.”

Tauhid dan Ketuhanan dalam Pandangan Imam Ridha as

Tauhid atau keesaan Tuhan adalah tema sentral dalam ajaran Imam Ridha as. Beliau menjelaskan hakikat tauhid dengan pendekatan logis dan menyentuh hati. Dalam satu riwayat, seorang bertanya kepada beliau, “Apa bukti bahwa alam ini bersifat baru?” Imam menjawab:
“Sebelumnya kamu tidak ada, sekarang kamu ada. Maka ketahuilah, Allah-lah yang menciptakan ‘di mana’ tanpa tempat, dan menetapkan ‘bagaimana’ tanpa bentuk.”

Jawaban seperti ini menunjukkan tingkat argumentasi rasional yang tinggi. Seorang lelaki dari Balkh yang menantang beliau dengan pertanyaan tentang asal-usul Tuhan pun luluh dan mengakui keimaman beliau setelah mendapat penjelasan serupa. Dalam riwayat lain, Imam menegaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum ia tercipta, dan Dia adalah Cahaya, Ilmu, dan Kehidupan Mutlak.

Al-Qur’an dan Akal sebagai Hujjah

Imam Ridha as mengajarkan agar umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam hidup. Ia berkata:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah. Jangan kalian lalaikan dia, dan jangan mencari petunjuk dari selainnya.”
Beliau juga menekankan pentingnya membedakan ayat-ayat yang muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), serta mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam, sebagaimana dilakukan dalam riwayat-riwayat Ahlulbait.

Namun, Imam tidak hanya mengandalkan teks suci, tetapi juga mendorong pemanfaatan akal sehat. Dalam dialog dengan Ibnu Sukait, ketika ditanya apa hujjah (argumen) Allah kepada umat di masa kini, beliau menjawab:
“Akal. Dengannya seseorang dapat mengenal Allah dan membedakan kebenaran dari kebatilan.”
Jawaban ini menegaskan bahwa dalam mazhab Ahlulbait, akal bukan lawan dari wahyu, melainkan pelengkapnya.

Kenabian, Mukjizat, dan Peran Ulul Azmi

Imam Ridha as juga menjelaskan perbedaan mukjizat para nabi sesuai konteks zamannya. Nabi Musa datang dengan tongkat karena masyarakatnya mengagungkan sihir. Nabi Isa membawa kemampuan menyembuhkan karena zaman itu ditandai dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Dan Nabi Muhammad saw hadir dengan Al-Qur’an, karena masyarakat Arab masa itu mengagungkan orasi dan syair.

Beliau juga menekankan bahwa syariat Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh syariat, dan tidak ada nabi setelahnya. Mereka yang mengklaim sebagai nabi setelah Rasulullah saw adalah pendusta dan kafir terhadap wahyu Ilahi.

Imamah: Penerus Risalah dan Penjaga Agama

Salah satu tema pokok dalam ajaran Imam Ridha as adalah Imamah, yakni kepemimpinan spiritual dan sosial setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Dalam dialog dengan Abdul Aziz bin Muslim di kota Marw, Imam menjelaskan dengan panjang lebar bahwa Imamah adalah bagian dari kesempurnaan agama. Allah tidak mungkin meninggalkan umat tanpa penunjuk jalan.

Ia menegaskan bahwa Imamah bukan perkara yang bisa dipilih sembarangan. Allah sendiri yang menetapkan para imam dari keturunan yang suci dan bersih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: “Janji-Ku tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.” Imamah, menurut beliau, adalah warisan suci dari Nabi Ibrahim as kepada keturunannya yang shaleh, dan akan terus berlanjut hingga akhir zaman.

Penutup

Warisan keilmuan Imam Ridha as bukan hanya sekadar catatan sejarah. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan para pencari kebenaran. Dalam dirinya, bersatu wahyu dan akal, teks dan nalar, hikmah dan keberanian. Di tengah tekanan politik dan ancaman terhadap Ahlulbait, beliau tetap menjawab panggilan zaman dengan ilmu, argumen, dan keberanian.

Dari Marw hingga Masyhad, dari diskusi ilmiah hingga karya tulisnya, Imam Ridha as telah menunjukkan bahwa ilmu adalah senjata para wali Allah. Warisan intelektual beliau tetap hidup, membimbing hati yang jujur dan akal yang jernih menuju cahaya kebenaran Ahlulbait.

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.