Allah Swt berfirman: Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang bekuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. al-Rum: 50)
Siapapun yang beriman pada kebenaran Alquran dan memahami bahwa Alquran adalah mukjizat yang abadi akan dengan mudah menalar fenomena Hari Kebangkitan dengan mudah dan jelas. Hari Kebangkitan adalah salah satu peristiwa yang pasti terjadi dan Tuhan sangat mampu melakukan hal tersebut. Berikut dalil-dalil rasional tentang keberadaan Hari Kebangkitan.
Dalil Fitrah
Fitrah adalah salah satu bentuk ciptaan Tuhan. Manusia di desain untuk berkeinginan hidup abadi dan benci terhadap kematian. Dunia tidak memiliki potensi untuk abadi. Karena itu kehidupan yang abadi, keberadaan akhirat, dan Hari Kebangkitan merupakan satu hal yang sangat penting. Karena jika tidak ada hari kebangkitan dan akhirat, keinginan untuk hidup abadi dalam diri manusia menjadi hal yang sia-sia. Adalah mustahil jika fitrah manusia menginginkan air tetapi air tersebut tidak ada.
Baca: Tafsir: Proses Penciptaan Menepis Keraguan atas Hari Kebangkitan
Jika tidak ada alam lain selain dunia bagi manusia yang memindahkannya ke alam tersebut maka insting cinta kehidupan abadi itu merupakan satu hal yang sia-sia. Di saat yang sama Tuhan Yang Mahabijaksana tidak akan pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia.
Imam Khomeini ra dalam menjelaskan tentang hari kebangkitan menyatakan: “Salah satu fitrah yang sudah diletakkan dalam diri manusia adalah fitrah mencintai kebahagiaan. Karena kebahagiaan mutlak tidak akan pernah didapatkan di alam (dunia) ini, maka tidak ada jalan lain untuk merealisasikan hal tersebut kecuali dengan keberadaan alam lain, di mana tidak terdapat kesengsaraan sedikit pun di dalamnya. Tempat itu merupakan alam kenikmatan yang sebenarnya, dan tempat kemuliaan sejati ialah berada di sisi Zat Yang Kudus.”
Jadi, dengan adanya fitrah kecintaan terhadap kesempurnaan mutlak dan kecenderungan pada ketenangan absolut dalam diri manusia, maka kekasih sejati yang merupakan kesempurnaan mutlak dan surga abadi yang terkait dengan ketenangan absolut itu harus ada.
Dalil Hikmah
Allah Swt merupakan Zat Yang Hakim dan tidak membutuhkan sesuatu secara mutlak. Begitu pula Tuhan tidak akan melakukan hal-hal yang sia-sia. Ciptaan-Nya bukanlah suatu permainan. Artinya, Dia menciptakan segala sesuatu berikut dengan kebutuhan-kebutuhan pokoknya guna mencapai kesempurnaan yang diinginkan. Oleh karena itu, hukum alam adalah hukum yang terbaik dan lebih baik dari apa saja yang bisa digambarkan. Apabila Allah Swt menciptakan pepohonan dan mahluk hidup lain selalu dengan perangkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Seluruh syarat yang sesuai dengan kehidupan dan kesempurnaan manusia telah disediakan-Nya. Kalau saja cahaya ataupun makanan yang cukup tidak Allah siapkan bagi mereka maka dengan cepat mereka akan binasa, yang menggambarkan penciptaan yang sia-sia, dan Allah Mahabijaksana.
Baca: Pentingnya Iman kepada Ma’ad
Pada sisi lain, manusia memiliki kecenderungan untuk hidup kekal, selaras dengan potensi abadi yang menjadi watak dan kelaziman roh (non-materi). Jika syarat syarat yang lazim itu tidak diciptakan untuk mereka maka penciptaannya merupakan pekerjaan yang sia-sia. Sementara Tuhan yang Mahabijaksana dan tidak membutuhkan sesuatu adalah pencipta manusia, alam dan semua isinya, yang tidak akan pernah melakukan suatu pekerjaan yang sia-sia.
Artinya, kita meyakini dengan pasti bahwa syarat-syarat lazim dan sesuai dengan keabadiaan bagi manusia itu sudah disiapkan-Nya. Jadi, selain dari dunia yang materi dan memiliki jangka waktu tersebut, Allah Swt pasti menyediakan rumah abadi bagi manusia di mana manusia dapat hidup kekal di dalamnya. Ayat Alquran yang menjelaskan tentang hal ini di antaranya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun: 115)
Dalil Keadilan
Salah satu di antara sifat Allah Swt adalah adil. Dan asas dari segala penciptaan Tuhan adalah keadilan. Dalam menegaskan hal ini, Nabi Muhammad Saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. menyatakan hakikat tersebut dalam ucapan: “Atas dasar keadilan Allah Swt langit dan bumi ini bisa berdiri.” (Tafsir al-Shafi, jil. 5, hal. 107)
Allah Swt tidak pernah berbuat zalim pada seorang manusia pun dan selalu berlaku adil pada seluruh makhluknya. Dikatakan, Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS. Yunus [10]:44)
Baca: Dibangkitkannya Seluruh Makhluk di Hari Kiamat
Faktanya adalah setiap orang yang menjalani kehidupan di dunia ini mungkin saja mendapatkan balasan dari apa yang diperbuatnya. Namun semua itu hanya sebagian atau sebagian kecil saja. Sementara sudah disepakati bahwa perjalanan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang sebenarnya. Orang-orang yang telah berbuat baik atau berbuat jahat, belum mendapatkan balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka ketika di dunia.
Bagaimana bisa seseorang yang membunuh ribuan jiwa yang tak berdosa mendapatkan balasannya? Banyak dari kejahatan-kejahatan yang sudah dilakukan tanpa ada balasan (ketika masih di dunia). Oleh karena itu, dunia yang tidak memiliki wadah yang cukup untuk keadilan sejati di satu sisi, dan di sisi lain adanya keyakinan pasti bahwa Tuhan adalah Zat Yang Adil dan tidak menzalimi hak setiap orang, yang tidak menyamakan mereka yang berbuat baik dan yang berbuat jahat, maka Allah Swt juga pasti memberikan balasan yang sesuai (bagi mereka). Jadi, sudah semestinya ada alam lain, di mana keadilan Allah ditegakkan, serta di sanalah pahala ataupun balasan diberikan pada setiap manusia sesuai dengan amalnya secara sempurna.
Dalil Rasionalitas
Jika seseorang mendampingkan keyakinan terhadap dan ketidakyakinan terhadap Hari Kebangkitan, kemudian memperhitungkan kelebihan serta kekurangan masing-masing keyakinan itu maka ia akan mendapati bahwa keyakinan terhadap Hari Kebangkitan memiliki prioritas lebih tinggi. Oleh sebab itu, yakin terhadap Hari Kebangkitan adalah perkara yang lebih rasional.
Setiap saat seseorang memperkirakan adanya bahaya atau kerugian materi ataupun duniawi, sehingga ia akan sepenuh tenaga berusaha menghilangkannya. Dalam kondisi seperti ini, akal sehat akan memerintahkan supaya berhati-hati. Sebagai contoh, ketika Anda berniat untuk mendaki gunung pada suatu hari dan ingin kembali di hari itu juga. Jika ada orang berwenang yang berkata kepada Anda bahwa terdapat kemungkinan adanya halangan dan rintangan yang membuat Anda tidak dapat kembali sesuai rencana maka Anda akan membawa bekal air dan makanan lebih dari ukuran seharusnya karena Anda memperkiraka terlambat kembali. Dengan bekal lebih itu, Anda berharap tidak ditimpa kehausan maupun kelaparan.
Sedangkan kita ketahui ada ribuan nabi yang terkenal dengan kejujuran, semuanya memberikan kabar kepada umat manusia bahwa di depan kita terdapat hari yang sangat agung, peristiwa amat dahsyat, serta alam lain yang menunggu. Bukankah manusia seharusnya lebih berhati-hati dan mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk kondisi itu? Seandainya pun alam akhirat tidak ada maka tidaklah ada ruginya, namun jika ternyata ada -yang mana terdapat banyak dalil pasti terhadap keberadaanya- maka orang-orang yang menghadapinya tanpa persiapan yang dibutuhkan akan betul-betul merugi.
Baca: Apa Saja Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat?
Imam Ali Ridha as dalam sebuah riwayat telah mengisyaratkan makna ini saat bercakap dengan seseorang yang mengingkari Hari Kebangkitan. Dituturkan ada seorang zindiq masuk ke sebuah majelis yang dihadiri oleh Imam Ali Ridha a.s. Beliau berkata: “Hai kamu, apabila keyakinanmu benar apakah kami dan kamu tidak sama, dan bukankah salat, zakat, iman serta keimanan itu akan tidak merugikan kita?.” Orang tersebut terdiam. Kemudian Imam Ridha melanjutkan ucapannya: “Jika keyakinan kami adalah benar karena sebenarnya memang demikian, bukankah kamu yang merugi dan binasa, sedangkan kami akan beruntung dan bahagia?.”
*Dikutip dari buku Panorama Pemikiran Islam – Ayatullah Jafar Subhani