Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Apakah Agama Sumber Pertikaian? (3)

Telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa agama tidak menjadikan perang sebagai sebuah prinsip baginya. Perang adalah jalan terakhir ketika tiada pilihan lain kecuali berperang, dan telah terjadi peperangan yang tak diinginkan itu. Namun, perdamaian diserukan oleh Alquran. Jika mereka bisa berdamai, mengapa harus berperang? Maka, berdamailah dan bertawakal lah kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya:

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia..”(1)

Mereka tidak meyakini agama Islam. Walau demikian ketika mereka atau seorang dari mereka memohon perlindungan kepada muslimin, dan ia telah berada di bawah jaminan keamanan, yang berarti memiliki hak aman, maka muslimin harus memberikan hak itu kepada mereka. “Lindungilah ia!”.

Sesungguhnya perjanjian damai sosial adalah perjanjian yang terhormat di dalam Islam. Di sebuah masyarakat dengan berbagai macam agama dan mazhab, masyarakat manapun –tentunya- memerlukan perjanjian sosial, yaitu perjanjian damai dan aman di antara kelompok-kelompok dengan berbagai agama dan mazhab. Bila perjanjian damai ini telah diikat, yaitu perjanjian damai dan aman, adalah sebuah perjanjian yang terhormat, yang tidak boleh seorang pun melanggarnya dan melampaui batas di dalamnya. (Baca: Tazkiyah, Pendakian Tanpa Batas – 1)

Jadi, jelaslah bahwa agama tidak menyerukan perang. Tetapi, persamaan di dalam kehormatan menjadi prinsip dan bahwa perdamaian serta keamanan sosial sangat dihormati dalam agama, berdasarkan prinsip itu. Yaitu, seluruh manusia memiliki hak karomah, bahwa semuanya terhormat dan dimuliakan.

Kebenaran: Mutlak dan Relatif

Kembali pada pembahasan yang lalu di bagian pertama mengenai kebenaran yang dipandang oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa kebenaran tidaklah mutlak, tetapi relatif. Jika sebaliknya, sebagaimana yang dikatakan oleh agama, maka bagi para pemeluknya, agama tidak terima kritik, tak ada pilihan dan tidak bersyarat. Karena agama diyakini sebagai kebenaran yang mutlak, dan orang-orang wajib menerimanya. Jika menolak, maka diperangi!

Apa yang mereka maksud bahwa kebenaran itu relatif? Karena, kebenaran di ranah kenyataan bukanlah kebenaran di ranah pemahaman atau di dalam benak kita, bahwa kita mempunyai pemahaman akan suatu realitas. Di sini harus dirinci mengenai realitas dan relatifitas, bahwa: pertama, sebuah realitas atau kenyataan tidak dapat dikatakan relatif. Sedangkan hal relatif adalah realitas diri kita di alam akal atau di dalam pemahaman kita. (Baca: Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah)

Kedua, realitas itu diketahui dan dipahami atau tidak, tak ada kaitannya dengan pengetahuan kita. Ia adalah sebuah realitas yang menjadi obyek pengetahuan, dan pengetahuan kita tentangnya lah yang bersifat relatif.

Ketiga, realitas atau kenyataan itu satu, tidak terbilang. Misalnya dikatakan bahwa “Bumi itu bulat” atau “Bumi tidak bulat”, kebenaran di sini tidak dapat dikatakan relatif. Misal lain, apakah wahyu telah turun kepada nabi Muhammad saw? Kita akan menjawabnya dengan positif atau negatif, ialah satu di antara keduanya.

Dalam kenyataan atau realitas tak ada hal relatif. Karena realitas itu hanya satu, terlepas kita mengetahuinya atau tidak. Ia adalah sesuatu yang cuma satu adanya, tidak lebih. Sedangkan relatifitas dalam pemahaman, Sayed Munir Khabbaz di satu ceramahnya menjelaskan bahwa kebenaran itu ada dua macam; musyakkikah (yang bersifat relatif di dalamnya) dan ghair musyakkik (yang tiada relatif di dalamnya).

Contoh yang pertama, misal mengenal Allah adalah sesuatu yang berbeda-beda, yakni bertingkat-tingkat. Ma’rifat para nabi dan imam telah sampai pada tingkat tertinggi, ulama pada tingkat tinggi dan tingkat-tingkat lainnya bagi kaum beriman. Jadi, ma’rifat adalah perkara yang bertingkat-tingkat, bersifat relatif di dalam pemahaman mereka. Masing-masing sampai pada tingkat yang sesuai kemampuannya dan penerimaannya. (Baca: Ma’rifatullah Asas Kemanusiaan)

Di sini kita sepakat bahwa adalah relatif di dalam pemahaman. Tidak mungkin semua manusia memiliki ma’rifat dengan relatifitas yang sama, atau mereka mencapai tingkat yang sama di dalam ma’rifat. Mereka akan berbeda tingkat di dalam mengenal Allah swt, karena ma’rifat ini bertingkat-tingkat dan berderajat. Di sinilah kita percaya akan relatifitas di dalam pemahaman. Dikarenakan pemahaman itu relatif, dan bahwa ma’rifat tidaklah satu tingkat.

Namun –yang kedua- kebenaran ada kalanya tidak bersifat relatif. Ialah sesuatu yang cuma satu adanya. Misalnya, apakah Ali as adalah imam, ataukah bukan? Apakah ia diangkat secara nash oleh Rasulullah (saw) sebagai imam, ataukah tidak? Tiada tingkatan bagi ma’rifat macam ini, dan tiada perbedaan menurut akal dalam mengetahuinya. Melainkan benarkah, ataukah salah? Benar bagi yang memahaminya dan salah bagi yang tidak memahaminya. Yakni, Syiah meyakini bahwa Rasulullah saw menetapkan imamah bagi Ali.

Masalah tersebut hanya satu yang benar di antara dua kemungkinan, dan tidak ada relatifitas di dalamnya. Bahwa nabi Muhammad saw adalah seorang utusan Allah, Sayidina Ali as adalah seorang imam, dan seterusnya, adalah perkara yang tiada perbedaan dan bukan merupakan tingkatan di dalam ma’rifat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagi agama, kebenaran yang nyata itu mutlak, tidak relatif. Hal relatif adalah di dalam pemahaman, dan terdapat di bagian ma’rifat yang bertingkat-tingkat. Tidak semua ma’rifat itu bersifat relatif di dalam pemahaman.

Jika Anda memiliki pembuktian (dalil-dalil) yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad (saw) adalah utusan Allah, maka Anda berhak mengatakan bahwa: Anda seorang muslim di pihak yang benar, sedangkan yang lain –yang berbeda dengan pandangan Anda- di pihak yang salah. Karena Anda mempunyai dalil-dalil yang menetapkan kebenaran itu.

Referensi:

1- (QS: at-Taubah 6) وَ إِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكينَ اسْتَجارَكَ فَأَجِرْهُ

Baca selanjutnya: “Apakah Agama Sumber Pertikaian? (4)

 

No comments

LEAVE A COMMENT