Selama ini pembicaraan tentang ekonomi dan politik selalu mengacu kepada Negara, bukan keluarga. Hal ini patut disayangkan karena keluarga merupakan keberadaan yang paling penting dari kehidupan manusia. Pentingnya keluarga lebih dari apa yang disebutkan oleh ahli sosiologi yaitu sebagai agen penghubung antara individu dan Negara. Dengan karakteristik yang dimilikinya, keluarga merupakan unit produksi bagi masyarakat. Keluarga tidak dibentuk oleh individu-individu, tetapi sebaliknya keluargalah yang membentuk seseorang. Bahkan seluruh capaian psikologis, sosial, politik, moral, ekonomi dan harapan manusia bersumber dari eksistensi keluarga dalam kehidupannya.
Keluarga sebagai Lembaga Perlindungan
Sepanjang sejarah, keluarga selalu memiliki posisi sebagai pemberi dukungan dan pemenuhan kebutuhan anggotanya. Keluarga menjalankan peran tersebut ketika berhadapan dengan ancaman musuh dan roh jahat. Kadang keluarga harus melawan kekuatan manusia lainnya yang berlindung dibawah payung penguasa. Fustel de Coulanges dalam bukunya “The Anciant City” menceritakan bagaimana keluarga kuno dari bangsa India dan Eropa memaknai kepemilikan pribadi dan agama sebagai keutamaan khusus yang dimiliki keluarga.
Lembaga yang bernama keluarga (baik kaya atau miskin) setidaknya memiliki kekuatan menjaga dirinya dari serangan hukum, politik, fisik atau ekonomi. Kemampuan memberi perlindungan kepada anggotanya akan dimiliki keluarga ketika ia mendapat perlidungan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, wilayah khusus dan aturan perlindungan keluarga menjadi benteng penolong pertahanan seseorang di hadapan berbagai serangan. (Baca: Arus Globalisasi dan Krisis Keluarga di Indonesia – 1)
Keluarga sebagai Lingkungan yang Penuh Keakraban
Keakraban terjadi di setiap keluarga tanpa mempedulikan taraf kesejahteraan yang dimiliki. Keluarga memberi kenangan pertama dalam kehidupan yang selalu terpatri dalam ingatan sehingga kita selalu ingin mengenangnya. Seorang penulis bernama Goerge Eliot dalam buku “The Mill on the Floss” menggambarkan suasana keakraban keluarga. “Tidak ada rasa ketenangan yang dapat dibandingkan dengan ketenangan yang dirasakan pada tempat dimana kita dilahirkan. Tempat dimana kita tidak perlu bersusah payah untuk memilih merupakan tempat yang sangat berharga. Seakan-akan seluruh dunia selalu bersama dengan kehidupan pribadi kita. Kita menerima dan mencintai semua itu sebagaimana tempat itu menerima keberadaan kita”.
Dengan demikian, lingkungan keluarga pertama menjadi sumber kehidupan emosional, spiritual dan geografis seseorang. Sekaligus menjadi pembatas atas segala sesuatu di luar itu. Keluarga melahirkan seluruh pengalaman yang membangun dan tempat pertama kali memberi jawaban atas seluruh pertanyaan yang tak berakhir mengenai dunia.
Keluarga sebagai Penerima Sistem Bonus
Keruntuhan lembaga keluarga telah menimbulkan berbagai masalah yang harus ditanggulangi secara sosial dan politis. Sebagai contoh, sebagai respon atas rendahnya angka kelahiran di Amerika, Kongres menawarkan bonus (sejumlah uang) untuk tiap bayi yang lahir dari pasangan yang telah menikah. Untuk meningkatkan kehamilan dan angka kelahiran, Amerika menerapkan sistem bonus. (Baca: Kenapa Hasil Istikharahku Buruk?)
Keluarga merupakan lembaga yang paling layak untuk menerima yang saya sebut dengan sistem bonus. Filosofi dari fondasi sistem ini adalah teori faktor moral. Faktor moral bersumber dari tindakan bebas individu dan tanggungjawab berdasarkan aturan perbuatan yang benar serta bersifat universal. Dalam sistem ini, Negara menetapkan aturan berdasarkan tuntutan masyarakat dan tidak melakukan kecurangan. Sistem bonus mendukung aktualnya perbedaan alamiah. Manusia memiliki insting dasar berupaya untuk menjadi yang terbaik,dan sistem ini memberi bonus atas keberhasilan. Semua orang mendapat keuntungan dari sistem ini dan mereka yang bekerja lebih baik akan meraih keuntungan lebih secara pribadi.
Sistem bonus menguatkan keluarga karena keluarga merupakan lembaga yang menjadikan sistem ini bernilai. Sistem ini bersama beberapa Negara merdeka tidak mempercayai serangkaian sistem sosial dan politik yang mengaburkan aturan moral. Sitem bonus membawa pesan dari pancaran Ilahi dan meyakini bahwa nilai moral tidak independen (tanpa berkaitan dengan keberadaan Tuhan).
Bangsa yang menentang penjajahan memahami bahwa Tuhan memberikan kemerdekaan secara gratis. Dengan kemerdekaan bawaan itu kita bisa memilih kehidupan berdasarkan nilai-nilai yang lebih tinggi. Nilai-nilai yang tidak hanya terbatas pada kebijakan Negara. Andai saja aturan Ilahi diberlakukan sebagai pengganti ideologi hedonisme yang membawa kita pada kesesatan. (Baca: Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah)
Bisnis Keluarga: Motor Perekonomian
Sangat mengherankan jika Sosiolog mengabaikan keluarga dan bisnis keluarga dalam analisisnya. Padahal keluarga merupakan motor penghasil kekayaan di Barat. Namun kenyataan ini tidak diperhitungkan oleh pengambil kebijakan dan pejabat ekonomi. Jika saja potensi keluarga dalam bidang ekonomi diakui, banyak hal yang dapat dilakukan. Pengusaha tangguh khususnya laki-laki dan perempuan yang memiliki kesiapan membangun keluarga besar yang memiliki keahlian seharusnya mendapatkan penguatan. Dibanding memasuki dunia industri dan meninggalkan rumah, orang tua yang berperan mengasuh anak-anaknya sendiri harusnya mendapat penghormatan tertinggi di masyarakat. Sangat disayangkan, kita tidak menemukan hal yang demikian.
Bagaimana bisnis keluarga menjadi lemah? Tujuh puluh persen bisnis keluarga tidak berlanjut ke generasi kedua dan hanya 13 persen yang berlanjut hingga generasi ke tiga. Tingginya resiko bisnis dan sulitnya membangkitkan motivasi pada generasi selanjutnya ditengarai sebagai hambatan dalam hal ini. Untuk melakukan bisnis keluarga, mereka harus berhadap dengan kondisi yang sulit. Pada laki-laki, pernikahan lebih melahirkan motivasi untuk berkuasa ketimbang menghasilkan kekayaan. Padahal, penghasilan laki-laki lajang kira-kira setengah dari laki-laki yang menikah. Laki-laki yang tidak memiliki anak tidak termotivasi mengumpulkan harta untuk masa depan. Namun, ketika keluarga mengumpulkan kekayaan untuk masa depannya, mereka menganggap hal itu berarti menguntungkan Negara. Jika kesucian lembaga perkawinan melemah, bisnis keluarga juga mengalami kegoncangan. Pada akhirnya, kondisi ini merusak perekonomian Negara yang berdaulat. (Baca: Persalinan Agung)
Perkawinan menyebabkan seorang pemuda berpikir akan keadaannya. Selain itu, ia juga termotivasi untuk mengumpulkan kekayaan. Lembaga keluarga juga menimbulkan motivasi bagi seluruh masyarakat untuk mengamankan masa depannya secara ekonomi. Tanpa semua ini, masyarakat akan terperosok dalam lembah kesenangan pribadi dan hedonisme.
Di beberapa Negara maju, pelaku elit bisnis mengalami kekalahan ketika berhadapan dengan perdagangan Jepang. Saat ini mereka sedang mempelajari perdagangan keluarga dan memperjuangkan sebagian besar dari nilai-nilai yang dimilikinya. Oleh karena itu, jika menginginkan kekayaan dan kenyamanan di masa depan Negara harus mulai berpikir bagaimana mempromosikan dan melindungi keluarga.
Sumber :
- Gairdner William, “The War Against the Family” terjemahan bahasa Persia “Jangg alaihi khanvadeh” , Markaz Mudiriat Hauzeha-ye Ilmiah Khaharan, Daftar Muthalaat Zanan, 1387 HS.
- James M. Henslin, “Sosiologi dengan Pendekatan Membumi” jil. 1, Ed. 6, Penerbit Erlangga, 2006
Baca Selanjutnya: “Bagaimana Keluarga Mempengaruhi Kehidupan Manusia? (Bag 2)“