Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA
Mengunggulkan seseorang berarti mengafirmasi sesuatu pada diri seseorang yang membuat lebih mulia dari lainnya. Lebih memuliakannya dari yang lain, berarti mengafirmasi sesuatu dalam dirinya yang membuatnya lebih mulia dari lainnya. Memuliakan siapapun, berarti memuliakan sesuatu yang membuatnya mulia.
Yang patut menjadi alasan keistimewaan dan kemuliaan seseorang bukanlah kesan subjektif atau doktrin sektarian atau sekadar info sepihak tapi fakta perilaku.
Fakta perilaku melukiskan kompetensi, kredibilitas, kapabilitas, integritas berupa kiprah, kontribusi, karya, rekam jejak pengorbanan, dan semua aspek kehidupannya.
Bila mematuhi Allah, maka tentulah maksudnya adalah mematuhi Nabi atau mematuhi-Nya melalui Nabi. Mematuhi Nabi berarti mematuhi Ali yang ditunjuknya sebagai pintu dan syarat kepatuhan kepadanya.
Kepatuhan sejati adalah kepatuhan eksistensial, emanatif, vertikal, dan gradual. Artinya, Allah dan Nabi serta para pemuka agama tak berada dalam posisi sejajar, namun gradual dalam rangkaian kausalitas yang niscaya.
“Aku adalah kota pengetahuan dan Ali adalah pintunya” bukanlah deklarasi kesombongan dan pujian verbal. Ilmu dalam pandangan dunia yang tak meruang bukan pengetahuan tentang ruang dan serba benda, sebagaimana sains yang labil dan bertumpu pada indera dan rumusan empirik tentang mineral, energi, fisika, dan melekul, tapi ia adalah pengetahuan eksistensial yang sejati. Pernyataan itu adalah endorsmen eksklusif dan anjuran kepatuhan tunggal berdasarkan asas kompetensi, kapabilitas, dan komprehensi total. “Kota” merupakan tujuan final dan “pintu” merupakan syarat niscaya mencapai tujuan.
Mengapa kepatuhan sejati bersifat vertikal? Penjabarannya antara lain sebagai berikut:
1. Allah adalah pemilih wujud, bahkan Dialah wujud tunggal, sedangkan selain-Nya adalah wujud-wujud kopulatif yang secara abadi bergantung kepada-Nya. Makhluk yang bergantung kepada-Nya tak bisa berhubungan dengan-Nya secara langsung karena Dia tak sama dengan makhluk dalam segala hal kecuali dalam wujud; Artinya, yang menghalangi makhluk berhubungan secara langsung dengan Tuhan adalah sistem gradualitas eksistensi.
2. Kepatuhan kepada Nabi secara vertikal adalah konsekuensi kepatuhan primer dan hakiki kepada Allah, karena semua ajaran dan perintah-Nya dipatuh melalui wahyu dalam Alquran dan Sunnah yang dititipkan kepada Nabi.
3. Andai makhluk dan hamba bisa berhubungan langsung, tentu kenabian yang berfungsi sebagai lembaga mediasi tak diperlukan. Allah maha mampu berhubungan langsung namun keterbatasan makhluk menjadi kendalanya.
4. Andai makhluk yang maha berbatas bisa berhubungan langsung dengan maha tak terbatas, maka hilanglah perbedaan makhluk dengan Tuhan akibat hubungan langsung itu. Bila hilang perbedaan, tak ada lagi makhluk.
Karena itu, kepatuhan kepada Allah sebagai pemilik kewenangan primer hanya bisa terlaksana dan terjadi melalui perantara kepatuhan kepada Nabi, dan kepatuhan kepada Nabi hanya absah melalui pintu tunggalnya, Ali.