Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Seorang Ibu? (1)

Kemarin tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu dalam penanggalan resmi Indonesia. Sejarah penetapan Hari Ibu telah dimulai sejak zaman sebelum kemerdekaan dalam Kongres Perempuan III tahun 1938. Keputusan ini mendapat legitimasi dari Presiden RI-1 Bapak Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 yang menetapkan Hari Ibu. Pada Hari Ibu hampir setiap orang mengungkapkan apresiasinya terhadap Ibu dan sekaligus menjadi trend topic di media sosial. Kali ini, kerinduan saya terhadap sang ibu kembali hadir memenuhi rongga perasaan. Teriring doa buat ibu, semoga kasih Tuhan mendekapmu dalam limpahan rahmat-Nya.

Saya membaca beberapa pendapat tentang kepada siapa saja sebutan ibu layak disematkan dan berbagai istilah tentang ibu. Sebagian orang kontra atas pemaknaan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, bahkan ada yang tidak mendukung peringatan Hari Ibu. Beberapa opini muncul berkaitan dengan istilah ibu, seperti: ibu paripurna, ibu biologis, ibu psikologis, ibu kosmologis dan seterusnya. Setelah seremonial peringatan Hari Ibu berakhir, saya masih merenung tentang ibu. Bagaimana referensi teks agama menggambarkan sosok ibu? Selain hadis populer dari Rasulullah salallahu alaihi wa alih tentang tingginya kedudukan ibu, apa sajakah ciri-ciri dan peran ibu menurut ajaran Islam?

Baca: Fikih Quest 34: Puasa Ramadhan bagi Ibu Hamil

Karakteristik ibu dalam Alquran

  • Karakteristik Biologis

Berdasarkan ilmu biologi, seseorang akan menjadi ibu ketika ia mulai mengandung dan melahirkan anak pertama kali. Hal seperti: mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak memiliki hubungan langsung dengan karakteristik biologis ibu. Sementara itu, penelitian membuktikan bahwa rasa keibuan dan merawat anak ada pada setiap perempuan secara alamiah. Rasa ini timbul dari rangkaian susunan kimia tubuh sang induk yang melekat dalam karakteristik fisik perempuan, misalnya rahim.

  • Ibu merupakan kodrat

Alquran menyatakan bahwa keibuan merupakan kodrat bawaan, bukan didapatkan melalui hasil kesepakatan. Hal ini dapat terlihat pada ayatnya yang menyebut dan menekankan sisi biologis seorang perempuan dalam tanggungjawabnya menjalankan peran ibu.  Merujuk ayat 2 surah Al-Mujadilah:

إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ

Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka

Ayat tersebut di atas menekankan bahwa ibu adalah orang yang melahirkan anaknya ke dunia. Tafsiran Ayatullah Makarim tentang ayat ini adalah hubungan ibu-anak melalui proses khusus yang disebut melahirkan dan mengandung. Hubungan tersebut tidak muncul dengan proses kontrak atau kesepakatan manusia.

Pandangan ini juga dapat dikuatkan dengan pembahasan tentang “anak angkat” yang berlaku pada zaman jahiliyah. Pada masa itu, seseorang bisa saja memanggil anak-anak lain sebagai anaknya sendiri dan memperlakukan sebagai anak kandung. Kebiasaan ini dihapus bersamaan dengan turunnya ayat berikut:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ

dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Marhum Thabarsi menjelaskan bahwa (أَدْعِيَاءَ) sebagai kata jamak dari (دعی) yang berarti orang yang memilih seseorang sebagai anaknya. Allah Swt menyatakan anak tersebut bukanlah anak yang hakiki. Ayat ini turun berkaitan dengan Zaid bin Haritsah yang telah dianggap sebagai anak kandung oleh Rasulullah salallahu alaihi wa alihi pada masa sebelum kenabian. Setelah pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy- mantan istri Zaid yang telah ditalaq olehnya- Yahudi dan kaum munafik protes kepada Beliau salallahu alaihi wa alih. Mereka menyatakan bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa alihi menikah dengan istri dari putranya sendiri. Kemudian ayat ini turun untuk membantah pendapat kaum munafik dan Yahudi.[1]

Baca: Kisah Nabi Muhammad saw. dan Nabi Musa as. Tentang Ibu

Zamakhsyari dalam “Tafsir al Kasyaf” menyatakan: “Anak kandung tidak bisa disamakan dengan anak angkat. Kenabian dan memiliki keturunan memiliki akar dalam penisbatannya, sedangkan anak angkat merupakan sesuatu yang ditambahkan (menempel). Sesuatu yang asli tidak bisa disatukan dengan sesuatu yang bukan asli, misalnya pada kisah Zaid bin Haritsah. Orang-orang menyebutnya sebagai “Zaid bin Muhammad salallahu alaihi wa alih” , kemudian turunlah ayat tersebut di atas[2].

Berdasarkan surah al-Mujadilah, mengemban tanggung jawab peran ayah dan ibu merupakan hal yang natural. Hubungan yang didasarkan kesepakatan atau kontrak tidak dapat menggantikan hubungan biologis. Mereka yang pernah mengandung, melahirkan dan menyusui sangat paham bagaimana rasanya jika makna ibu diingkari dari dirinya. Demikian halnya jika makna ibu biologis ini disamakan dengan ibu yang penisbatannya atas dasar kesepakatan.

  • Menstruasi

Setelah baligh terjadi perubahan fisik pada perempuan sebagai persiapan untuk menjalani peran ibu. Perubahan ini dimulai sejak masa baligh hingga masa menopause. Selama periode ini, terjadi mesntruasi berupa pendarahan fisiologis pada dinding rahim yang luruh. Secara normal, sekali setiap empat minggu perempuan memiliki potensi untuk mengandung. Menstruasi merupakan persiapan bagi proses kehamilan, yang dalam perspektif Islam terhitung sebagai salah satu tahapan untuk menjadi ibu.

Bagi perempuan masa menstruasi merupakan masa yang penuh kesulitan, namun disertai dengan pahala dan pendekatan kepada Ilahi. Alquran pada ayat 222 surah al-Baqarah menyatakan:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.

Ayatullah Makarim meyakini kata (أَذًى) bermakna kotoran atau sesuatu yang menyebabkan kesulitan. Makna ini menjelaskan falsafah hukum larangan melakukan hubungan suami istri terhadap perempuan haidh. Allamah Thabathabai dalam tafsir ayat ini memaknainya sebagai kesulitan yang bersamaan dengan kodrat. Sedangkan Marhum Thabarsi memaknai haidh sebagai sesuatu yang menyebabkan perempuan mengalami gangguan.

Dapat dinyatakan bahwa menstruasi merupakan ketentuan Allah Swt yang diberikan pada tubuh perempuan. Alquran menyatakan haidh sebagai kondisi yang menyulitkan dan pengantar bagi proses kehamilan dan melahirkan anak. Tentunya menanggung kesulitan tersebut tidak akan terhitung tanpa pahala. Pada periode ini perempuan meninggalkan shalat dan puasa, namun meninggalkannya berdasarkan kepatuhan terhadap aturan Ilahi. Allamah Majlisi menyatakan bahwa mendirikan dan meninggalkan shalat berdasarkan perintah Allah, maka mematuhinya terhitung sebagai penghambaan. Setiap penghambaan termasuk ibadah, karena ibadah kadang hadir dalam bentuk mengerjakan sesuatu (seperti shalat) dan kadang dengan meninggalkan sesuatu (seperti meninggalkan shalat ketika dalam keadaan haidh).

Bersambung …

Baca: Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Ibu? (2)

Catatan kaki:
[1] Syaikh Thabarsi, Tafsir Majma al-Bayan, j.8, h. 118.
[2] Az Zamakhsyari, Al-Tafsir al-Zamakhsyari al-Kasyaf, j.3, h. 250


No comments

LEAVE A COMMENT