Islam adalah akidah yang universal yang mengatur kehidupan manusia yang mana tidak ada satu aspek pun yang dilupakan olehnya. Akidah yang begitu komprehensif dan universal ini semestinya menciptakan pada pemeluknya suatu keterikatan kuat yang tampak pada perilaku mereka.
Sesungguhnya seorang Muslim mengekspresikan eksistensinya yang khusus melalui muamalah (hubungan) dengan Allah Swt dengan apa yang dimilikinya dari kemampuan spiritual, melalui interaksi dengan alam dengan apa yang dimilikinya dari kemampuan rasional, dan melalui interaksi dengan masyarakat dengan apa yang dimilikinya dari akhlak.
Ketiga unsur ini, yaitu spiritual, akal, dan akhlak adalah unsur-unsur utama dalam jati diri Islami. Tidak mungkin terdapat pribadi Islam yang tidak memiliki unsur-unsur ini atau sebagiannya. Harus ada akal yang hidup, yang bergerak, yang dinamis, yang terbuka; dan harus ada moral yang tinggi, yang idealis; begitu juga harus ada sisi spiritual yang lembut yang suci sehingga menciptakan pribadi manusia yang ideal.
Baca: Kewajiban Bekerja dalam Islam
Inilah yang berusaha digapai oleh Islam dan diperhatikannya dengan sungguh-sungguh, pembentukan figur manusia yang memiliki kekuatan-kekuatannya, yaitu akal dan kemampuan berinteraksi dengan dunia yang ada di sekelilingnya, moral yang dengannya ia berinteraksi dengan masyarakat, serta spiritual yang menghubungkannya dengan Allah, Sang Pencipta.
Jadi jelas, tiga kekuatan ini dalam pribadi manusia Muslim tidaklah berlawanan, tapi satu sama lain saling berinteraksi dan memiliki ikatan yang kuat serta saling menyempurnakan. Manusia yang eksistensi khususnya terbangun atas tiga fondasi ini adalah manusia yang mengekspresikan dirinya, dalam kehidupan sehari-hari serta pergaulannya dengan orang lain, berdasarkan prinsip-prinsip akhlaknya. Sehingga tidak terdapat -dalam keberadaan manusia ini- pemisahan antara perilaku realistis dan prinsip-prinsip yang diyakininya, sebagaimana kita saksikan pada manusia yang tidak sempurna.
Sesungguhnya kepribadian yang bersumber dari pemelukan akidah akan memuluskan jalan dan meletakkan solusi-solusi serta mendorong untuk bertindak. Hal ini menciptakan pada setiap pribadi manusia suatu eksistensi yang istimewa, yang independen, yang tidak ada sekutu baginya di dalamnya. Lalu hal ini memberikan kepadanya kekayaan internal dan kesuburan batin. Maka dari sini, ia yang menguasai realitas dan menciptakannya, bukan sebaliknya.
Manusia Muslim dapat menjadi saksi atas manusia. Sesungguhnya saksi atau orang yang menyaksikan harus mampu untuk terpisah dari apa yang disaksikannya dan mampu mengawasinya dan mengkritiknya dan ia harus mempunyai batasan-batasan yang dapat melindunginya dari ketergelinciran dan kehancuran, sehingga ia tidak akan kehilangan bentuknya yang khusus dan fondasinya yang istimewa.
Akibat dari kemerosotan dan hilangnya jati diri pada manusia, maka ia tidak mampu menciptakan masa depannya dan ia pun tidak dapat memberikan sumbangannya dalam menciptakan masa depan orang lain. Manusia yang kehilangan jati diri akan tenggelam dalam alam dan lingkungan sekitarnya; ia akan dirampok oleh kehidupan sekitarnya; ia akan menjadi budak dari realitas, materi, dan orang-orang yang mengelilinginya. Bahkan ia menjadi manusia yang tenggelam oleh arus yang tidak ikut serta dalam membentuknya. Dan akibat dari hilangnya jati diri pada masyarakat adalah ketidakmampuan mereka menciptakan suatu model peradaban yang bersumber dari pandangan-pandangan mereka terhadap dunia, kehidupan, dan manusia.
Inilah situasi yang dialami oleh kaum Muslimin dewasa ini. Mereka telah kehilangan unsur-unsur utama dari jati dirinya yang khusus yang bersumber dari Islam. Oleh karena itu, mereka tidak mampu, dalam batasan-batasan realitasnya yang sekarang, untuk menciptakan suatu peradaban teladan yang Islami, dan mereka dari sisi yang lain terpaksa mengadopsi suatu model peradaban yang dominan di dunia, sehingga ini justru membuat mereka jauh dari Islam karena tidak mampu mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam dalam realitas sehari-hari.
Baca: Apakah Semua Hukum Islam Masih Relevan dengan Konteks Zaman Ini?
Terdapat dampak buruk lain akibat hilangnya jati diri Islam pada manusia Muslim kontemporer. Hal ini tampak jelas ketika kita mengamati bahwa eksistensi Islam di dunia tidak hanya terbatas pada batasan geografis atau ras khusus, namun ia meluas dan mencakup berbagai wilayah geografis dan ras (bangsa). Dengan adanya kepribadian Islam, maka ia sendiri akan menciptakan arus pemikiran yang kualitatif yang menyusup pada semua masyarakat Islam di dunia, sehingga menjadikan eksistensi Islam sebagai fenomena yang bersatu dan terkait yang tidak ada tandingannya.
Ketika jati diri Islam lenyap dari diri-diri seorang Muslim, yang terjadi adalah terciptanya “tembok” (penghalang) emosional (tahajuz syu’uriy) di antara masyarakat Islam, yang membuat dunia Islam saling terbelenggu atau tertutup di balik ikatan-ikatan fiktif yang diciptakan oleh mereka sendiri dan tidak diakui oleh Islam. Meskipun semua kekuatan yang menentang Islam bersatu untuk menghancurkan kaum Muslim dan memecah belah kesatuan mereka, namun di tengah-tengah negeri Islam masih terdapat jati diri Islam yang terpancar dari sebagian kaum Muslim yang sadar, yang mana pemikiranÂpemikiran yang kotor tidak dapat mencemari mereka.
Dan mereka yang bekerja di bidang dakwah Islam dalam bidang pemikiran hendaklah mencurahkan sebagian besar konsentrasi mereka untuk menghidupkan jati diri ini dan menyebarkannya pada kaum Muslim sesuai dengan kemampuannya.
*Disadur dari buku Syahadat Kedua – Ayatullah Muhammad Baqir Sadr