Pecinta akan selalu berusaha mencari dan mengikuti jejak kekasihnya. Ketika tak lagi mencium wewangian keberadaan tautan jiwa, ia akan mencari lewat orang atau benda lain di sekitarnya. Melihat rumah sang kekasih dari kejauhan pun cukup melepaskan dahaga kerinduan sang pecinta. Apalagi sampai nama pujaan hati disebut-sebut dan diceritakan oleh orang-orang di sekitarnya. Jika tak lagi mungkin baginya untuk bertemu, ia akan menjumpai tempat dimana cerita tentang kekasih ramai dibicarakan. Segala hal yang berkaitan dengan pujaan hati akan menjadi sangat berharga. Tak terkecuali, siapa saja yang ikut berujar tentang kekasih.
Setelah kehilangan Imam Husein alaihi salam pada waktu Asyura di Karbala tahun 61 H, saya tahu tak akan lagi dapat menemuinya. Karena itu, saya terus mencarinya di majelis-majelis duka yang mengulang-ulang kisah pembantaian cucu kesayangan Nabi Muhammad sallahu alaihi wa alihi. Sungguh nyata, majelis duka itu saya dapatkan di seluruh jagat semesta. Majelis duka itu saya temui di langit dan di hati para penghuninya. Sirah anbiyapun tak luput dari kesedihan ma’tham Al-Husain, seperti sakitnya Nabi Ibrahim setelah mengetahui peristiwa Karbala. Kadang saya dapati di arsip sejarah dan dokumen lama, tradisi, budaya, adat istiadat dan sebagainya.
Inilah tutur saya tentang Tabuik, peringatan Asyura yang telah menjadi tradisi budaya masyarakat di Pariaman Provinsi Sumatera Barat. Tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang dan memiliki perangkat yang bertugas mengawal pelaksanaannya pada bulan Muharram setiap tahun. Perangkat tersebut antara lain: anggota keluarga tabuik , pawang tabuik, anak tabuik dan ninik mamak penyelenggara. Dari semua perangkat tersebut, keluarga tabuik menjadi poros pelaksanaan tradisi Asyura sejak dahulu hingga sekarang.
Tabuik memiliki sejarah pasang surut dalam perjalanannya. Dengan berbagai kondisi seperti alasan politis, pelaksanaan Tabuik pernah dilarang pada zaman imperialisme Belanda. Pada waktu itu, penjajah khawatir upacara Tabuik dapat menggoyahkan stabilitas keamanan pemerintahan kolonial. Penyelenggaraan tradisi ini juga pernah mendapat kritik dari beberapa kalangan dengan berbagai alasan. Bahkan hingga hari ini, masih ada yang keberatan dengan peringatan Asyura di Pariaman yang telah terinternalisasi dalam tradisi dan kearifan lokal. Atas upaya keluarga rumah Tabuik dan dukungan berbagai pihak, ritual mengenang cucu Nabi salallahu alaihi wa alihi masih terus berlansung dari tahun ke tahun.
Pariaman Tadanga Langang, De’ Batabuik Mangkonya Rami
“Pariaman sunyi, diadakanlah upacara Tabuik agar menjadi ramai”. Demikian sebagian orang menjelaskan alasan diselenggarakannya tradisi Tabuik di Pariaman.Ungkapan di atas seolah-olah bermakna upacara ritual Tabuik sengaja dibuat untuk meraih manfaat secara ekonomi. Upaya meneruskan tradisi Tabuik agar terjadi perputaran uang dalam transaksi jual beli selama pelaksanaan upacara. Hal ini bisa saja diterima, namun alek Tabuik dapat dimaknai lebih dari sekedar memberi dampak dalam aspek materi.
Sebagian pendapat menyangkal Tabuik di Pariaman berhubungan dengan tradisi Syiah dalam memperingati Asyura. Namun, banyak referensi menyatakan bahwa Tabuik di Pariaman tak lain merupakan tradisi Asyura yang dilakukan masyarakat muslim. Yaitu peringatan atas peristiwa pembantaian Imam Husain alaihi salam yang terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah di Karbala. Secara khusus, Syiah di berbagai penjuru dunia menghidupkan peringatan ini dalam bentuk upacara dan majelis duka. Bentuk pelaksanaan majelis duka tersebut kadang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya masyarakat di mana peringatan Asyura dilangsungkan. Antropolog Kartomi Margareth menyatakan tradisi Asyura di Pariaman yang mulai berlangsung sejak awal abad ke-19 dipengaruhi oleh budaya India. Hal ini didukung oleh kemiripin tradisi Tabuik dengan tradisi Asyura masyarakat Syiah India. Baik itu dilaksanakan negaranya maupun di wilayah lain tempat mereka berdiaspora, seperti di Bangladesh. Tradisi tersebut masih dapat kita saksikan hingga sekarang di India dan Pakistan yang sebelumnya merupakan satu wilayah Negara. Sebagai tambahan, tradisi mengusung Tabut pada waktu Asyura juga dilaksanakan oleh masyarakat Iran.
Kontroversi ini dijawab dengan bijak oleh salah satu intelektual dan budayawan Minang. Muchtar (2014) dalam buku “Sejarah Tabuik” menyatakan: “Masyarakat Pariaman adalah penganut Islam Sunni. Bagi penganut Sunni, mencintai keluarga Rasulullah bukan saja menjadi hak para penganut Syiah, tetapi juga berlaku bagi semua umat Islam tanpa terkecuali. Hanya saja cara melakukannya tidak sama. Dengan demikian, masyarakat Pariaman tidak mempermasalahkan mengenai asal muasal Tabuik Piaman dari kalangan Islam Syiah. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana Tabuik dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya”.
Bagaimana Masuknya Tabuik ke Sumatera Barat?
Dalam catatan Azyumardi Azra, Tabuik dibawa oleh laskar Inggris asal India dalam kurun waktu 1750-1825. Laskar itu juga disebut bangsa Sepohi atau Sepoy. Saya memahaminya sebagai Sepah/Sepoh yang berarti tentara dalam bahasa Persia. Wajar jika India yang dahulunya bagian dari wilayah Persia, memiliki kesamaan dalam hal kosa kata Persia. Keluarga rumah Tabuik menceritakan bahwa Tabuik telah ada sejak tahun 1826 dibawa oleh seseorang yang bernama Kadar Ali. Beliau pemimpin Sepohi penganut Syiah yang berasal dari India. Kadar Ali dan para Sepoh bergaul baik dengan masyarakat Pariaman sehingga gagasannya diterima. Menurut Muchtar (2014) sebelum kedatangan Kadar Ali, sudah ada orang-orang India Selatan yang menetap di Pariaman. Orang Pariaman menyebut mereka disebut sebagai keluarga keling atau Urang Kaliang. Ketika melaksanakan upacara Tabuik pertama kali sekitar tahun 1826, Kadar Ali bekerjasama dengan penduduk lokal dan orang Keling. Penduduk lokal tersebut kemudian dinamakan Anak Nagari Pasar Pariaman mengembangkan Tabuik selanjutnya.
Penelitian antropologis Kartomi Margaret yang dikutip dalam thesis Siregar (1996) menuliskan legenda yang berkembang di Bengkulu bahwa Tabot berasal dari India. Kemudian seorang tokoh Islam yang bernama Kadar Ali membawa Tabot itu ke Pariaman. Secara kritis Muchtar (2014) mempertanyakan mengapa Kadar Ali sebagai tokoh yang membawa Tabuik tidak begitu dikenal di kalangan masyarakat Pariaman. Bahkan banyak yang tidak mengetahuinya. Namanya seakan hilang begitu saja. Apakah tidak ada pewarisnya atau diantara rombongannya yang bisa menjadi pewaris? Sehingga dapat menjelaskan tentang peran dan nama Kadar Ali. Masyarakat Pariaman secara umum hanya mengakui bahwa Tabuik berasal dari Bengkulu.