Mereka yang mengatakan bahwa Imam Husain as. berjuang dan berperang untuk memperoleh tampuk kepemimpinan dan terbunuh dalam mencapai kedudukan duniawi, jika mereka menerima, maka Al-Qur’an membantah ucapan mereka, “Sesungguhnya Allah hanya bermaksud menghilangkan dosa dari kamu sekalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikanmu sepenuhnya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Para pakar tafsir dan hadis dari kalangan Ahlusunah seperti Turmudzi, Muslim, Tsa’labi, Sijistani, Abu Naim, Abu Bakar Syirazi, Suyuthi, Humawaini, Imam Ahmad, Zamakhsyari, Baidhawi, Ibnu Atsir, Baihaqi, Thabrani, Ibnu Hajar, Fakhrurrazi, Naisaburi, Asqalani, Ibnu Asakir, dan yang lainnya sepakat bahwa ayat ini (ayat tathirt) turun berkenaan dengan Nabi Saw, Imam Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan, dan Husain as.
Jadi dapat kami katakan; Pertama: Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah Swt menyucikan Imam Husain as. dari dosa, sedangkan mencintai dunia dan mencari kedudukan berdasarkan nafsu adalah dosa perbuatan setan. Nabi Saw bersabda, “Mencintai dunia adalah pangkal setiap kesalahan.”
Karena itu mustahil Imam Husain as. berjuang untuk dunia dan kedudukan, tetapi justru untuk menyelamatkan agama, membebaskan kaum Muslimin dari virus-virus kekufuran, ateisme, dan kaumnya yang jahat.
Kedua: Jika perjuangan Imam Husain as. demi dunia bukan agama, tentu Rasulullah Saw tidak akan menyuruh kaum Muslimin membela putranya, Husain, dalam perjuangannya. Sedangkan Nabi Saw memberitahukan perjuangan putranya, Husain, dan memerintah kaum Muslimin untuk mendukungnya. Banyak ulama dari kalangan Ahlusunah juga mengutip hadis ini dalam buku-bukunya, di antaranya adalah Syaikh Sulaiman Hanafi al-Qunduzi dalam Yanabi’ al-Mawaddah, juz 2, halaman 1, dari Anas bin Harits, Bukhari berkata dalam Tarikhnya, al-Baghawi, dan Ibnu Sikkin, dan yang lainnya dari Asy’ats bi Suhaim dari ayahnya dari Anas bin Harits, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya putraku ini – Husain – akan terbunuh di tanah Karbala. Maka barang siapa yang menyaksikannya bantulah dia.’ Kemudian Anas bin Harits ikut ke Karbala dan terbunuh bersama Husain di sana.”
Baca: Komitmen Para Sahabat Imam Husein a.s. di Malam Asyura
Jika Husain as. berjuang untuk mencari kekuasaan dan kedudukan, maka apa maksudnya beliau membawa keluarga dan anak-anak? Mereka yang mencari dunia akan meninggalkan keluarga dan kerabatnya di tempat yang aman. Jika dia memperoleh apa yang dikehendakinya, baru dia akan membawa keluarganya, tetapi jika dia terbunuh, keluarganya akan tetap terlindungi dari bahaya musuh.
Mereka yang berjuang untuk dunia, maka akan menghimpun pendukung, prajurit, dan pembantunya, menyiapkan kemenangan untuk sampai kepada kekuasaan dan kedudukan. Tetapi Abu Abdillah Husain as., sejak keluar dari Madinah ke Makkah, kemudian ke Irak, dia memberitahukan bahwa dirinya dan pengikutnya akan terbunuh, sementara keluarga dan anak-anaknya akan ditawan. Ketika di Makkah, dia menulis surat kepada saudaranya Muhammad bin Hanafiyyah yang berada di Madinah, “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Husain bin Ali untuk Muhammad bin Ali dan keturunan Bani Hasyim. Amma ba’du. Mereka yang ikut bersamaku akan terbunuh, sedangkan mereka yang tidak ikut, mereka tidak akan memperoleh kemenangan. Wassalam.”
Imam Husain as. menegaskan bahwa kemenangan yang diharapkan tidak bisa tercapai kecuali dengan kesyahidan dirinya, pendukungnya, dan keluarganya.
Khotbah Imam Husain as Ketika Keluar dari Makkah
Ketika Imam Husain as. hendak pergi ke Irak, beliau menyampaikan sebuah khotbah yang menggugah hati. Beliau memulai dengan memuji Allah dan menyampaikan salawat serta kesejahteraan bagi Rasulullah. Dalam khotbah itu, beliau berbicara tentang kematian yang pasti menimpa setiap manusia, sebagaimana kalung yang terikat di leher seorang wanita. Beliau merasa sedih seperti rasa kerinduan yang dirasakan oleh Nabi Yaqub terhadap Nabi Yusuf.
Imam Husain as. menyatakan bahwa kebaikan baginya adalah kematian yang akan dihadapinya. Seperti unta yang berlari kencang di padang gurun antara Nawawis dan Karbala, kematian itu akan menghampirinya. Dalam perjalanannya menuju Karbala, beliau mendapat berita kematian utusannya, Muslim bin Aqil. Meskipun berita itu menyakitkan, beliau tetap tegar dan membagikan kabar tersebut kepada para sahabatnya dengan jujur.
Ketika sampai di Karbala, Imam Husain as menyampaikan khotbah lain kepada para sahabatnya. Beliau memberikan kebebasan bagi siapa pun yang ingin meninggalkan kelompoknya tanpa rasa berat hati dan celaan. Beliau tidak memaksa mereka untuk tetap bersama, mengingat situasi yang sulit.
Ketika bertemu dengan Hurr bin Yazid al-Riyahi dan prajuritnya yang haus dan hampir mati, Imam Husain as. memberikan mereka minum dan menyelamatkan mereka dari kehancuran. Meskipun mereka adalah musuhnya, beliau tetap menunjukkan belas kasih dan kemanusiaan. Imam Husain as. tidak mencari dunia atau kekuasaan dalam perjuangannya. Beliau tidak memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keinginannya dengan membiarkan musuhnya mati kehausan. Beliau memilih jalan kebenaran dan kemanusiaan, bukan tindakan kejam dan egois.
Pada malam 10 Muharram, Imam Husain as. mengumpulkan para sahabatnya dan membiarkan mereka memilih apakah ingin tetap bersama beliau atau tidak. Para sahabat dengan tulus menyatakan bahwa mereka mencintai kematian dan tidak ingin hidup setelahnya. Mereka tetap setia kepada Imam Husain as. dan siap menghadapi musuh.
Di kegelapan malam 10 Muharram, tiga puluh pasukan dari pasukan Ibnu Ziyad mendekati kamp Imam Husain as. Mereka mendengar Al-Qur’an dan doa yang keluar dari kamp tersebut. Setelah menyaksikan kebenaran pada Imam Husain as. mereka bergabung dengannya dan akhirnya mati syahid bersama-sama.
Baca: Pesan Damai dalam Kebangkitan Imam Husein AS
Ketika Hurr al-Riyahi mendengar ucapan dan argumentasi Imam Husain as. atas pasukan Kufah, dia menyadari bahwa kebenaran ada pada Imam Husain. Hurr bertaubat di hadapan Imam dan meninggalkan pasukannya yang berjumlah seribu pasukan penunggang kuda. Dia memilih untuk menghadapi kematian syahid bersama Imam Husain as.
Kisah perjuangan Imam Husain as di Karbala penuh dengan kejujuran, keberanian, dan keteguhan hati. Beliau tidak mencari kekuasaan atau kedudukan dunia, tetapi beliau berjuang untuk kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Sikap beliau yang penuh kasih sayang dan pengorbanan mengilhami banyak orang untuk mengikuti jejaknya dalam menghadapi cobaan dengan kesabaran dan keikhlasan.
*Disarikan dari buku Mazhab Sang Pencinta – Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi