Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan dari para leluhurnya bahwa Rasulullah saw dalam sebuah wasiatnya berpesan kepada Imam Ali as;
يا عليّ ثلاث درجات، وثلاث كفّارات، وثلاث مهلكات، وثلاث منجيات، فأمّا الدرجات فإسباغ الوضوء في السَبَرات(3)، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، والمشي بالليل والنهار إلى الجماعات. وأمّا الكفّارات فإفشاء السلام، وإطعام الطعام، والتهجّد بالليل والناس نيام. وأمّا المهلكات فشحّ مطاع، وهوى متّبع، وإعجاب المرء بنفسه. وأمّا المنجيات فخوف الله في السرّ والعلانية، والقصد في الغنى والفقر، وكلمة العدل في الرضا والسخط.
“Wahai Ali, ada tiga derajat tinggi, tiga kaffarat (tebusan atas kesalahan), tiga pembinasa, dan tiga penyelamat. Tiga derajat tinggi ialah berwudhu dengan baik meskipun cuaca sangat dingin, menunggu shalat setelah shalat, berjalan di malam dan siang hari menuju shalat jamaah. Adapun kaffarat ialah menebar salam, memberi makan, dan bertahajjud di malam hari ketika orang-orang lain tidur. Adapun pembinasa ialah kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan rasa takjub orang atas dirinya. Adapun penyelemat ialah takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun ramai, bersikap pertengahan dalam keadaan kaya maupun miskin, dan berkata adil dalam keadaan senang maupun marah.”[1]
Ishaq meriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
يا إسحاق خفِ الله كأنك تراه، وإن كنت لا تراه فإنّه يراك، وإن كنت ترى أ نّه لا يراك فقد كفرت، وإن كنت تعلم أ نّه يراك ثُمّ برزت له بالمعصية فقد جعلته من أهون الناظرين عليك.
“Wahai Ishaq, takutlah kepada Allah seolah kamu melihatNya, dan kalaupun kamu tidak melihatNya maka sungguh Dia melihatmu. Jika kamu mengira bahwa Dia tidak melihatmu maka kamu telah kafir, dan jika kamu mengetahui bahwa Dia melihatMu lalu kamu menampakkan maksiat kepadaNya maka kamu telah memasukkanNya dalam golongan para pengawas yang paling remeh terhadapmu.”[2]
Takut Dan Harapan
Patut diingat pula bahwa takut saja tanpa dibarengi harapan baik –sebagaimana akan dibahas pada catatantersendiri- berdampak buruk bagi kebanyakan orang. Sebagaimana rasa takut kepada Allah yang pada hakikatnya memang dapat membenahi hati dan jiwa, optimisme dan pengharapan saja juga demikian halnya, seperti disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abi Najran dari para perawi lain bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar al-Shadiq as; “Bagaimana dengan suatu kaum yang melakukan maksiat dan berkata, ‘Kami berharap (kelak akan baik),’ lalu mereka berkelanjutan demikian hingga kematian mendatangi mereka?” Imam as menjawab;
هؤلاء قوم يترجّحون في الأماني، كذبوا ليسوا براجين من رجا شيئاً طلبه، ومن خاف من شيء هرب منه.
“Mereka adalah kaum yang berharap dalam angan-angan belaka, mereka berdusta, dan bukan orang yang berpengharapan. Barangsiapa berharap sesuatu maka dia mencarinya, dan barangsiapa takut kepada sesuatu maka dia lari darinya.”[3]
Husain bin Abu Sarah meriwayatkan; Aku mendengar Abu Abdillah berkata;
لا يكون المؤمن مؤمناً حتّى يكون خائفاً راجياً، ولا يكون خائفاً راجياً حتّى يكون عاملاً لما يخاف ويرجو.
“Orang yang beriman tidak akan menjadi mukmin sampai dia takut sembari berharap, dan dia tidak akan takut sembari berharap sampai dia berbuat berkenaan dengan apa yang dia takuti dan dia harapkan.”[4]
Jelas bahwa takut saja atau berharap saja justru berdampak kontra produktif bagi jiwa, tapi ini terjadi bukan karena rasa takut dan harapan itu sendiri, melainkan akibat kelemahan jiwa manusia pada umumnya. Karena itu, al-Quran dan sunnah Nabi saw sangat menekan keseimbangan antara takut dan harapan. Allah SWT berfirman;
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً. . .
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,…”[5]
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam menyifati orang-orang yang bertakwa berkata;
فهم والجنّة كمن قد رآها فهم فيها منعّمون، وهم والنار كمن قد رآها فهم فيها معذّبون.
“Mereka seolah benar-benar melihat surga dan merasakan nikmat di dalamnya, dan mereka seolah benar-benar melihat neraka dan merasa tersiksa di dalamnya.”[6]
Jika yang ada dalam diri hanyalah harapan saja maka akan terjebak pada angan-angan belaka seperti disebutkan dalam riwayat yang dari Ibnu Abi Najran. Sedangkan jika yang ada diri hanyalah rasa takut saja maka yang akan terjadi adalah keputus asaan sebagai terjadi pada Hamid bin Qahtabah yang kisanya yang terkenal dan diriwayatkan oleh Ubaidillah al-Bazzaz al-Nisaburi.
(Bersambung)
[1] Kitab al-Khishal, jilid 1, hal. 84-85, Bab al-Tsalatsah, Hadits 12.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 220, bab 14 Bab Jihad al-Nafs, Hadis 6.
[3] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 216, bab 13 Bab Jihad al-Nafs, Hadis 2.
[4]Ibid, hal. 217, hadis 5.
[5] QS. Al-Sajdah [32]: 16.
[6] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.