Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Arus Globalisasi dan Krisis Keluarga di Indonesia (1)

Arus globalisasi telah menerpa hampir seluruh sistem yang berlaku pada masyarakat di seluruh dunia. Globalisasi ekonomi dan komunikasi menjadikan penduduk dunia hari ini tak ubahnya tinggal dalam satu kampung kecil. Sebuah peristiwa yang terjadi di satu titik belahan dunia akan segera diketahui dengan mudah oleh penghuni bumi di belahan lainnya. Kemajuan teknologi yang memberi kemudahan komunikasi sangat bermanfaat bagi kita semua. Meskipun demikian, keberadaannya justru menyebabkan  apa yang disebut oleh Alvin Toffler dalam bukunya “Future Shock” sebagai “information overload” pada individu. Tanpa disadari, otak kita dijejali untuk mencerna ribuan informasi yang kadang sama sekali tidak ada hubungan dan kepentingannya dengan kehidupan kita. Kondisi ini dapat mendatangkan berbagai kesulitan pada diri seseorang.

Kapitalis yang segera mengambil keuntungan atas perubahan ini berupaya maksimal melebarkan sayap untuk memasarkan produk mereka. Salah satu strateginya yaitu dengan menciptakan “trend” berkaitan dengan nilai-nilai atau gaya hidup dari waktu ke waktu. Trend ini kemudian secara tidak sadar telah dipaksakan merasuki benak setiap orang hingga berubah menjadi harapan dan pilihan hidupnya. Sebagai contoh, puluhan tahun lalu setiap orang mencuci pakaian hanya menggunakan sabun dan kemudian membilasnya dengan air. Entah bagaimana prosesnya, saat ini perilaku mencuci baju pada setiap rumah akan berakhir pada penggunaan cairan pewangi atau pelembut sebagai bilasan terakhir. Entah bagaimana prosesnya, hampir setiap orang akan merasa kurang jika tak mengakhiri bilasan terakhirnya dengan menggunakan cairan tersebut.

Globalisasi telah mempercepat proses transformasi nilai antara satu budaya dengan budaya lainnya. Era sebelumnya, selain nilai yang bersifat universal, setiap masyarakat juga memiliki nilai-nilai luhur yang bersumber dari kearifan  lokal. Nilai tersebut mengejawantah dalam tradisi dan budaya yang kemudian menjadi identitas bagi sebuah masyarakat. Ketika dunia telah menjadi satu kampung kecil, tak lagi dijumpai apa membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Pada saat itulah terjadi krisis nilai di masyarakat, keluarga maupun individu. Setiap orang kemudian menjadi tuan atas dirinya sendiri dalam setiap pilihan tanpa harus bertenggang rasa terhadap keluarga dan masyarakat. Tak ada lagi nilai atau tradisi keluarga dan masyarakat yang harus dipertahankan keberlanjutannya. Dalam satu kesempatan, masyarakat dunia pun seolah menjadi satu dengan trend atau gaya hidup yang sama.

 

Apa yang dimaksud dengan krisis keluarga di Indonesia?

Seiring dengan banyaknya masalah sosial yang terjadi, kita juga dihadapkan dengan krisis yang berkaitan dengan keluarga. Studi tentang masalah keluarga mengungkapkan terjadinya penurunan peran dan ketahanan keluarga inti serta berkurangnya kecenderungan untuk membangun keluarga. Sebagian kelompok berpendapatt bahwa perubahan tersebut merupakan konsekwensi atas kemajuan industri dan perkembangan ekonomi. Pandangan ini menerima fenomena itu secara positif yang menegaskan penyebaran nilai-nilai individualisme dan gaya hidup hedonisme. Meskipun demikian, masih ada ruang untuk melihat krisis keluarga sebagai masalah sosial yang masih dapat diperbaiki.

William Gairdner banyak melakukan studi keluarga terutama tentang krisis keluarga yang terjadi di Barat, khususnya Amerika dan Kanada. Sebagai contoh, rendahnya kecenderungan untuk memiliki keturunan dengan membangun keluarga sejak tiga dekade terakhir di Kanada. Hal ini dapat terlihat pada praktek pengontrolan kelahiran, aborsi dan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. Sebagai imbasnya, Kanada harus menghadapi permasalahan atas rendahnya angka pertumbuhan penduduk. Mereka sangat kekurangan dalam hal ketersediaan sumber daya manusia dan angkatan kerja.  Untuk mengatasi masalah tersebut, dibukalah “kran” bagi imigran asing untuk masuk ke negerinya. Pembahasan lebih lanjut dapat dirujuk dalam bukunya yang berjudul “The War Against the Family”.

Kajian yang secara khusus menyoroti krisis keluarga di Indonesia belum banyak dilakukan. Namun dari data resmi yang diperoleh dari lembaga terkait, agaknya Indonesia juga tak luput dari masalah yang sama. Angka perceraian di Indonesia dianggap paling tinggi di Asia-Pasifik. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan (http://www.bkkbn.go.id). Berdasarkan data yang diolah dari Subdit Kepenghuluan Kemenag dari dua juta pasangan menikah tahun 2014, sebanyak 15 hingga 20 persen bercerai. Peningkatan angka perceraian mencapai 12,5%/ tahun. (https://www.kemenag.go.id).

Hari ini kita tengah berhadapan dengan berbagai permasalahan sosial yang melemahkan fondasi keluarga dan berakhir pada perceraian. Ketika tak lagi menjadi satu kesatuan, keluarga tak akan mampu berperan sebagaimana mestinya. Padahal, keluarga merupakan satu-satunya mesin produksi bagi masyarakat disamping peran penting lainnya. Tak hanya sampai disitu, masyarakat dan keluarga dapat diibaratkan seperti tubuh dan anggota badan. Ketika keluarga sebagai anggota badan atau unsur terkecil pembentuk masyarakat sudah baik, akan baiklah masyarakat itu.

Rendahnya kualitas pengasuhan anak juga termasuk masalah keluarga yang tak kalah penting di Indonesia. KPAI dalam penelitiannya melaporkan bahwa  27,9%  dari pihak ayah dan 36% dari pihak ibu menyatakan pernah mencari informasi tentang merawat dan mengasuh anak (Dr. Asrorun Niam,2016). Hal ini memberi gambaran minimnya pengetahuan dan pemahaman pasangan dalam mendidik anak. Menurut Kartini Kartono (1986), orangtua yang tidak mampu melaksanakan fungsinya sebagai pendidik dan keluarga yang gagal menjalankan peran sebagai lembaga psikosial merupakan pendukung timbulnya gangguan psikologis kepada anak-anak. Studi kualitatif yang dilaksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung menunjukkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum memiliki latar belakang disfungsi keluarga (Sri Maslihah, 2016).Hasil penelitian terhadap mahasiswa pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia menunjukkan rendahnya kematangan emosional, intelektual dan perilaku etis yang bersumber dari masalah pengasuhan (Safitri M, 2016).

Bersambung …

 

 

 

No comments

LEAVE A COMMENT