Dari catatan sebelumnya terlihat bahwa setinggi apapun jenjang keruhanian yang dicapai manusia dia tetap berhadapan dengan godaan hawa nafsu dan resiko ketergelinciran. Karena itu manusia harus selalu mewaspadai resiko tersebut dan mendapatkan tips untuk mengantisipasinya. Tips itu ialah sebagai berikut;
Pertama, senantiasa meratap dan mengemis kepada Allah SWT agar mendapat taufik dariNya berupa keadaan husnul khatimah. Ada riwayat tentang ini dalam Mu’jam Rijal al-Ahadits jilid 2 hal. 365 berkenaan dengan sosok Ahmad bin Hilal al-Abarta’i. Ahmad semula adalah figur yang sangat salih. Dia bahkan pernah menunaikan ibadah haji sebanyak 45 kali yang 20 di antaranya dilakukan dengan berjalan kaki menuju tanah suci. Dia tergolong perawi Syiah di Irak dan banyak orang mengutip riwayat darinya. Tragisnya, dia kemudian mendapat celaan dari Imam Hasan al-Askari as akibat penyimpangannya. Berkenaan dengan dia, Imam al-Askari mengirim surat peringatan kepada para pengikutnya di Irak; “Waspadalah kalian terhadap sufi gadungan.”
Baca: Tazkiyah, Pendakian Tanpa Batas (1)
Mereka dan para perawi Syiah di Irak semula tak percaya bahwa Imam al-Askari as telah mencela Ahmad sehingga mereka mengutus Qasim bin Ala’ supaya menyelidiki hal ihwal Ahmad ini. Imam al-Askari as lantas merilis pernyataan lagi yang mencela Ahmad dan menyatakan berlepas tangan darinya. Tapi mereka masih juga tak percaya sehingga mereka bertanya lagi, lalu Imam al-Askari as menyatakan;
لا شكر الله قدره، لم يدعُ المرء ربَّه بأَن لا يزيغ قلبه بعد أَن هداه، وأَن يجعل ما منَّ به عليه مُستقرّاً ولا يجعله مُسْتَوْدعاً.
“Dia tidak bersyukur kepada Allah atas kedudukannya. Orang itu tidak berdoa kepada Tuhannya agar Dia tidak membuat hatinya condong kepada kesesatan sesudah Dia memberinya petunjuk, dan supaya Dia meneguhkan untuknya apa yang telah Dia anugerahkan kepadanya dan agar Dia tidak menjadikannya hanya sebagai titipan belaka.”
Kedua, bertekad untuk tidak membiarkan titik noda hitam muncul di dalam hatinya. Tekad ini harus dibuktikan dengan cara meninggalkan maksiat dan dosa. Jika titik noda sudah ada maka dia harus berusaha menghapusnya dengan cara bertaubat sebelum titik itu melebar dan membesar, karena bukan tidak mungkin noda itu akan terus melebar dan menutup semua bagian hati sehingga diapun terjerumus ke dalam jurang kehinaan untuk selamanya. Dalam kitab Wasa’il al-Syi’ah jilid 15 hal. 302, Bab 40 berkenaan dengan Jihad al-Nafs, Hadis no. 12 disebutkan riwayat bahwa Abu Basir berkata: Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as) berkata;
إِذا أَذنب الرجل خرج في قلبه نكتة سوداء، فإِن تاب انمحت، وإِن زاد زادت حتى تغلب على قلبه، فلا يفلح بعدها أَبداً.
“Ketika seseorang berbuat dosa maka muncullah titik hitam dalam kalbunya. Jika dia bertaubat maka terhapuslah noda itu, sedangkan jika dia bertambah maksiat maka bertambah pula noda itu hingga menguasai hatinya, dan setelah itu maka dia tidak akan pernah beruntung lagi untuk selamanya.”
Baca: Tuhan, Manusia, Agama dan Budaya
Dalam kitab yang sama hal. 303 hadis no. 16 juga diriwayatkan dari Zararah bahwa Muhammad al-Baqir as berkata;
ما من عبد إِلاَّ وفي قلبه نكتة بيضاء، فإِذا أَذنب ذنباً خرج في النكتة نكتة سوداء، فإِن تاب ذهب ذلك السواد، وإِن تمادى في الذنوب زاد ذلك السواد حتى يغطِّي البياض، فإِذا غطَّى البياض لم يرجع صاحبه إلى خير أَبداً، وهو قول الله عزَّ وجلَّ: ﴿ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَا كَانُوا يَكْسِبُون﴾.
“Tak ada hamba kecuali dalam kalbu terdapat titik putih. Jika dia melakukan suatu dosa maka akan muncul titik hitam, tapi titik hitam itu akan hilang apabila dia bertaubat. Jika dia berkelanjutan berbuat dosa maka titik hitam akan bertambah hingga menutupi yang putih. Jika yang putih sudah tertutupi maka pemilik hati itu tidak akan kembali kepada kebaikan untuk selamanya, dan inilah firman Allah Azza wa Jalla; ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka (QS. al-Muthaffifin [83]: 14).’”
Dalam kitab Bihar al-Anwar jilid 78 hal. 195 disebutkan bahwa Imam Hasan al-Askari as meriwayatkan dari ayah dan leluhurnya bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as dalam suratnya kepada seseorang berpesan;
إِن أَردت أَن يُختمَ بخير عملك حتى تُقبض وأَنت في أَحسن الأَعمال، فعظِّم لله حقَّه، أَن تبذل نعمائه في معاصيه، وأَن تغترَّ بحلمه عنك، وأَكرمْ كلَّ مَنْ وجدته يذكرنا أَو ينتحل مودَّتنا، ثُمَّ ليس عليك صادقاً كان أَو كاذباً، إِنَّما لك نيَّتك وعليه كذبه.
“Jika kamu ingin amal perbuatanmu terakhiri dengan kebaikan sehingga ruhmu dicabut ketika kamu dalam keadaan berbuat amalan yang terbaik maka agungkan hak Allah, jangan gunakan anugerah nikmatNya untuk berbuat maksiat kepadaNya, jangan lalai karena Dia telah bersabar kepadamu, muliakanlah setiap orang yang kamu dapati mengenang kami dan berbicara tentang kecintaan kepada kami, tanpa perlu kamu mengetahui apakah dia jujur atau pendusta, karena niatmu adalah untuk keuntunganmu sendiri sedangkan kedustaannya adalah celaka baginya.”
Baca: Doa Sayidah Fathimah Zahra as. untuk Kebutuhan Dunia dan Akhirat
Setelah semua pokok akidah terpenuhi, orang yang bersuluk menuju Allah SWT memerlukan tiga prinsip sebagai berikut;
Pertama, kitab pedoman bagi amal perbuatannya, yaitu kitab suci al-Quran al-Karim, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT;
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوب أَقْفالُهَا.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad [47]: 24)”
Kedua, ibadah dalam kesendirian antara dia dan Allah SWT, yaitu mendirikan shalat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ والمُنْكَرِ.
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut [29]: 45).”
Ketiga, berinteraksi dengan alam dan manusia, atau berhubungan dengan makhluk-makhluk Allah SWT. Yakni dia harus berusaha menyingkap rahasia alam serta mengeksplorasi dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan jasmani dan ruhani umat, dan dengan demikian dia telah berperan sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Tentang ini Allah SWT berfirman;
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). ”
Dari prinsip ketiga ini terlihat betapa aktivitas sosial dan saintifik bukan saja tidak berseberangan dengan tazkiyah, melainkan justru menjadi salah satu bekal pokok dalam tazkiyah. Dan pada gilirannya terlihat pula perbedaan antara arif (sufi) sejati dan arif gadungan.