Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ahlul Bait Milik Semua

Oleh: Husein Alkaf

“Indonesia milikku, Indonesia milikmu dan Indonesia milik Kita”. Slogan ini luar biasa. Ia mengandung arti yang dalam. Ketika Indonesia menjadi milik saya, saya wajib merawat dan membelanya. Ketika ia milik kamu, saya wajib menghargainya. Dan ketika ia milik kita, saya bersama kamu dan yang lainnya wajib bersama-sama dan bersatu melawan siapapun yang akan merebut tanah air Indonesia dan memecah belah rakyat Indonesia. Mereka adalah kita sendiri. Slogan ini, selain puncak kesadaran berbangsa dan bernegara, merupakan perwujudan dari pilar Bhinneka Tunggal Ika yang harus dipertahankan.
Kesadaran semacam itu harus ditularkan pula pada kaum Muslimin dalam kaitannya dengan kecintaan kepada Ahlul Bait (keluarga Nabi saw.). Sejatinya, Ahlul Bait milik semua umat Islam; mereka milikku, mereka milikmu dan mereka milik kita (kaum Muslimin). Mereka bukan milik satu golongan saja, dan satu golongan tidak berhak mengklaim hanya mereka yang memiliki Ahlul Bait. Setidaknya, ada dua alasan mengapa Ahlul Bait milik semua kaum Muslimin;

Pertama, perintah agama. Maksudnya, dalam berbagai ayat dan riwayat, Islam menyuruh kaum Muslimin untuk mencintai Ahlul Bait Nabi saw., seperti firman Allah, “Katakanlah, Aku tidak meminta upah dari kalian karenanya (karena dakwah ini) kecuali kecintaan kepada keluarga” (QS. al Syura [42]: 23). Karena itu, umat Islam wajib menicintai mereka. Atau riwayat yang berbunyi, “Cintailah Allah karena Dia mencurahkan nikmat kepada kalian. Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah Ahlul Baitku karena kecintaan kepadaku” (HR Tirmidzi), dan riwayat-riwayat lainnya. (Baca: Ritus Arbain, Long March Cinta)

Kedua, fakta sejarah. Seorang Muslim yang mencintai Nabi Muhammad saw. pasti mencintai keluarganya. Yang tidak mencintai keluarga Nabi saw. diragukan kecintaannya kepada beliau, karena kecintaan kepada keluarga Nabi saw. merupakan konsekuensi dari kecintaan kepada beliau. Hal ini dibuktikan dengan kecintaan para sahabat Nabi kepada Ahlul Bait. Sebut saja Abu Bakar, sebagaimana dalam Sahih al-Bukhari, berkata, “Perhatikan Muhammad saw. melalui keluarganya. Demi Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, keluarga Rasulullah saw. lebih aku cintai dari keluargaku”  (HR. Bukhari). Demikian pula, Umar al Khaththab berkata, “Hai Fathimah, demi Allah, aku tidak melihat seseorang lebih dicintai oleh Rasulullah saw. darimu. Demi Allah, tidak ada seseorang dari manusia setelah ayahmu yang lebih aku cintai darimu” (HR. al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain).

Demikian pula para imam empat mazhab: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Mereka mencintai Ahlul Bait as. Diceritakan bahwa Abu Hanifah, karena kecintaannya kepada Ahlul Bait, telah mendermakan hartanya dalam jumlah yang banyak untuk mereka.

Malik bin Anas dikenal sebagai orang yang dekat Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far al Shadiq.  Muhammad bin Idris al Syafi’i telah menggubah bait-bait syair tentang kecintaannya kepada Ahlul Bait, “Hai Ahlul Bait Rasulullah, kecintaan kepada kalian adalah kewajiban yang Allah tetapkan dalam Qur’an”. Sementara Ahmad bin Hanbal telah menyusun satu bab dalam kitab Musnadnya tentang keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. (Baca: Belajar Mencintai Alquran dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ a.s.)

Dengan dua alasan di atas, Ahlul Bait (wajib) dicintai oleh semua kaum Muslimin. Karena itu, mereka adalah milik semua umat Islam. Bisa dipastikan, tidak seorang Muslim pun yang (berani) membenci Ahlul Bait. Kebencian kepada mereka berdampak pada kebencian kepada Nabi saw. dan akan menggugurkan keimanan seorang Muslim.

Masalahnya, tingkat kecintaan kaum Muslimin kepada Ahlul Bait berbebeda-beda. Sebagai analogi, keberadaan Ahlul Bait seperti matahari. Semua orang Muslim, bahkan semua manusia, membutuhkan bimbingan Ahlul Bait, sebagaimana semua makhluk hidup di bumi membutuhkan cahaya matahari. Namun, terkadang seseorang tidak sadar dirinya membutuhkan mereka dan, bagi yang sadar pun, kesadarannya terhadap kehadiran mereka bertingkat-tingkat; ada yang merasa cukup dengan mencintai dan menjunjung mereka tanpa sebuah konsekuensi dan komitmen, ada yang mengikuti mereka dalam urusan spiritual saja hingga, menurut sebuah penelitian, semua thariqah tasawwuf berujung kepada Ahlul Bait as., ada yang hanya merasa bangga karena hubungan genetik dengan mereka, ada pula yang berusaha mengikuti mereka dalam segala urusan agama: akidah, akhlak dan fikih. (Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian)

Sejatinya, Ahlul Bait bukan sebuah mazhab atau aliran, tapi mereka adalah kelanjutan dari Nabi Muhammad saw. itu sendiri. Karena itu, mereka milik semua kaum Muslimin. Siapapun berhak mengaku sebagai pecinta dan pengikut mereka. Tingkat hubungan dengan Ahlul Bait bisa berbeda-beda tergantung kesadaran yang terbangun dalam diri setiap Muslim. Kesadaran ini harus dibangun dan dikembangkan sehingga setiap Muslim benar-benar memberikan perhatian yang cukup terhadap Ahlu Bait, dan mereka pun hadir dalam hati dan jiwa setiap Muslim.

Yang harus dilakukan kaum Muslimin adalah berlomba-lomba meraih sebanyak mungkin siraman cahaya Ahlu Bait as. Makin banyak seseorang mendapatkan siraman cahaya mereka, dia makin memahami ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Sesama mereka tidak boleh saling menghalangi dan menjegal untuk mendekati cahaya Ahlu Bait as. Biarkan cahaya Ahlu Bait as. menyinari hati dan pikiran kaum Muslimin tanpa sekat, dan biarkan setiap Muslim membuka hati dan pikirannya agar tersinari cahaya itu sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya dan tanpa harus dipaksa.[*]

Baca: “Ahlul Bait, Pengawal Umat

 

No comments

LEAVE A COMMENT