Kesabaran adalah tema yang mengawali pembahasan mengenai akhlak seorang salik. Akhlak di sini adalah turunan dari muamalat kalbu dengan Allah SWT dan merupakan bakat dalam jiwa yang dengan sendirinya menghasilkan perangai terpuji. Ketika muamalat kalbu seseorang dengan Allah terjadi berulang-ulang dengan niat yang tulus maka dari keberulangan ini akan tumbuh bawaan yang kuat dalam diri sehingga mudah baginya menghasilkan keutamaan dan kebajikan.[1]
Mari menyimak beberapa firman Allah SWT dalam al-Quran al-Karim sebagai berikut;
مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللّهِ بَاق وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”[2]
Baca: Memperdalam Ilmu Agama, Manajemen Kehidupan Dunia, dan Bersikap Sabar
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَاب.
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”[3]
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْء مِّنَ الْخَوفِ وَالْجُوعِ وَنَقْص مِّنَ الأَموَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ * الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ * أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”[5]
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”[6]
Baca: Jalinan Ruh Suci Imam Husein a.s. dengan Allah Kekasihnya Lewat Lantunan Doa
Selanjutnya mari menyimak beberapa riwayat sebagai berikut;
Riwayat pertama, dengan sanad yang sahih dari Fudhail bin Yasar bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
الصبر من الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد، فإذا ذهب الرأس ذهب الجسد، كذلك إذا ذهب الصبر ذهب الإيمان.
“Kesabaran bagi iman kedudukannya seperti kepala bagi badan, jika kepala hilang maka hilang pula badan, demikian pula jika sabar hilang maka hilang pula iman.”[7]
Kesabaran ditempatkan sebagai kepala bagi keimanan bisa jadi karena beberapa alasan sebagai berikut;
Pertama, kesabaran dalam bertahan pada kepatuhan dan meninggalkan maksiat adalah kepala bagi iman karena pada jiwa manusia di satu sisi terdapat syahwat dan naluri hewani, dan di sisi lain juga terdapat akal dan kebijaksanaan. Manusia tidak seperti hewan yang hanya memiliki syahwat sehingga tak mampu melawan syahwat. Manusia juga tidak seperti malaikat yang hanya memiliki akal dan makrifat serta tidak memiliki beban syahwat yang harus dikendalikan dengan kesabaran.
Baca: Sehari Satu Ayat: Selalu Perlu Kesabaran
Dengan demikian maka kesabaran berarti memenangkan prajurit akal atas pasukan syahwat yang berkonfrontasi satu sama lain dalam diri orang yang beriman, sehingga wajarlah apabila kesabaran merupakan kepala bagi iman.
Kedua, kesabaran ketika mengalami musibah berarti kemampuan menjaga ketenangan jiwa dalam menghadapinya sejauh keterhubungannya dengan Allah SWT, dan jika seseorang dapat membela diri jika musibah itu terhubung pada musuhnya maka kesabaran itu juga menuntut upaya mengatasinya sejauh kemampuan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Semua ini tidak menegasikan kesabaran dalam menghadapi musibah karena justru dapat menjaga keseimbangan diri sehingga keguncangan tidak lantas membuatnya ingkar kepada Allah dan tidak pula mendorongnya untuk mengadu kepada selainNya.
Jelas bahwa tidak ingkar kepada Allah sedemikian rupa adalah ibarat kepala bagi keimanan. Sedangkan mengadu dan meratap kepada Allah tidaklah masalah, karena Nabi Ya’qub as juga meratap kepadaNya, sebagaimana diabadikan dalam al-Quran al-Karim;
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ.
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”[8]
(Bersambung)
[1] Lihat Syarah Manazil al-Sa’irin oleh al-Kasyani, Abwab al-Akhlaq, Bab al-Shabr, hal. 84 – 85.
[2] QS, Al-Nahl [16]: 96.
[3] QS. Al-Zumar [39]: 10.
[4] QS. Al-Baqarah [2]: 156 – 157.
[5] QS. Al-Baqarah [2]: 153.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 45.
[7] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 89, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Shabr, Hadis 5.
[8] QS. Yusuf [12]: 86.