Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram dan seburuk-buruk kezaliman adalah berbuat zalim terhadap orang lemah. Perbuatan buruk, seperti namanya, juga buruk; dan bersabar atas sesuatu yang tidak disuka akan menjaga hati. Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan akan berarti kelembutan. Adakalanya obat menjadi penyakit dan penyakit menjadi obat. Adakalanya nasihat didapat dari orang yang tidak disangka dan adakalanya orang yang dimintai nasihat melakukan pengkhianatan.
Dalam nasihatnya kepada putranya al-Hasan a.s. Imam Ali a.s. mengatakan tentang pemanfaatan kenikmatan duniawi bahwa seburuk-buruknya makanan adalah makanan yang haram. Kalimat ini dapat dijelaskan dalam dua penafsiran:
- Manusia pada umumnya mempunyai sebuah neraca dan ukuran untuk menilai perkara-perkara duniawi, sehingga dia bisa memanfaatkan atau menghindarkan dirinya dari perkara-perkara itu. Dengan adanya neraca, manusia dapat menilai serta menentukan sikapnya berkaitan dengan perkara-perkara duniawi, seperti bila dia berkata, “Apa saja yang sesuai dengan seleraku maka itu adalah baik, dan apa saja yang tidak sesuai dengan seleraku maka itu adalah buruk.” Dengan adanya neraca seperti di atas, dia akan menentukan sikapnya berdasarkan pada neraca tersebut berkaitan dengan seluruh urusan duniawinya, yakni apa saja yang mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah baik, dan yang tidak mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah buruk.Baca: Tafsir: Relasi Makanan yang Baik dan Amal Saleh
Dalam pandangan Imam Ali a.s., tidak satu pun neraca materialisme murni yang dapat dijadikan sebagai barometer yang benar karena perlu juga disertakan neraca maknawi dan rohani. Belum tentu setiap makanan yang disuka itu baik bagi manusia, sebagaimana belum tentu juga makanan yang tidak disuka itu buruk baginya. Akan tetapi, selain masalah “enak” atau “tidak enak” dan sesuai selera atau tidak sesuai selera, juga harus ada neraca maknawi. Makanan yang baik adalah makanan yang halal meskipun tidak enak rasanya, dan makanan yang buruk adalah makanan yang haram meskipun enak dan manis rasanya. Berdasar pada interpretasi ini, maka perlu juga diperhatikan nilai-nilai maknawi dan tidak hanya membatasinya nilai-nilai materialisme. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa maksud dari kalimat Imam Ali a.s. yang berkata: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram” adalah mengajak penerima nasihat untuk juga memerhatikan sisi maknawi dan rohani dari kenikmatan-kenikmatan duniawi. - Interpretasi lain yang bisa diberikan pada kalam Imam Ali as adalah bahwa yang beliau maksud dari kalimat “seburuk buruk makanan adalah makanan yang haram” adalah hal-hal yang haram secara mutlak, yakni segala perbuatan yang kita lakukan semuanya akan berpengaruh pada roh dan jiwa. Makanan yang kita makan akan berpengaruh pada tubuh kita. Apabila makanan itu sehat dan bergizi, tubuh akan menjadi sehat, berenergi dan tumbuh dengan baik. Bila makanan yang kita konsumsi itu beracun, tubuh akan sakit, terserang oleh aneka bakteri dan mikroba, bahkan bisa berakhir dengan kematian. Demikian pula halnya dengan roh dan jiwa yang akan mengalami sehat-sakit dan hidup-mati akibat perbuatan-perbuatan baik dan buruk di dunia.Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, tak ubahnya seperti makanan dan minuman yang kita berikan kepada roh dan jiwa. Sebagaimana makanan yang buruk, seperti makanan beracun, dapat membuat tubuh menjadi sakit, perbuatan haram dan maksiat juga seperti makanan beracun yang dapat membuat roh dan jiwa menjadi sakit. Kondisi roh dan jiwa kita sangat bergantung pada perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Sebagaimana makanan dapat berpengaruh pada kondisi tubuh, maka perbuatan-perbuatan kita juga akan berpengaruh pada kondisi roh dan jiwa. Berdasarkan keterangan di atas, maka maksud kalam Imam Ali berarti perbuatan haram adalah makanan yang buruk bagi roh manusia. Interpretasi yang kedua ini lebih luas dan mencakup dibandingkan dengan interpretasi pertama.
*Disarikan dari buku 21 Nasihat Abadi Penghalus Budi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi