Safinah-online.com – Seiring dengan semakin meredanya isu krisis Suriah, jejak-jejak makar alias konspirasi musuh Islam di balik hembusan perpecahan Sunni-Syiah semakin terungkap. Brutalitas dan kegilaan yang ditunjukkan ISIS, Al-Nusra, FSA, dan berbagai kelompok “jihad palsu” lainnya semakin membuka mata kaum Muslimin bahwa pasti “ada sesuatu” di balik isu kesesatan Syiah, termasuk isu bahwa Syiah mentradisikan pencercaan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW.
Pemberian suaka politik dan beragam fasilitas lainnya oleh pemerintah Inggris kepada seorang aktivis Syiah ekstrem bernama Yasser Habib merupakan indikator yang mustahil untuk diabaikan. Pemberian suaka politik dan beragam fasilitas itu tak mungkin hanya sekedar niat baik pemerintah Inggris untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sama seperti kasus Salman Rushdie, Yasser Habib adalah pion untuk memecah-belah ummat Islam, agar mereka menjadi lemah dan akhirnya mudah untuk dikuasai. Divide and rule, pecah-belah dan kuasai. Inilah peran yang dijalankan oleh Dinas Intelejen Inggris MI6.
Tapi, sejatinya, konspirasi di balik isu perpecahan Sunni-Syiah itu, lebih jahat darpada sekedar divide and rule. Ada program lain yang lebih jahat yang dirancang oleh Amerika:divide and destroy, pecah belah dan hancurkan! Adalah sebuah buku yang memuat wawancara dengan Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA, yang mengungkap masalah ini. Buku itu berjudul A Plan to Divide and Destroy the Theology.
Di dalam buku tersebut, Brant mengatakan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar (lebih dari 12 Trilyun Rupiah) untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Dikatakan bahwa isu kebangkitan Islam sangat mencemaskan kekuatan besar dunia. Maka, cara lama harus dipakai dengan target yang lebih mematikan. Cara lama tersebut adalah memecah kekuatan ummat Islam dengan berbagai isu perpecahan di antara Sunni dan Syiah.
Titik sentral yang menjadi target bidikannya adalah upacara duka Asyura. Peringatan gugur syahidnya Imam Husein as di Karbala yang sejatinya selalu menjadi inspirasi kebangkitan dan perlawanan terhadap kezaliman itu, harus dikesankan menjadi upacara yang memicu sentimen perpecahan Sunni-Syiah. Harus dibuatkan propaganda semasif mungkin sehingga orang-orang Sunni menjadi tersinggung dan marah dengan peringatan duka Asyura orang-orang Syiah.
Di sisi lain, dari kalangan orang Syiah sendiri, harus dicari atau diciptakan orang-orang yang membelokkan spirit peringatan Asyura sehingga kata-kata dan perilaku orang-orang ini menjadi sasaran tembak yang sangat empuk bagi propaganda anti Syiah. Harus diupayakan agar praktik azadari (upacara duka) terkesan sangat buruk. Sebagaimana di kalangan Sunni ada kelompok-kelompok ekstrim yang dikecam oleh para ulama Sunni (misalnya, kelompok-kelompok teror), di kalangan Syiah pun ada kelompok ekstrim yang dikecam oleh ulama Syiah. Perilaku melukai diri sendiri dalam peringatan Asyura sudah banyak dikecam bahkan diharamkan oleh ulama Syiah, namun ada segelintir kelompok ekstrim yang berkeras melakukannya.
Soal pelaknatan sahabat pun demikian. Meski sudah banyak ulama Syiah mengecam, bahkan Ayatullah Khamenei mengharamkannya, ada saja yang provokatif melakukannya, atau memang sengaja untuk mengadu-domba umat (misalnya, yang dilakukan oleh Yaser Habib).
Namun, klarifikasi seperti ini biasanya akan dibantah lagi: bukankah pengkafiran terhadap sahabat dan istri Nabi SAW tersebut memang tercantum di kitab hadis paling shahih bagi orang-orang Syiah, yaitu kitab Al-Kafi karya Kulaini?
Hal ini pun sebenarnya adalah isu lama yang sudah berkali-kali dijawab para ulama Syiah. Jawabannya adalah: dalam Syiah tidak ada kitab hadis sahih. Hal ini berbeda dengan kaum Sunni. Ulama Sunni menetapkan ada kitab-kitab hadis sahih, yaitu kitab hadis yang seluruh isinya dijamin otentik, tidak ada yang palsu. Di kalangan Sunni diyakini bahwa kitab hadis yang disusun oleh Bukhari dan Muslim disebut shahihain (dua kitab hadis sahih).
Sebaliknya, di kalangan Syiah, tidak ada satu pun kitab hadis, termasuk kitab Ushul Al-Kafi, yang dinyatakan oleh kaum Syiah sebagai kitab sahih. Kaum Syiah meyakini bahwa hanya Al-Quran-lah satu-satunya kitab yang dijamin keasliannya. Adapun kitab-kitab lainnya, sangat terbuka untuk dikritisi, karena memang bisa jadi memuat hadis-hadis palsu. Para ulama Syiah pun aktif meneliti berbagai kitab kumpulan hadis itu. Di antaranya, Sayyid Ali Al-Milani yang telah meneliti kitab Ushul Al-Kafi, menyatakan bahwa lebih dari setengah hadis di dalam kitab itu (lebih dari 9.000) adalah hadis dha’if (lemah) dan tidak bisa dipercaya. Termasuk hadis yang lemah itu adalah berbagai riwayat yang terkait dengan pengkafiran dan tuduhan murtad terhadap para sahabat besar. Karena itu adalah hadis lemah, sangat tidak logis bila ada yang menjadikannya sebagai argumen bahwa inilah “bukti kesesatan Syiah”.
Meskipun isu itu sudah sangat usang dan sudah berkali-kali dijawab, akan tetapi, isu ini masih terus laris dijadikan bahan propaganda. Mengapa? Pertama, telah terjadi pergantian generasi. Generasi zaman sekarang tidak atau belum mengetahui jawaban tersebut (dan mereka tidak mau repot meneliti atau membaca lebih banyak untuk bertabayun). Kedua, ini adalah efek dari merebaknya media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir ini, beragam hoax dengan sangat mudahnya tersebar di tengah masyarakat, termasuk juga isu bohong tentang Syiah. Karena sangat seringnya di-share ulang dan dibaca ulang, kebohongan yang absurd sekalipun akan dianggap sebagai kebenaran yang aksiomatis.
Karena itu, kita memang perlu bijak bermedia sosial. Banyak orang sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli smart phone. Sungguh ironis bila yang smart (pintar) adalah phone-nya, sementara pemakainya justru semakin terpuruk dalam hoax dan pembodohan, serta menjadi bagian dari alat konspirasi musuh Islam dalam menghancurkan agama ini.