Banyak di antara ungkapan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib a.s., yang sarat dengan nasihat dan hikmah universal untuk setiap zaman. Di antaranya ialah petuah beliau, “Sejatinya tujuan Anda di hadapan Anda dan kematian Anda yang mendorong kalian dari belakang. Ringankanlah diri Anda, niscaya kelak menyusul (yang di depan). Akhir Anda hanyalah dinanti-nanti oleh awal Anda.”[1]
Syarif Radhi, sang pengumpul Nahjul Balaghah menyatakan, “Seandainya pernyataan ini ditimbang dengan ucapan mana pun selain Kalam Ilahi dan kalam Rasulullah Saw, niscaya ia akan lebih berat dan unggul dari segala sisi. Pernyataan Imam Ali ini adalah yang paling ringkas dengan makna terbesar dan luas kandungannya.”
Baca: Tafsir: Kematian dan Kehidupan dalam Perspektif Al-Quran
Sebuah ayat penuh berkah menyatakan, “Hanyalah Aku ciptakan jin dan manusia untuk menghamba-Ku.” (Q.S. ad-Dzariyat [51]: 56) Bahwa tujuan penciptaan insan ialah penghambaan paripurna kepada Allah Swt yang direpresentasikan dengan ketaatan sempurna. Tujuan inilah yang wajib kita upayakan untuk mencapainya di dunia ini.
Sementara di belakang manusia yang akan ditemui di penghujung kelak ialah kematian yang senantiasa kita lari darinya. Ia sudah pasti kita temui. Di dunia ini selalu ada para penyeru yang memanggil-manggil manusia, “Hendak lari ke manakah Anda?”
Oleh karena itu, metode untuk mencapai tujuan itu telah diringkas oleh Imam Ali a.s. dengan satu kata, yaitu “Ringankanlah!” Artinya, semakin sedikit yang diambil oleh seorang insan dari dunia ini, semakin ringan pula beban di punggungnya pada hari Kiamat, dan niscaya semakin cepat pula dia meraih tujuannya. Sementara semakin berat beban di punggungnya, niscaya semakin lambat pula gerak langkahnya untuk meraih tujuannya.
Baca: Manusia Sampai Rela Mati
Imam Ali a.s. juga menasihati kita, “Ketahuilah di hadapan Anda suatu jalan yang berjarak jauh, dan penuh rintangan. Bahwa kalian tidak dapat mengelak untuk menempuhnya dengan tekad bulat. Cukupilah perbekalanmu sekadar meringankan beban punggungmu. Janganlah membebani punggungmu melampaui kemampuanmu sehingga beban itu menjadi bencana bagimu.”[2]
Pada hari Kiamat kelak perhitungan semakin lama waktunya bagi seseorang yang mengambil banyak dari dunia ini meskipun ia halal. Amirul Mukminin a.s. juga berpesan kepada kita, “Sesungguhnya Allah Swt kelak mempertanyakan segenap hamba-Nya tentang amal-amal kalian baik yang kecil maupun yang besar, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi. Bilamana kalian disiksa, maka kalian memang berlaku zalim. Bilamana diberi ampunan, maka Dialah Maha Dermawan.”[3]
Senada dengan metode Amirul Mukminin a.s ini ialah hadis Rasulullah Saw, “Ada dua hal yang dibenci oleh putra Adam: manusia membenci kematian dan bagi seorang Mukmin, padahal kematian itu justru ketenangan dari ujian; dia membenci sedikitnya harta, padahal sedikitnya harta itu lebih ringan pada hari Perhitungan.”[4]
Di antara metode yang diperlukan untuk meringankan diri kita pada hari Kiamat ialah muhasabah diri sendiri di dunia ini.
Baca: Kematian Manusia di Tangan Siapa?
Imam Ali a.s. ditanya tentang metode muhasabah diri lalu beliau berpesan, “Dari pagi hingga sore, tanyakanlah diri sendiri, ‘Hai diri, hari ini telah berlalu atasmu. Ia tidak lagi kembali kepadamu selamanya. Allah akan mempertanyakanmu tentang hal-hal yang telah kau lalui. Apakah yang telah kau lakukan? Apakah kau mengingat Allah atau memuji-Nya? Apakah kau telah memenuhi kebutuhan seorang Mukmin? Apakah kau telah menghapuskan kesusahannya? Apakah kau telah menjaga keluarga dan anak-anaknya? Apakah kau telah menjaga orang-orang yang ditinggalkannya setelah kematiannya? Apakah kau telah menjamin saudara Mukminmu dengan kemuliaan kedudukanmu? Apakah yang telah kau lakukan pada hari ini?’ Renungkanlah yang terjadi di hari itu. Jika kau mengingat hal-hal yang baik yang telah kau lakukan, pujilah dan agungkanlah Allah Swt atas taufik-Nya. Jika kau mengingat maksiat atau kekurangan pada hari itu, mohonlah ampunan Allah Swt, dan bertekadlah untuk meninggalkan kebiasaan buruk itu.”[5]
Semoga kita senantiasa memperoleh taufik dari Allah Swt untuk meringankan diri kita sepanjang hayat kita sebagai bekal di akhirat.
[1] Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, khutbah Imam Ali a.s. ke-21.
[2] Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, surat Imam Ali a.s. ke-31.
[3] Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, surat Imam Ali a.s. ke-27.
[4] Al-Khishal, j. 1, h. 37.
[5] Bihar al-Anwar, j. 70, h. 16