Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Filosofi Sujud dalam Salat

Setelah mengangka kepala dari posisi rukuk seorang mushalli bersiap-siap untuk merendahkan dirinya ke posisi yang lebih rendah di hadapan Allah Swt, yaitu dengan meletakan keningnya dalam posisi sujud. Meletakkan kening di atas tanah merupakan tingkatan tertinggi dari kerendahan diri manusia, dan seorang mushalli memandang kerendahan ini sebagai sesuatu yang patut di hadapan Allah Yang Mahakuasa. Karena penundukan sepenuhnya di hadapan Allah adalah serupa dengan memberi hormat dan menundukkan kepala di hadapan kebajikan dan keindahan mutlak.

Namun kerendahan dan penundukan yang seperti itu sangat dilarang dan tidak dibenarkan jika dilakukan di hadapan siapa pun atau apa pun selain Dia. Sebab dengan bersujud pada selain Tuhan, maka permata atau esensi kemanusiaan -komoditas yang paling berharga di pasar eksistensi manusia- akan hancur berantakan, membuat manusia hina dina dan nista.

Baca: Filosofi Salat dan Efeknya yang Luar Biasa

Saat sujud, ketika kepala mushalli berada di atas tanah, pikirannya tenggelam dalam samudera kemuliaan Tuhan Yang Mahakuasa, lisannya juga ikut membaca tasbih pujian berikut memaklumkan makna sujudnya.

Subhana rabbiyal a’la wabihamdih (Mahasuci Engkau Tuhanku, Yang Mahatinggi, Mahamulia).

Sudah selayaknya seorang manusia bersujud di hadapan sebuah “Eksistensi”, yakni Tuhan, Yang Mahatinggi, Maha Pelindung, Mahasuci, memuji, menyembah serta merendahkan dirinya dalam posisi bersujud. Jadi, bersujud di saat salat bukanlah menundukkan kepala di atas tanah di hadapan sebuah zat yang lemah, terbatas dan tiada sempurna, seperti menundukkan kepala di hadapan kekuatan-kekuatan duniawi yang lemah dan palsu; sebaliknya sujud berarti meletakkan kening di atas tanah di hadapan Zat Yang Mahakuasa, Mahasuci, dan Mahamulia.

Tindakan seorang mushalli ini secara praktis memaklumkan ketaatan dan kepasrahannya kepada Yang Mahabijaksana dan Mahamelihat, dan dalam kenyataannya, sebelum ia memaklumatkannya kepada yang lain, ia telah mendorong dan mengingatkan dirinya sendiri untuk melaksanakan ketundukan dan ketaatan ini. Dengan penerimaan inilah penundukan mutlak mushalli di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa dia telah membebaskan dirinya dari perbudakan dan penghambaan kepada segala sesuatu dan semua orang, sekaligus menyelamatkan dirinya dari segala jenis perbudakan dan kenistaan yang menyesatkan.

Pengaruh paling penting dari membaca tasbih selama rukuk dan sujud adalah mengajarkan kepada mushalli bahwa di hadapan Zat Yang Maha Ada, ia harus berserah dan menyembah dengan sesungguh-sungguhnya; dan pada saat yang sama memerintahkannya untuk menolak dan melarang tindakan ini (bersujud) kepada apa pun atau siapa pun kecuali kepada Zat Yang Maha Esa.

Baca: Makna Ucapan Salam dalam Salat

Sebagaimana sebuah riwayat yang menggambarkan hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan dalam keadaan bersujud.

“Keadaan paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika bersujud.” (Safinatul Bihar, jil. 1, bab. Sujud)

*Dikutip dari buku Jangan Sia-siakan Salatmu – Ayatullah Udzma Sayid Ali Khamenei

No comments

LEAVE A COMMENT