Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Cinta Kepada Allah (4)

Imam Musa Al-Kadhim as dalam pesannya kepada Hisyam bin Al-Hakam berkata;

يا هشام، أوحى الله إلى داود (ع)  قل لعبادي : لا يجعلوا بيني وبينهم عالماً مفتوناً بالدنيا، فيصدُّهم عن ذكري، وعن طريق محبّتي ومناجاتي، أُولئك قُطَّاع الطريق من عبادي، إنَّ أدنى ما أنا صانع بهم أن أنزع حلاوة عبادتي ومناجاتي من قلوبهم.

“Wahai Hisyam, Allah telah mewahyukan kepada Dawud; ‘Katakanlah kepada hamba-hambaKu bahwa jangan sampai mereka menempatkan di antara Aku dan mereka orang berpengetahuan (alim) yang terpedaya oleh dunia lalu dia menghalangi mereka dari zikir kepadaKu dan dari jalan kecintaan dan munajat kepadaKu. Dia adalah penghalang jalan hamba-hambaKu. Sesungguhnya yang paling ringan di antara apa yang Aku perbuat terhadapnya ialah mencabut kenikmatan ibadah dan munajat kepadaKu dari kalbunya.”[1]

Dalam riwayat lain disebutkan;

أوحى الله إلى داود (ع) أنَّ أهون ما أنا صانع بعالم غير عامل بعلمه أشدّ من سبعين عقوبة أن أُخرج من قلبه حلاوة ذكري

“Allah telah mewahyukan kepada Dawud bahwa sesungguhnya yang paling ringan di antara apa Aku perbuat terhadap alim yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih pedih daripada 70 siksaan , yaitu Aku mengeluarkan dari hatinya kenikmatan zikir kepadaKu.”[2]

Cinta terkadang menjadi pusat semua keutamaan sehingga sesudahnya akan berbuah maqam demi maqam selanjutnya semisal syauq (kerinduan) dan ridha, sedangkan sebelumnya akan berujung pada maqam demi maqam dasar semisal taubat, sabar, dan zuhud.[3] Dengan kata lain, cinta (mahabbah) adalah puncak jenjang-jenjang umum, dan awal dari jenjang-jenjang khusus.[4]

Sampai di sini telah jelas bahwa keimanan yang sempurna ialah iman yang mencapai jenjang cinta. Tentang ini dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

وهل الإيمان إلاّ الحبُّ والبغض؟

“Bukankah iman tak lain adalah cinta dan benci?”[5]

Beliau kemudian membacakan firman Allah SWT:

…حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ.

“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”[6]

Dalam hadis sahih lain beliau berkata;

هل الدين إلاّ الحبُّ إنَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ يقول : قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ …

“Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu[7]….’[8]

Berikut ini kita akan membahas firman Allah SWT yang mengawali artikel ini, yaitu;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْم يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّة عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّة عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِم ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”[9]

Mengenai ayat ini dalam berbagai kitab tafsir terdapat beberapa riwayat untuk penerapannya, antara lain sebagai berikut;

Pertama, penerapannya pada Imam Ali bin Abi Thalib as dalam peristiwa Pembebasan Khaibar, atau dalam perang melawan kaum Nakitsin (para pelanggar baiat dalam Perang Jamal), atau perang melawan kaum Qasithin (para pembangkang dalam Perang Shiffin), atau perang melawan kaum Mariqin (para penyimpang dari agama berupa kaum Khawarij dalam Perang Nahrawan).

(Bersambung)

[1] Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 154.

[2] Ibid, jilid 2, hal. 32.

[3] Al-Mahajjah Al-Baidha’ jilid 8, hal. 3.

[4] Lihat Manazil Al-Sa’irin, bab pertama di antara bab-bab Al-Ahwal.

[5] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 125.

[6] QS. Al-Hujurat [49]: 7.

[7] QS. Ali Imran [3]: 31.

[8] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 237.

[9] QS. Al-Maidah [5]: 54.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT