Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Benarkah Nabi Muhammad Saw Seorang yang Ummi?

Ada tiga kemungkinan yang populer ihwal pengertian “ummi”. Pertama, orang yang tidak belajar, kedua, orang yang lahir di bumi Makkah dan bangkit sebagai Rasul (bi’tsah) dari Makkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat (yang buta huruf). Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini.

Realitanya bahwa Nabi Saw tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis. Alquran dengan tegas menyebutkan kondisi beliau sebelum bi’tsah.

Baca: Pesan Rasulullah tentang Baik dan Buruk

“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur’an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya. (QS. Al-Ankabut: 48)

Pada dasarnya, di lingkungan Hijaz waktu itu, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Makkah, ibu kota Hijaz. Jumlah orang-orang yang marnpu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang. Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi Saw belajar membaca dan menulis pada seorang guru, beliau akan terkenal saat itu.

Seandainya kita tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya berkata: “Kamu kan pernah belajar?” Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.

Baca: Kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah saw

Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Nabi Saw merupakan penegas kenabian beliau, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah dakwahannya dapat ternafikan. Tidak ada catatan sejarah bahwa beliau pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayat beliau.

Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak belajar bukan berarti tidak berpendidikan (tidak pandai). Dan orang yang menafsirkan bahwa ummi itu bermakna tidak berpendidikan, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.

Sebenaranya melalui pengajaran llahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Nabi Saw untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak syak lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian. Argumentasinya adalah sebagaimana yang dinukil dalam riwayat dari para imam Ahlulbait bahwa Nabi Saw memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun, Nabi Saw tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas dakwahnya. (Tafsir al-Burhan, jil. 4, hal. 332)

Baca: Kisah Rasulullah: “Makanan Berkah yang Tak Kunjung Habis”

Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan   ilmu. Bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan. Beliau sendiri adalah kesempurnaan yang nyata.

*Disadur dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal karya Ayatullah Nasir Makarim Syirazy


No comments

LEAVE A COMMENT