Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Buah dari liberalisme: Mendukung Kejahatan Zionis

Oleh Hakimeh Saghaye Biria, Peneliti di Universitas Teheran

Salah satu ungkapan yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kejahatan yang dilakukan rezim Zionis dalam beberapa hari terakhir adalah isu “hukuman kolektif” yang dilakukan terhadap warga sipil di Gaza, alias genosida terhadap warga Gaza. Isu ini menjadi sensitif karena hukuman kolektif dianggap sebagai kejahatan perang yang dilarang oleh perjanjian dalam konflik bersenjata internasional dan non-internasional, khususnya Pasal 33 Konvensi Jenewa dan Pasal 6 Protokol Tambahan II. Dukungan penuh dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, dan Perancis terhadap kejahatan ini mendapat reaksi negatif dari opini publik global.

Pertanyaan yang muncul di benak masyarakat di seluruh dunia adalah: Mengapa negara-negara yang merupakan pemimpin dunia demokrasi liberal tidak hanya mentolerir kejahatan yang luar biasa ini, tetapi juga mengelolanya? Ada beberapa pertanyaan yang muncul di sini. Pertama, apakah benar untuk mengatakan bahwa masalahnya terletak pada dikotomi antara nilai-nilai liberal dan praktiknya? Atau apakah liberalisme sebagai pandangan teoritis memungkinkan terjadinya kejahatan semacam ini? Jika demikian, bagaimana hal ini mungkin terjadi?

Kelemahan terpenting dari liberalisme adalah bahwa liberalisme berkisar pada “individualisme” dan oleh karena itu “etika” tidak memiliki status sentral dan utama di dalamnya. Ketika kita berbicara tentang komponen lain dari liberalisme, seperti kesetaraan, rasionalitas, hak, kepemilikan pribadi, dan kebebasan, semuanya didefinisikan dalam kaitannya dengan individualisme. Nilai-nilai kemanusiaan, yang seharusnya ditempatkan di luar individualisme sebagai kriteria hubungan antar-manusia dalam masyarakat manusia, tidak lagi memiliki tempat dalam liberalisme. Hal ini sama dengan tidak adanya aturan moral atas masyarakat. Dalam masyarakat seperti inilah kita menyaksikan kemunculan dan internalisasi struktur teori rasisme dan Darwinisme sosial. Dengan kata lain, hanya masyarakat yang kuat yang memiliki hak untuk bertahan hidup dan yang lemah akan tersingkir secara alami.

Baca: AS dan Negara Barat Lainnya Berupaya Menyelamatkan Keruntuhan Zionis

Ratusan tahun penjajahan oleh negara-negara liberal mungkin terlihat sebagai perilaku yang tidak dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip liberalisme. Namun, ketika kita melihat lebih dekat, kita menghadapi fenomena yang disebut imperialisme liberal. Pandangan teoritis ini merupakan kombinasi dari teori “tahapan perkembangan sejarah” dan “liberalisme”.

Menurut teori “tahapan perkembangan sejarah,” semua masyarakat mengalami perkembangan alami dari fase berburu ke menggembala, pertanian, dan perdagangan. Proses ini secara bersamaan membentuk busur budaya dari “kebiadaban” ke “kebiadaban” ke “peradaban”. Dalam teori ini, peradaban selalu dianggap lebih lengkap dan berkembang di Barat, mirip dengan pergerakan matahari dari timur ke barat. Istilah seperti peradaban, kebiadaban, dan kebiadaban sering digunakan oleh penulis seperti John Stuart Mill, yang dianggap sebagai salah satu pendiri liberalisme. Oleh karena itu, teori ini terkait erat dengan tradisi liberal, terutama melibatkan tokoh-tokoh Pencerahan Skotlandia seperti Adam Ferguson dan Adam Smith.

Gagasan bahwa peradaban mencapai puncak dalam perkembangan sejarah digunakan untuk membenarkan imperialisme. Meskipun liberalisme menekankan bahwa semua orang memiliki kapasitas rasionalitas dan kedaulatan, teori tahapan perkembangan sejarah membatasi universalitas ini hanya pada tahap tertentu dari peradaban. Dengan kata lain, manusia dianggap tidak mampu hidup dalam kondisi liberal (kebebasan dan persamaan hak) kecuali mereka telah mencapai tingkat peradaban tertentu.

Contohnya, John Stuart Mill berpendapat bahwa orang-orang yang belum beradab tidak dapat mengatur masyarakat karena cenderung terlalu bebas. Di sisi lain, masyarakat barbar dianggap telah terinternalisasi dengan kuat dalam norma-norma yang menghambat kemampuan rasionalitas mereka. Hanya dalam masyarakat komersial, menurut pandangan ini, orang dapat mengembangkan potensi kebebasan dan otonomi mereka karena kondisi material dan kultural yang diciptakan.

Pandangan ini memberikan justifikasi untuk tindakan imperialisme, di mana masyarakat beradab dianggap bertanggung jawab untuk memerintah masyarakat yang kurang berkembang demi kepentingan mereka sendiri. Pandangan ini melihat imperialisme bukan sebagai bentuk dominasi politik dan eksploitasi ekonomi, melainkan sebagai praktik paternalistik* yang mengenalkan “peradaban” (misalnya, modernisasi) untuk memajukan penduduk asli.

Baca: Membaca Pidato SHN dalam Bingkai The Art of War

Namun, perspektif ini telah dikritik karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan paternalistik. Dalam konteks ini, dukungan rezim Zionis yang disebut sebagai liberalisme dan pembantaian terhadap warga Gaza dapat dianggap sebagai hasil dari pemikiran serupa. Sebagaimana kolonialisme dianggap sebagai hasil dari liberalisme, demikian pula dukungan terhadap rezim Zionis dalam menghadapi pemberontakan di Gaza diwarnai oleh kekurangan moral dan kemanusiaan, seperti penggunaan hukuman kolektif dalam upaya menekan perlawanan.

*Paternalistik adalah sikap atau pendekatan yang bersifat seperti figur ayah atau orang tua, yang mencoba melindungi atau mengambil keputusan atas nama orang lain dengan asumsi bahwa tindakan tersebut untuk kebaikan atau kepentingan mereka.

Sumber: Khamenei.ir

No comments

LEAVE A COMMENT