Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Alasan Imam Ali Ridha Menerima Jabatan Putra Mahkota

Melalui pengangkatan Imam Ali Ridha a.s. sebagai putra mahkota, sebenarnya Khalifah Makmun berkeinginan untuk merusak reputasi dan nama baiknya sedikit demi sedikit melalui mata-mata dan tenaga intel yang dimilikinya. Namun demikian, Imam a.s. telah mengetahuinya dan mengungkapkannya kepada Makmun.

Beliau a.s. berkata: “Dengan langkah tersebut, kamu hendak merekayasa agar orang-orang beranggapan bahwa Ali Ridha bin Musa sebenarnya tidaklah zuhud pada dunia, namun dunianya saja yang tidak lagi berpihak kepadanya. Tidakkah kalian lihat bagaimana ia menerima posisi pemerintahan karena tamak pada kursi kekhilafahan?” (‘Ilalusy-Syarayi’, hal. 238)

Makmun sendiri pernah menyampaikan beberapa ambisinya secara terus terang kepada orang-orang Abbasiyah. Ia mengatakan: “Akan tetapi, kita perlu sedikit demi sedikit menghancurkan reputasinya sehingga kita dapat membayangkannya berada pada situasi saat ia tidak lagi layak mengemban jabatannya.”

Baca: Profil Imam Ali ar-Ridha A.S

Dengan cara ini pula Makmun hendak mengelabuhi kelompok pemberontak. Diharapkan mereka akan melihat dan mempertimbangkan bahwa Imam a.s. adalah bagian dari elit pemerintah yang sedang berkuasa, dan kesan ini akan semakin mendalam ketika mereka menemukan saudara-saudara dan anak paman pamannya kini telah menjadi penguasa di berbagai wilayah. Dan memang kenyataannya, Makmun telah menetapkan dua saudara Imam a.s., Abbas dan Ibrahim sebagai penguasa Kufah dan Yaman. (Tarikh Ibnu Khaldun, 5/523)

Dalam kondisi seperti ini sisa kelompok pemberontak akan berhadap hadapan langsung dengan para pendukung Imam as sendiri. Inilah langkah yang ia sebut “meredam otak pemberontakan.”

Ketika kelompok pemberontak ingin melakukan pemberontakan bersenjata, maka dengan sendirinya mereka akan berhadapan langsung dengan para penguasa Alawi, dan kemudian penguasa itu akan menginstruksikan penumpasan mereka. Demikianlah Makmun berandai­andai kalau hal ini benar-benar dapat terjadi sebagaimana yang ia andaikan sehingga ia tidak ragu-ragu lagi langsung menobatkan Imam Ali Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Selain itu, Makmun berkeinginan agar berbagai tindak kriminal dan kebobrokan pemerintahan saat itu dapat dialamatkan kepada seorang penguasa dari Ahlulbait atau dialamatkan kepada para pendukungnya di wilayah-wilayah yang mereka pimpin.

Makmun pernah berkata kepada Imam Ali Ridha: “Wahai putra Rasulullah, aku telah mengenali keutamaan, keilmuan, kezuhudan, kewarakan, dan ibadah-ibadahmu. Menurutku, kamu jauh lebih berhak atas kekhalifahan daripada aku.”

Lalu Imam as menanggapi: “Dengan beribadah kepada Allah Azza Wajalla aku berbangga, dengan zuhud pada dunia aku berharap luput dari keburukan dunia, dengan bersikap warak dari hal-hal yang diharamkan aku mengharapkan kesuksesan dengan berbagai keberuntungan, dan dengan berendah diri di dunia aku berharap kedudukan tinggi di sisi Allah.”

Makmun lalu menanggap balik: “Aku berpandangan, sebaiknya aku mengundurkan diri dari kekhilafahan dan memberikannya untukmu, lalu aku akan membaiatmu.”

Imam Ali Ridha balik berkata: “Andaikan kekhilafahan ini memang hakmu dan Allah telah menjadikannya untukmu, maka kamu tidak boleh melepaskan baju yang telah Allah pakaikan kepadamu lalu kamu pakaikan kepada orang lain. Namun, jika kekhilafahan itu memang bukan hakmu maka kamu tidak boleh memberikan kepadaku apa yang bukan milikmu.”

Lalu Makmun berkata kepadanya: “Wahai putra Rasulullah, kamu harus menerima tawaran ini.”

Imam menjawab: “Sampai kapan pun saya tidak akan menerimanya.”

Makmun terus menerus berusaha selama beberapa hari hingga merasa bosan menunggu jawaban Imam a.s. Maka ia berkata kepadanya: “Kalau kamu tetap tidak mau menerima kekhilafahan dan tidak suka dengan apa yang ditawarkan kepadamu, maka jadilah kamu sebagai Putra Mahkota hingga kamulah yang akan menjadi khalifah setelahku.”

Selanjutnya, terjadi dialog saat Imam a.s. memaparkan kepada Makmun apa yang menjadi alasan sebenarnya Makmun berbuat demikian. Makmun pun marah dan berkata kepada beliau: “Kamu benar-benar selalu menanggapiku dengan apa yang tidak aku sukai. Maka demi Allah, kamu harus menerima posisi Putra Mahkota ini, dan kalau tidak, aku akan paksa kamu hingga mau menerimanya. Kamu harus melakukannya, dan kalau tidak maka akan aku penggal lehermu.”

Lalu Imam berkata: “Allah Azza Wajalla telah melarangku menjerumuskan diri dengan tanganku sendiri kepada kehancuran. Kalau memang kemauan kamu demikian maka lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan dan aku akan menerima tawaran tersebut. Akan tetapi, aku tidak akan terlibat memerintah seseorang, tidak pula akan mengisolir seseorang, tidak pula akan terlibat pelanggaran terhadap Alquran dan sunah, dan aku akan menjauh sejauh-jauhnya dalam urusan pemerintahan.”

Makmun pun menerima persyaratan Imam a.s. dan kemudian mengangkatnya sebagai putra mahkota, sekali pun sebenarnya Imam as tetap tidak menginginkannya. (‘Ilalusy-Syarayi’, hal. 237-238)

Imam Ali Ridha a.s. secara terus terang telah menyatakan keterpaksaannya menerima tawaran tersebut kepada orang yang bertanya atau mengajukan keberatan kepadanya karena telah bersedia menerimanya. Beliau a.s. berkata: “Allah telah mengetahui keenggananku untuk menerima itu, dan ketika saya harus memilih antara menerima dan terbunuh, maka aku pilih menerima daripada terbunuh. Sesungguhnya Yusuf adalah seorang nabi dan rasul, dan ketika ia tertekan oleh kondisi genting untuk menerima jabatan bendahara negara, seperti disebutkan oleh Alquran surah Yusuf ayat 55

Berkata Nabi Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir} sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’, dan kini aku pun ditekan oleh kondisi genting serupa untuk menerima itu di bawah ancaman dan paksaan setelah aku hampir menemui binasa. Sesungguhnya aku tidak menduduki jabatan ini kecuali duduk untuk dapat keluar darinya, dan kepada Allah-lah tempat mengadu, Dia Maha Memberi pertolongan.” (‘Uyunul-Akhbar ar-Ridha as, 2/139)

“Wahai putra Rasulullah, apa pertimbanganmu masuk dalam pemerintahan?”

Beliau as menjawab: “Sebagaimana pertimbangan kakekku Amirul Mukminin yang ikut serta dalam syura (yang dibentuk Khalifah kedua).”

Baca: 4 Kisah Menarik Imam Ridha a.s.

Imam a.s. tidak menerima tawaran Makmun bukan karena takut terbunuh, melainkan terbunuhnya beliau merupakan kerugian besar bagi misi risalah Islam, begitu juga umat saat itu dalam kondisi benar-benar membutuhkan kepemimpinannya dalam berbagai bidang kehidupan. Dikatakan kepada beliau andaikan imam terbunuh, maka teror dan intimidasi akan menimpa para pengikutnya. Terbunuhnya beliau berarti kunci pembuka untuk membunuh seluruh keluarga, pengikut dan para penolongnya. Terbunuhnya beliau akan membangkitkan gerakan revolusi bersenjata yang tanpa arah dan pertimbangan jelas dan akan mengarah pada gerakan revolusi yang sentimental dan emosional berbahaya tanpa perencanaan matang sebelumnya. Selanjutnya sumber daya militer yang ada akan habis begitu saja tanpa menghasilkan suatu perubahan yang berarti.

Inilah sebab kenapa Imam a.s. mau menerima posisi di pemerintahan karena tekanan dan intimidasi. Dari sini, Imam as harus memanfaatkan kondisi apa pun sehingga memberi manfaat yang bisa beliau lakukan untuk menghidupkan kembali sunah, menghapuskan berbagai bid’ah, memobilisasi seluruh kekuatan, menggagalkan langkah-langkah Makmun ke depan dan meluruskan apa yang bisa beliau lakukan dalam pemikiran dan pemahaman politik umat yang salah.

*Disadur dari buku Teladan Abadi Imam Ali Ridha – Tim Alhuda

No comments

LEAVE A COMMENT