Pohon cemara telah terhias indah di sebagian besar pusat perbelanjaan dan perkantoran. Tak kalah, tempat-tempat wisata pun mengubah dekorasinya bernuansa Natal. Acara-acara di televisi banyak menyajikan acara bertemakan Natal. Dan masih banyak hal lainnya yang bernuansa Natal. Bahkan pohon Natal terhias indah di depan Istana negara untuk menyambut kelahiran Nabi Isa a.s.
Kaum Kristiani telah menyiapkan berbagai macam perayaan untuk menyambut kelahiran beliau a.s. Kita pun yang mengakui kenabian Nabi Isa a.s. turut berbahagia menyambutnya. Namun sangat disayangkan sebagian tokoh-tokoh Islam menyebarkan hukum-hukum yang tidak benar dengan mengatakan, “Mengucapkan selamat hari raya Natal hukumnya haram”. Hal ini membuat bingung sebagian masyarakat yang hidup bertetangga dengan umat Kristiani, apakah benar sekedar mengucapkan selamat hari raya Natal hukumnya haram atau ucapan tersebut bisa menodai agama Islam?
Untuk mendapatkan jawabannya yuk simak cerita di bawah ini:
Dokter asal Prancis, Dr. Louie, yang baru menginjak usia remaja pada akhir tahun 1978, bercerita tentang Imam Khomeini ketika memilih sebuah desa di Paris, Neauphle lè Château, sebagai tempat tinggal sementaranya sebelum kepulangannya yang bersejarah ke Tehran dari pengasingan:
Suatu hari dalam perjalanan menuju ke rumah dari sekolah, aku melihat kerumunan orang di gang yang mengarah ke tempat tinggalku. Ada beberapa wartawan dengan kamera menggantung di dada mereka. Mereka mengintai ke dalam taman dari atas pintu gerbang kayu hijau. Aku berusaha masuk ke dalam kerumunan, semakin aku masuk semakin sulit aku melihat dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Aku bertanya kepada wartawan apa yang terjadi. Dia mengatakan beberapa peristiwa penting akan terjadi. Dia bertanya apakah aku tinggal di desa itu.
“Ya, rumah kami ada di sana,” aku menunjuk rumah.
“Desa kamu akan segera menjadi desa paling terkenal di dunia,” kata wartawan itu.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Peristiwa penting apa yang akan terjadi di desa kami sehingga desa kami akan terkenal?” tanyaku.
“Kamu pernah mendengar nama Ayatullah Khomeini?” tanyanya.
Nama itu tidak asing bagiku. Aku telah mendengar nama itu beberapa kali sebelumnya dari radio dan televisi serta foto di surat kabar. “Maksudmu pemimpin agama Iran?” tanyaku pada wartawan.
“Tepat. Dia sudah tiba di desa ini. Dia akan menjadi tetanggamu,” katanya.
Wartawan itu melanjutkan bahwa ia dan rekannya sedang menunggu izin dari Ayatullah Khomeini untuk wawancara. Saya semakin penasaran untuk melihat pribadi besar ini. Pertemuan ini bisa menjadi bahan pembicaraanku di depan teman-temanku
“Akankah mereka mengizinkanku masuk jika aku menunggu?” tanyaku.
“Saya tidak tahu, kamu harus tanya penjaga yang berdiri di samping pintu taman,” jawabnya.
Aku segera meninggalkannya dan bertanya kepada penjaga, apakah aku punya kesempatan untuk bertemu dengan Ayatullah Khomeini.
“Kami tinggal beberapa langkah dari sini. Bisakah aku mengunjungi Ayatullah Khomeini?” tanyaku.
“Apa yang kamu ketahui tentangnya?” dia bertanya padaku.
“Aku tahu Ayatullah Khomeini adalah pemimpin agama Iran. Koran memuat foto-fotonya setiap hari.”
Penjaga itu berpikir sejenak dan bertanya apakah ada orang lain selainku yang ingin bertemu Ayatullah Khomeini. Aku menunjuk wartawan itu dan berkata, “Mereka juga ingin. Aku berjanji untuk melihatnya beberapa detik dan tetap tertib.”
Beberapa detik kemudian pintu gerbang taman terbuka lebar, tampak seorang lelaki tua yang bercahaya, memakai jubah keagamaan dan serban hitam di kepalanya. Aura spiritual mengalir darinya. Aku berpikir sejenak bahwa Al-Masih (Yesus) ada di hadapanku.
Satu jam berlalu sejak aku masuk dan tidak terasa betapa cepatnya waktu berlalu. Aku kembali ke rumah dan memberi tahu ibu. Aku bertanya, “Apakah kedatangannya ke desa kita membuat masalah?
“Saya pikir tidak, tapi ayahmu sedang mencari ketenangan, pikirannya sedang kacau” jawabnya.
Ibu benar. Hari itu ayah kembali ke rumah dari pekerjaannya. Ia tampak kesal sambil melepas mantelnya, duduk di sofa dan mengeluh, “Tahun ini aku terus dibuntuti kegagalan. Di satu sisi perusahaan menghadapi kebangkrutan dan di sisi lain, desa kita kehilangan kedamaiannya.”
Ibuku menghiburnya dengan berkata, “Jangan khawatir, koran menulis kalau Ayatullah Khomeini akan pergi dalam beberapa hari lagi ke Iran, jadi tempat ini akan menjadi damai kembali.”
Pertemuanku hari itu dengan Imam Khomeini terus menguasai pikiranku. Aku mengatakan kepada ayah kalau ayah ingin melihat seseorang, yang mengilhami perasaan yang sama seperti Yesus, maka ayah harus datang dan mendengar pidato Imam Khomeini.
Berbeda dengan harapanku, ayah menolak untuk bertemu Imam. Akupun bertanya mengapa ia menolak untuk melihat Ayatullah Khomeini.
“Dia sama seperti penceramah agama lainnya. Dia pasti hanya akan memberikan nasihat,” jawab ayah.
“Ayah selalu menasihati aku untuk tidak berburuk sangka. Saya pikir ayah orang yang rasional… dia akan berpidato pada hari ini. Ayo kita pergi mendengarkannya, setidaknya demi aku putramu. Ayah bisa pergi kalau tidak puas,” kataku pada ayah.
“Kapan kita harus pergi?” tanya ayah.
“Sekitar setengah jam lagi. Beliau terbiasa dengan tepat waktu,” kataku.
Beliau selalu datang tepat waktu dan duduk di tempat biasa di mana beliau bertemu wartawan. Semua berdiri sebagai tanda penghormatan kepada Ayatullah agung ini. Beliau duduk di bawah pohon rindang dan mulai berbicara dengan tenang dengan suara yang lembut. Penerjemah bersiap menyampaikan pidatonya ke dalam bahasa Perancis.
Beberapa menit kemudian, aku melihat wajah ayah. Dia mendengar dengan seksama, tampak air matanya tak tertahan lagi dan tampak jelas ia sangat terkesan dengan Ayatullah Khomeini. Aku bernapas lega.
Di malam kelahiran Yesus (Nabi Isa a.s.), kami sedang duduk untuk merayakannya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ayah menuju pintu dan aku mengikutinya. Seseorang dengan setangkai bunga dan sebuah bingkisan berkata, “Ini hadiah dari Ayatullah Khomeini. Beliau mengucapkan selamat kepada kalian di hari kelahiran Nabi Isa a.s. dan menyampaikan maaf dengan hormat kalau mengganggu perayaan Natal dan kehadirannya mengganggu desa.”
Ayah menerima bunga dan bingkisan itu. “Sampaikan terima kasih kami kepadanya.” Ayah berdiri kagum pada semua cinta dan kasih sayang yang diberikannya dan dia pun menangis.
Ibu bertanya apa yang terjadi. Aku bergegas menujunya untuk menjelaskan. “Tahun ini Al-Masih memberi kita hadiah; setangkai bunga dan sebuah bingkisan.”
Inilah pelajaran praktis dari Imam Khomaini bagi kita semua tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku terhadap teman-teman non muslim. Apakah kita hanya mengatakan, “Perayaan ini bukan buat saya, tidak ada hubungannya dengan saya” atau “Ucapan selamat kita bisa menodai Islam” dan sebagainya, atau kita menggunakan kesempatan ini untuk berdakwah dan menggambarkan kepada dunia betapa indahnya agama Islam, agama yang penuh kasih sayang.