Makalah ini dan makalah-makalah sebelumnya diambil dari ceramah seorang alim bernama Sayed Munir Khabbaz, yang beliau sampaikan di acara malam-malam Asyura, dengan tema “Apakah Agama Sumber Pertikaian?”. Beliau menjelaskan bahwa kita harus membedakan antara agama: waqi’i (yang riil) dan zhâhiri (yang tampak); atau antara yang hakiki dan historis.
Fenomena yang telah dan sedang terjadi ialah bahwa muslimin, sebagian mereka saling mengkafirkan. Atau katakanlah mereka itu adalah kelompok takfiri. Sehingga dikatakan bahwa agama mengajak pada pertikaian. Bahasa takfiri adalah bahasa yang menyerukan pertikaian dan peperangan. Sampai pada batas mengeluarkan fatwa penghalalan darah, sehingga Islam dipandang sebagai sumber pertikaian dan peperangan. Oleh karena itu, perlu dijelaskan kepada mereka bahwa perkataan tersebut tidaklah benar.
Di sana, ada percampuran antara agama yang riil atau hakiki dan yang bukan hakiki. Bahwa fatwa seorang faqih itu bersifat zhahiri (lahiriah), bukan waqi’i (hakiki). Sesungguhnya, yang waqi’i adalah agama yang turun dari langit kepada Nabi Muhammad saw. Allah swt berfirman: “Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (Baca: Agama Hanya Kedok, Tujuan Mereka adalah Dunia)
Jadi, apa yang turun kepada Nabi saw adalah agama hakiki. Adapun pemahaman fuqaha atau ulama dan urafa terkait ayat-ayat dan riwayat-riwayat, bukanlah agama waqi’i. Tetapi adalah agama zhahiri (yang bersifat tampak), artinya apa yang tampak bagi mereka daripada agama. Apa yang tampak menurut pemahaman dan analisa seorang faqih dan faqih lainnya dari agama, bahwa agama adalah demikian demikian. Inilah yang disebut dengan agama zhahiri, bukan agama waqi’i.
Adanya fatwa sebagian fuqaha, mengkafirkan orang ini atau orang itu, menghalalkan darah non muslim. Ini adalah fatwa, bukan agama, fatwa yang ditampakkan dari agama, dan bukanlah agama itu sendiri.
Agama: Qath’i dan Zhanni
Agama yang sampai kepada kita dengan dalil-dalil qath’i melalui jalur-jalur yang mutawatir, memuat ushuluddin; tauhid, kenabian, dan ma’ad, juga furu’uddin seperti wajib shalat, haji, puasa dan sebagainya, inilah yang disebut dengan agama waqi’i. Karena sampai kepada kita dengan dalil-dalil yang pasti (qath’i) dan melalui jalur-jalur mutawatir.
Sedangkan fatwa-fatwa yang dibangun atas dalil-dalil zhanni (di bawah qath’i), adalah apa yang tampak tentang agama, bukan agama yang waqi’i. Kita tidak dapat kita menetapkan agama atas dasar fatwa-fatwa, atau fatwa-fatwa itu adalah agama. Mengapa sampai dikatakan bahwa agama adalah sumber pertikaian? Karena sebagian fatwa menganjurkan pertikaian. Ini adalah penetapan berdasarkan fatwa-fatwa, atau percampuran antara agama yang hakiki dan yang tampak di permukaan (lahiriah).
Ada juga percampuran antara agama yang hakiki dan yang historis. Seseorang ketika membaca sejarah Islam tentang tokoh-tokohnya, mereka adalah para pemuka agama, yang melakukan peperangan, membunuh kaum laki dan menawan kaum wanita. Ini semua bukanlah agama, tetapi sejarah bagi agama. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak mencampur antara agama dan sejarah muslimin. (Baca: Any Quest 1: Arti Hadis Nabi “Salman dari Ahlul Baitku”)
Jelaslah berbeda antara Islam dan sejarah muslimin. Agama Islam tak dapat diklaim atas sejarah muslimin, lalu mengatakan inilah sejarah Islam, karena itu adalah Islam! Bila kita merujuk sejarah, apa yang telah terjadi sepeninggal Rasulullah saw, adalah mencerminkan sejarah muslimin, bukan mencerminkan Islam itu sendiri. Jadi, tak dapat dicampur antara agama hakiki dan agama historis; antara Islam dan sejarah muslimin.
Adakah Perkara yang Disucikan?
Sebuah pertanyaan tentang masalah qadasah (sesuatu yang disucikan). Apakah kita percaya akan kesucian dan keagungan, ataukah tidak? Dengan kata lain, adakah sesuatu yang disucikan oleh kita, ataukah tidak? Perhatikan perkara-perkara yang terkait dengan masalah ini:
Alquran menerangkan bahwa: “Seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja Diraja, Yang Maha Suci”, bahwa muqaddas hakiki adalah Allah swt.
Apakah qadasah itu? Ialah hal tiada cela. Muqaddas (yang disucikan; yang suci) adalah wujud yang menolak atau tiada cela, yang tak mungkin tercoreng dan ternoda. Misalnya keadilan, apakah keadilan adalah hal yang disucikan, ataukah tidak? Seluruh manusia dengan berbagai agama dan aliran, bila ditanya, apa menurut Anda keadilan itu? Mereka akan mengatakan bahwa keadilan adalah sesuatu yang suci. (Baca: Menghilangkan Pola Komunikasi Buruk)
Jadi, ada sesuatu yang disucikan. Keadilan adalah konsep muqaddas, kejujuran adalah konsep muqaddas, amanat adalah konsep muqaddas dan sebagainya. Kita memiliki konsep-konsep yang suci. Semua konsep yang tak mungkin diruntuhkan adalah muqaddas.
Ketika orang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kemuliaan, bukankah kemuliaan adalah perkara yang disucikan? Sudah tentu! Apa yang disucikan itu tak terbantahkan. Semua manusia mempunyai kehormatan dan kemuliaan, inilah sebuah prinsip yang disucikan, yang tak dapat dicoreng dan diprotes. Jadi kita memiliki perkara-perkara yang suci itu.
Referensi:
1-(QS: asy-Syu’ara 193-195): نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمينُ
عَلى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرينَ
بِلِسانٍ عَرَبِيٍّ مُبينٍ
2-(QS: al-Jumu’ah 1): يُسَبِّحُ لِلَّهِ ما فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Baca Selanjutnya: “Apakah Agama Sumber Pertikaian? (5)“