Lâ ifrâth wa lâ tafrîth; posisi tengah antara melampaui suatu batasan dan mengabaikannya adalah cirikhas agama Islam. Ifrâth dan tafrîth, dua kata ini terkadang diartikan sama dan terkadang beda serta bertolak belakang seperti antara timur dan barat; antara hal melampaui batas dan hal mengabaikan batas. Keduanya adalah hal yang tidak diperkenankan oleh agama Islam.
Banyak sekali kasus yang menjadi bagian dari dua hal tersebut, misalnya seseorang di dalam hidupnya hanya memperhatikan urusan-urusan duniawi dan melupakan urusan-urusan ukhrawinya. Di sana, sebagian orang disibukkan oleh pekerjaan, bisnis dan urusan dunia lainnya, menghabiskan waktu siang dan malam. Seakan tak ada waktu untuk urusan akhiratnya.
Baca: “Konsep Takdir dalam Akidah Syiah“
Sebaliknya, seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah, sebagian orang di dalam hidupnya tenggelam dalam amalan-amalan ritual, zikir dan wirid di tempat ibadahnya, mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Merasa cukup dengan hubungannya dengan Tuhan, dan masa bodoh dengan hubungannya dengan sesama serta masyarakat sekitarnya.
Tak sebatas dalam perkara itu. Di dalam pemikiran juga terjadi dua hal tersebut. Misalnya, dikatakan dalam pelajaran akidah: lâ tathîl wa lâ tasybîh. Penjelasannya:
Pertama, terjadi tafrîth dalam perkara mengenal Allah swt, sekelompok orang berfikir bahwa Tuhan yang tiada batas tak mungkin dapat dimarifati oleh selain-Nya yang berbatas. Sepintas benar yang mereka katakan, sebagaimana dalam hadis Nabi saw yang mengatakan: Aku tidak mengenal Engkau dengan sebenar-benar marifat kepada-Mu. Akan tetapi, hal ini tidak meniscayakan meliburkan pengkajian mengenal Sang Khalik. Dalil-dalil naqli dan aqli menyerukan pengkajian ini dan menerangkan tentang tingkatan-tingkatan marifat hamba kepada Tuhannya.
Baca: “Akhlak Mulia (1)“
Kedua, terjadi ifrâth di kalangan sekelompok lainnya, bahwa di dalam memakrifati Allah swt mereka terjebak dan meyakini pemikiran tasybîh (menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan tajsîm (menjisimkan Tuhan, bahwa Dia mempunyai wajah, tangan, kaki dan sebagainya).
Di sana pula terdapat kaum ghulat yang meyakini seorang yang dipuja-puja secara berlebihan sampai batas menuhankan Ali bin Abi Thalib, dan kaum-kaum lainnya yang menuhankan makhluk. Di hadapan kaum monoteis pun terdapat kaum ateis.
Makna Ifrath
Hal melampaui batas disebut dalam Alquran dengan kata ‘ghuluw’:
لا تَغْلُوا في دينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَق
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS: an-Nisa 171)
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw bersabda: “Waspadailah ghuluw di dalam agama. Sesungguhnya ghuluw dalam agama membinasakan orang-orang sebelum kamu.”
Kaum yang ghuluw melampaui batas dalam ucapan dan perbuatan mereka, penafsiran radikal yang kontra dengan maksud syariat. Seperti halnya mengharuskan diri dan orang lain dengan sesuatu yang tidak diharuskan baginya, atau menilai orang lain dengan pujian atau cacian yang berlebihan.
Baca: “Yang Salafi Jangan Cela Yang Sufi“
Kita tidak menolak perkataan Syaikh Qaradhawi: Tidaklah bijak kita menuduh seseorang berlebihan dalam agama hanya karena dia memilih pandangan radikal dalam fikih, selama dia percaya bahwa itu yang paling benar.. walaupun orang lain melihat pandangan dia itu lemah.. (ash-Shawatu al-Islamiyah baina al-Jumud wa at-Tatarruf, hal 36)
Yang kita tolak, orang-orang yang mengikuti satu pandangan dengan menentang siapapun yang tak sepaham, melontar tuduhan dan celaan yang sangat keji kepadanya, seraya memandang kebenaran hanya di pihak mereka. Sesungguhnya menilai suatu perkataan atau perbuatan bahwa itu ghuluw, atau bahwa fulan tergolong kaum ghuluw, hanya ulama yang jeli bisa melakukan itu.
Baca: “Akhirnya Si Ateis itu Beriman…“
Terkadang suatu perkara dibenarkan secara syar’i, lalu orang yang bersangkutan dikatakan ghuluw. Kaum sekular yang ekstrem mengklaim bahwa banyak muslim yang taat beragama menjadi ekstrem. Jadi menilai orang, ucapan dan perbuatan tidaklah mengikuti hawa nafsu, watak, kebiasaan dan tradisi.
Ghuluw adalah sinonim ifrâth yang berarti melampaui batas. Terdapat di dalam Alquran:
إِنَّنا نَخافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنا أَوْ أَنْ يَطْغى
“…sesungguhnya kami khawatir ia segera menyiksa kami (sebelum sempat kami menjelaskan kebenaran) atau akan bertambah melampaui batas (dan tidak menerima kebenaran).” (QS: Thaha 45)
Kini sebagai ganti dari dua kata tersebut ialah tatharruf, yang artinya berhenti di satu sisi, jauh dari sikap tengah-tengah, seperti berlebihan di dalam duduk dan berdiri. Kemudian berlaku pada berlebihan dalam agama, aliran dan pemikiran, yang berakibat dekat dengan petaka dan jauh dari keselamatan.[*]
Baca: “Kisah-kisah Imam Ali Zainal Abidin a.s.: Roti Kering Dan Mutiara“