Dengan kemunculan Islam dan sistem pendidikan khas yang dimilikinya, kehidupan perempuan pada masa ini telah memasuki babak baru. Sebuah era kehidupan dengan interval yang amat maju dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Di era baru ini, perempuan telah menjadi sosok mandiri yang mendapatkan seluruh haknya, baik dari sisi individual maupun sosial. Fondasi pengajaran Islam dalam masalah wanita adalah sebagaimana yang kita baca di dalam ayat-ayat Alquran.
Islam senantiasa menganggap kedudukan perempuan sejajar dengan kedudukan pria dari sisi hakikat kesempurnaan insani, kemauan serta hak pilihannya, dan Islam memandang perempuan berada di dalam perjalanan kesempurnaannya yang merupakan tujuan penciptaan. Oleh karena itu, mereka diletakkan secara berdampingan dengan pria dan sejajar dalam satu barisan, lalu menyeru mereka berdua dengan satu nada, “Wahai manusia”, atau “Wahai orang-orang yang beriman”.
Islam juga melazimkan adanya program-program pendidikan dan akhlak untuk mereka. Melalui ayat-ayat semacam “… dan barang siapa mengerjakan amal yang salih, baik pria maupun wanita, sedangkan ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga …” (QS. al-Mu’min: 40)
Baca: Hukum Waris Perempuan
Islam telah menjanjikan adanya kebahagiaan dalam mencapai kesempurnaan untuk keduanya. Melalui ayat seperti “Barang siapa mengerjakan amal salih, baik pria maupun wanita dan ia berada dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl [16]: 97)
Islam menegaskan bahwa setiap pria maupun wanita bisa melakukan dan melaksanakan ajaran-ajaran hidup yang ada di dalam Islam untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan material, dan menapakkan langkahnya dalam kehidupan suci yang merupakan puncak dari segala ketenangan.
Islam telah menganggap kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria dalam keseluruhan makna kemandirian dan kebebasannya, dan Alquran dengan ayat seperti “Kullu nafsin bima kasabat rahinah” atau “Man ‘amila solihan falinafsih wa man asa afa’alaiha” menegaskan bahwa kebebasan yang ada di sini adalah kebebasan individu secara umum, baik kebebasan bagi pria maupun bagi wanita. Oleh karena itu, dalam aturan tentang hukuman pun, kita melihat dalam ayat “Wanita yang berzina dan pria yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…” (QS. al-Nur: 2)
Pada sisi lain, karena kemandirian merupakan kelaziman dari kehendak dan hak memilih, Islam memberikan kemandirian ini dalam hak-hak kepemilikan secara luar kepada wanita dan tidak ada sedikit pun halangan baginya dalam melakukan jenis-jenis transaksi kekayaan, dan wanita juga merupakan pemilik kekayaan dan modalnya sendiri. Dalam sebuah ayat kita membaca, “…bagi pria terdapat bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita terdapat bagian dari apa yang mereka usahakan…” (QS. an-Nisa: 32)
Baca: Para Perempuan Pembela Al-Husein AS
Dengan memerhatikan bahwa kosa kata “iktisaba” berlainan dengan kosa kata “kasaba” yang artinya adalah suatu usaha mendapatkan suatu kekayaan yang hasilnya menjadi milik seseorang yang mencarinya, demikian pula dengan memerhatikan kaidah umum bahwa “manusia menguasai kekayaan yang dimilikinya sendiri.”
Dari sini dapat dipahami bagaimana Islam menghormati hak kepemilikan dan aktivitas ekonomi wanita, dan tidak meletakkan perbedaan antara wanita dan pria. Ringkasnya, wanita dalam Islam merupakan sebuah komponen fundamental dalam kehidupan masyarakat, dan sama sekali tidak dibenarkan melakukan transaksi dengannya berdasarkan anggapan sebuah wujud yang kosong dari kehendak dan hanya bergantung kepada orang pengayom.
Jangan Salah Memakai “Persamaan”
Ada satu topik bahasan penting yang harus diperhatikan dalam masalah ini (dan Islam telah memberikan perhatian yang khusus terhadapnya, tetapi sebagian kelompok mengingkari masalah ini dengan mendasarkan pada satu rantai sentimental yang berlebihan dan tanpa perhitungan). Masalah tersebut adalah adanya perbedaan spiritual dan jasmani antara pria dengan wanita dan perbedaan kewajiban mereka.
Betapapun kita mencoba untuk mengingkari hal tersebut, kita tetap tidak akan bisa mengingkari dan menyangkal hakikat bahwa antara dua gender ini terdapat perbedaan yang mencolok, baik dari segi jasmani maupun rohani. Wanita merupakan sentral bagi fenomena keberwujudan manusia dan pertumbuhan tunas-tunas baru berada dalam pangkuan dan tanggung jawabnya, dan mereka telah diciptakan dengan struktur jasmani yang sesuai untuk melakukan hal-hal tersebut, seperti mengandung dan mendidik generasi masa depan, maka dari aspek rohani mereka mempunyai bagian yang lebih besar dalam kelembutan perasaan dan kasih sayang.
Dengan adanya perbedaan ini, apakah bisa dikatakan bahwa pria dan wanita harus senantiasa berjalan secara sejajar dalam semua hal, dan dalam keseluruhan aktivitas pun mereka harus seratus persen tidak mempunyai perbedaan? Bukanlah kita harus menjadi pendukung keadilan sosial? Tidaklah keadilan menyatakan bahwa setiap individu harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya dan memanfaatkan pemberian-pemberian, kelebihan-kelebihan, dan wujudnya sendiri? Oleh karena itu, bukanlah mengikutsertakan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas yang berada di luar batas roh dan jasmaninya merupakan suatu hal yang bertentangan dengan hakikat keadilan?
Baca: Perempuan Itupun Mengadu kepada Ali
Di sinilah kita melihat, selain menjadi pendukung keadilan, Islam juga mendahulukan peran pria pada sebagian aktivitas-aktivitas sosial dan masyarakat yang lebih banyak membutuhkan kekerasan dan kecermatan, seperti sebagai seorang pelindung dan pengayom sebuah bahtera rumah tangga, sedangkan kedudukan asisten rumah tangga diserahkan pada wanita.
Nilai Spiritual Pria dan Wanita
Alquran menganggap pria dan wanita dalam pencapaian kedudukan spiritual dalam syarat-syarat yang mirip adalah sama di hadapan Allah Swt, dan Dia sama sekali tidak memperdulikan adanya perbedaan gender dan perbedaan-perbedaan struktur jasmani, yang dampaknya tentu akan menghasilkan perbedaan pada sebagian tanggung jawab dalam masyarakat sebagai sebuah perbedaan yang krusial dalam proses kesempurnaan manusia, selain dalam pandangan Allah Swt pria dan wanita secara sempurna berada dalam sebuah barisan yang sejajar dan berada dalam satu level. Oleh karena itulah mereka disebutkan secara bersama-sama di dalam berbagai ayat suci Alquran.
Ayat-ayat Alquran yang begitu banyak telah diturunkan pada suatu masa dan zaman di mana terdapat begitu banyak bangsa dan negara di dunia ini yang ragu terhadap kemanusiaan gender wanita, dan wanita telah mereka anggap sebagai sebuah wujud yang terkutuk dan sumber segala dosa, penyelewengan, dan kematian.
Banyak negara yang ada pada waktu itu menyepakati bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang wanita di hadapan haribaan Tuhan Yang Agung sama sekali tidak akan terkabulkan. Banyak bangsa Yunani yang menganggap wanita sebagai sebuah wujud yang najis, kotor, dan muncul dari perbuatan setan. Bangsa Romawi dan sebagain Yunani berpendapat bahwa pada prinsipnya, wanita tidak mempunyai hakikat selayaknya manusia. Oleh karena itu, hakikat manusia hanya milik para pria.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada kurun terakhir ini, para ahli agama atau pemuka Masehi di Spanyol telah membahas persoalan apakah wanita adalah mempunyai roh manusia, dan apakah rohnya akan tetap abadi setelah kematiannya?
Baca: Moralitas Perempuan dan Laki-laki; Persamaan atau Perbedaan?
Dari sini jelas bahwa dakwaan dan hujatan yang dilontarkan oleh sebagian orang-orang yang apriori dan miskin dari informasi ini, yang menuduh bahwa Islam adalah agama untuk pria dan bukan untuk wanita, betapa jauh dari hakikat yang ada. Secara global, apabila dalam sebagian norma-norma Islam telah muncul perbedaan syarat jasmani dan kelembutan yang berada antara wujud pria dan wanita, ini sama sekali bukan untuk merendahkan dan menghancurkan citra spiritual wanita.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, dan pintu-pintu kebahagiaan terbuka di hadapan mereka berdua dalam satu bentuk. Allah berfirman: “Sebagian dari Kamu adalah dari sebagian (yang lain).”
*Dikutip dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal – Ayatullah Natsir Makarim Syirazy