Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Apakah Agama Sumber Pertikaian? (2)

Telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya sebuah prinsip di dalam agama, yaitu persamaan di antara umat manusia dalam kemuliaan dan kehormatan. Bahwa setiap dari mereka mendapatkan kemuliaan yang sama sebagai manusia, diberi akal dan syariat. Selain itu, salah satu hikmah dari penciptaan mereka yang secara fisik berbeda satu dengan lainnya, dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS: al-Hujurat 13)

Tujuan yang disebutkan dalam ayat ini, bukanlah agar mereka berperang! Tetapi “li ta’arafu”; agar mereka saling mengenal di antara mereka. Ayat ini pun menunjukkan kepada kita bahwa prinsip di dalam agama adalah persamaan di antara umat manusia di dalam kemuliaan dan kehormatan. Karena tujuan dari eksistensi umat manusia adalah ta’aruf (saling mengenal), saling bertemu dan saling memberi ide-ide dan potensi-potensi satu sama lain.

Prinsip ini diserukan oleh Amirul Mukminin Ali as di masa kekhalifahannya, saat beliau mengangkat Malik al-Asytar sebagai seorang gubernurnya: “Serukan hatimu agar mengasihi dan menyayangi rakyat, dan janganlah kamu menjadi bringas tanpa kendali, yang merampas akal mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua golongan, yaitu: saudaramu dalam agama atau sesamamu sebagai manusia.” (Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian)

Perang Karena Membela Diri

Agama Sumber Pertikaian? (2)(2)Sebuah pertanyaan terkait dengan adanya peperangan, kapan perang itu disyariatkan? Apakah setiap muslim boleh membunuh semaunya siapapun yang kafir -sehingga pasti akan terjadi kekacauan? Apakah di dalam agama, perang merupakan prinsip yang mendasar? Jelas tidak! Mengapa? Karena perang tidak disyariatkan kecuali dengan tujuan difa’ (membela diri). Jadi, perang itu bersifat pembelaan diri (difa’i).

Dalam agama tidak disyariatkan untuk menyerang, memerangi, menjajah tanah atau negeri, menawan kaum wanita, membunuh kaum laki, menyembelih anak-anak. Perang di dalam agama bukanlah sebuah dasar. Allah swt berfirman:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS: al-Baqarah 190)

Perang terjadi atau dilakukan bila –ada yang- terbunuh. Dalam ayat itu dikatakan: Perangilah siapa yang memerangimu, dan jangan melampaui batas! Dalam QS: al-Hajj 39 pun diterangkan bahwa: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi.. (awalnya mereka terbunuh, kemudian mereka melakukan pembelaan diri. Maka diperkenankan bagi mereka yang terbunuh –untuk memerangi), karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Baca: Nusaibah, Pahlawan Perempuan di Perang Uhud)

Jadi, yang menyerang (dahulu) itulah yang diperangi. Adapun yang berdamai tetaplah pada prinsip semula, yaitu kemuliaan manusia! Orang yang berdamai, berada di dalam prinsip yang pertama, yaitu memiliki hak karamah; dimuliakan dan hak dihormati. Dalam hal ini tidak pandang apa agamanya, tetapi apakah orang itu –muslim atau non muslim- melampaui batas, atau tidak? Oleh karena itu, yang diperangi dalam agama adalah orang yang melampaui batas.

Allah swt berfirman: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS: al-Hujurat 9)

Perang itu Pengecualian

Allah swt juga berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS: al-Mumtahanah 8-9)

Berarti, tidak masalah mengadakan hubungan dengan orang-orang non muslim, walaupun kita tidak meyakini agama dan keyakinan mereka. Akan tetapi, yang dilarang oleh Allah ialah sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”

Janganlah menjadikan orang yang melampaui batas sebagai kawan, dan juga orang yang memerangi. Jadikanlah sebagai kawan orang yang berdamai! (Baca: Pesan Damai dalam Kebangkitan Imam Husein AS)

Oleh karena itu, perhatikan ayat suci berikut ini, firman Allah: Sesungguhnya orang-orang mukmin, para pemeluk (agama) Yahudi, para pemeluk (agama) Nasrani dan orang-orang Shabi`in (para pengikut Nabi Yahya as), jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS: al-Baqarah 62)

Jika mereka beriman kepada para nabi dan rasul, beriman kepada hari akhir dan beramal saleh, niscaya mereka tidak mempunyai rasa takut dan rasa sedih. Jadi bahasa Alquran adalah bahasa insani; bahasa kemuliaan insani; bahasa persamaan di antara umat manusia. Orang mengambil sebagian ayat dan membuang sebagian ayat lainnya. Ayat-ayat yang dijadikan pegangan, misalnya:

Hai nabi, kobarkanlah semangat mukminin untuk berperang.. (QS: al-Anfal 65), dan berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS: at-Taubah 73). Adalah ayat-ayat yang mensyariatkan ketika muslimin dalam kondisi difa’, membela diri mereka; ketika mereka menjadi target penyerangan, maka boleh berjihad melawan yang lainnya (ibtida`i).

Jadi kita melihat bagian ini, kita melihat bahwa prinsip bukanlah perang. Perang adalah soal pengecualian, dan bukanlah perkara prinsip.

Baca Selanjutnya: “Apakah Agama Sumber Pertikaian? (3)

 

No comments

LEAVE A COMMENT