Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bersyukur Kepada Allah

Allah SWT berfirman;

مَا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ وَكَانَ اللّهُ شَاكِراً عَلِيماً.

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”[1]

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”[2]

Dua ayat suci dalam Al-Quran Al-Karim ini memperlihatkan dua kebaikan yang dihasilkan dari kebersyukuran kepada Allah SWT;

Pertama, peniadaan azab bagi orang yang bersyukur; “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ?”

Menariknya, ayat ini menyebutkan bahwa sedemikian besar belas kasih Allah SWT sehingga seorang mukmin seolah memberikan suatu nikmat kepadaNya sehingga pemberian ini layak untuk Dia syukuri;” Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (Baca: Bersyukur Menambah Nikmat)

Kedua, penambahan nikmat, sebagaimana disebutkan pada ayat kedua; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”

Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Shadiq as berkata;

من أُعطي أربعاً لم يحرم أربعاً : مَنْ أُعطي الدعاء لم يحرم الإجابة، ومَنْ أُعطي الاستغفار لم يحرم التوبة، ومَنْ أُعطي الشكر لم يحرم الزيادة، ومن أُعطي الصبر لم يحرم الأجر.

“Siapa dianugerahi empat perkara maka dia tidak akan dijauhkan dari empat perkara; Pertama, siapa dianugerahi doa maka dia tidak akan dijauhkan dari ijabah. Kedua, siapa dianugerahi istighfar maka dia tidak akan dijauhkan dari taubat (kembali kepada Allah).  Ketiga, siapa dianugerahi syukur maka dia tidak akan dijauhkan dari tambahan nikmat. Keempat, siapa dianugerahi sabar maka dia tidak akan dijauhkan dari pahala.”[3]

Kewajiban mensyukuri pemberi nikmat adalah ketetapan akal sebelum ditetapkan oleh syariat. Kewajiban ini bahkan juga berlaku berkenaan dengan makhluk yang memberi nikmat, meskipun makhluk ini hanyalah perantara karena pemberi nikmat yang hakiki hanyalah Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Dari Ammar al-Dzahabi bahwa dia mendengar Imam Ali Zainal Abidin as berkata;

إنّ الله يحبّ كلَّ قلب حزين، ويحبّ كلَّ عبد شكور. يقول الله تبارك وتعالى لعبد من عبيده يوم القيامة : أشكرت فلاناً ؟ فيقول : بل شكرتك يا ربّ.

“Sesungguhnya Allah mencinta setiap kalbu yang bersedih, mencintai setiap hamba yang bersyukur. Di hari kiamat Allah SWT bertanya kepada seorang hambaNya, ‘Apakah kamu berterima kasih kepada Fulan?’ Hamba itu menjawab, ‘Aku bersyukur kepadaMu, wahai Tuhan.’ Allah berfirman, ‘Kamu tidak bersyukur kepadaKu jika kamu tidak berterima kasih kepadanya.’” (Baca: Orang-orang yang Disyafaati)

Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata lagi;

أشكركم لله أشكركم للناس.

“Orang yang paling bersyukur kepada Allah diantara kalian adalah orang yang paling berterima kasih kepada orang lain.”[4]

Berterima kasih yang sesungguhnya ialah membalas nikmat dengan memberi nikmat kepada pemberinya sedapat mungkin. Jika tidak mampu maka setidaknya mengucapkan dan mengungkapkan rasa terima kasih kepadanya sembari bersyukur kepada Allah SWT. Tentang ini, Imam Mohammad al-Baqir as meriwayatkan dari para pendahulunya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as berkata;

حقٌ على من أُنعم عليه أن يحسن مكافأة المنعم، فإن قصر عن ذلك وسعه فعليه أن يحسن الثناء، فإن كلَّ عن ذلك لسانه فعليه معرفة النعمة ومحبّة المنعم بها، فإن قصر عن ذلك فليس للنعمة بأهل.

“Orang yang diberi nikmat berkewajiban membalas pemberinya. Jika tidak sanggup maka dia harus memujinya (berterima kasih). Jika lidahnya terasa kelu untuk demikian maka dia harus menyadari nikmat itu dan mencintai pemberinya. Jika dia tak mampu juga berbuat demikian maka dia bukanlah orang layak mendapatkan nikmat.”[5]

Jika kepada makhluk saja harus bersyukur atau berterima kasih, padahal makhluk hanyalah perantara, maka betapa besar kewajiban bersyukur kepada Allah yang merupakan pemberi nikmat yang hakiki.  Hanya saja, kebersyukuran kepada Allah tentu saja tidak rasional jika digambarkan seperti berterima kasih kepada sesama makhluk. Penjelasannya ialah sebagai berikut;

Pertama, bersyukur dengan membalas pemberi nikmat. Makna demikian tidak berlaku pada Alllah karena Dia Maha Kaya dan Maha Pemberi nikmat yang tidak diberi nikmat oleh siapapun. Kebersyukuran makhluk kepadaNya tidak bermanfaat apa-apa bagiNya, melainkan manfaatnya kembali kepada makhluk itu sendiri. (Baca: Syafaat Cucunda Nabi Muhammad saw)

Kedua, makhluk tidak memiliki apa-apa untuk membalasNya, termasuk dalam memujaNya, sebab lisan dan hatipun adalah milikNya.

Ketiga, kalaupun kita dapat bersyukur maka kebersyukuran inipun juga merupakan nikmat sendiri yang juga harus disyukuri, dan demikian seterusnya.

Dengan demikian, syukur kepada Allah harus berujung pada satu di antara dua pengertian sebagai berikut;

Pertama, bersyukur dengan menyadari nikmat yang diperolehnya dari Allah dan mengakui ketidak sanggupan mensyukuri sebagaimana mestinya, dan dengan memujiNya meskipun Dia tidak memerlukan pujian.

Kedua, menggunakan nikmat untuk ketaatan kepada Allah, dan tidak menggunakannya untuk maksiat, sebab maksiat dilakukan oleh manusia tak lain dengan menggunakan nikmat yang diperoleh dariNya.[*]

Catatan:

[1] QS. Al-Nisa’ {4]: 147.

[2] QS. Ibrahim [14]; 7.

[3] Bihar Al-Anwar, jilid 71, hal. 44.

[4] Ibid, hal. 38.

[5] Ibid, hal. 50.

Baca: 8 Karakter Mukmin

 

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT