Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hikmah dari Keabadian Revolusi Asyura

Berdasarkan fakta sejarah, tampaknya di dunia kemanusiaan ini tak ada satu pun tragedi yang meski telah terjadi beberapa abad sebelumnya, masih sangat berpengaruh dan membekas di benak umat manusia, seakan baru saja terjadi. Kita tidak menemukan tragedi yang demikian di sepanjang sejarah agama, dan bangsa atau negara manapun. Tentu, ada saja peristiwa yang terkadang masih diingat dan dikenang setelah ribuan tahun, namun itu hanya ingatan yang tak berkesan pada kehidupan masyarakat. Adapun tragedi syahadah Imam Husein a.s. sungguh berbeda. Tragedi yang setiap tahunnya seakan terus membaru dan efeknya semakin mendalam. Layak sekali jika diadakan kajian yang ekstensif seputar tragedi yang multi-dimensional ini.

Mengabadikan Asyura

Masing-masing kita menanggung jerih payah tertentu dalam menghayati gerakan Asyura, ada yang menepuk dada, ada pula yang mementaskan adegan-adegan tragedi Asyura. Semua itu menunjukkan rasa hormat dan kecintaan kepada Imam Husein a.s. Ada juga orang-orang seperti saya yang harus menunaikan kewajiban dan menampakkan rasa hormat pada peristiwa agung ini dengan cara lain. Apa yang dapat saya lakukan ialah menganalisa lebih dalam peristiwa tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun kejadian-kejadian monumental ini tidak akan pernah berulang secara serupa, namun sebagaimana didukung oleh data-data sosiologi, ada banyak titik kesamaan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. Juga, masyarakat-masyarakat lain dapat –secara langsung ataupun tidak- memanfaatkan peristiwa-peristiwa yeng terjadi di masa lampau. Hal ini pun diisyaratkan Alquran setelah menceritakan kisah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi mereka yang berakal” .

Baca: Pesan Moral Tragedi Asyura: Peran Cemburu dalam Menjaga Fitrah Manusia dan Martabat Masyarakat

Alquran mengajak untuk merenungkan kisah-kisah itu dan mempelajari titik positif bangsa-bangsa, lalu kita terapkan dan kuatkan dalam diri kita. Sementara titik lemah mereka, jangan sampai kita mengulanginya. Signifikansi peristiwa Asyura menuntut agar segenap aspeknya dianalisa secara intensif. Kejadian tersebut, walau masih segar di ingatan dan berpengaruh setelah 1400 tahun sejak kejadiannya, namun masih saja tersisa sejumlah tanda tanya di benak masyarakat, terlebih generasi muda yang tak berkesempatan untuk memperdalam telaah tentang sejarah.

Tentu, secara global mereka pernah mendengar tentang pokok cerita ini di majelis-majelis taklim, namun pikiran dan rasa ingin tahu para pemuda kita begitu kritis dan cekat mengajukan pertanyaan. Hasrat besar mendorong mereka untuk menganalisa lebih dalam peristiwa tersebut. Dan memang, diskusi-diskusi yang demikian ini tidak kalah pentingnya dari mengadakan acara duka, mengekspresikan rasa hormat dan sedih.

Rasionalitas dan Emosionalitas Acara Asyura

Sesungguhnya acara-acara duka dapat menghidupkan, memuaskan dan mengembangkan sisi emosionalitas dan perasaan seseorang. Tentunya, ada sisi mendasar lain dari wujud manusia yang juga harus dikuatkan dengan melakukan telaah seputar peristiwa Asyura, yaitu sisi rasionalitas dan kesadaran. Jika detil kejadian Asyura dipahami secara lebih baik, di samping pengaruh emosional, ia dapat dijadikan model dalam rangka membentuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Jika manusia memanfaatkan sejarah masa lalunya dengan benar, itu akan berperan besar dalam penyempurnaan individu dan masyarakat.

Baca: Asyura: Panggung Kasih Sayang Ahlulbait Nabi terhadap Manusia

Saat masyarakat mulai menyimpang sepeninggal Rasul Saw dan gerakan Islam mulai keluar dari jalur yang sepatutnya, sementara ajarannya tidak lagi ditaati sebagaimana mestinya, apakah kenyataan itu terjadi tanpa sebab? Kita harus mengkaji bagaimana penyelewengan itu terjadi, faktor apa saja yang bermain dalamnya, sehingga kita dapat menghindar dari faktor-faktor itu. Kita mendengar bahwa saat Amirul Mukminin Ali a.s. menjabat khalifah beliau menghadapi banyak masalah. Sehingga, dalam kurun waktu lima tahun beliau menjalani tiga peperangan besar. Jika peperangan itu tidak terjadi, tentu beliau dapat berbuat lebih banyak dengan memberikan kontribusi besar untuk kemajuan dan kesempurnaan masyarakat Islam. Sayangnya, peperangan itu malah mencegah umat Islam memanfaatkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib a.s. seoptimal mungkin.

Demikian pengalaman sejarah itu berlanjut hingga masa Imam Husain a.s. Mengapa hanya penduduk Kufah di antara kota lainnya yang mengundang Imam Husain? Bagaimana demikian itu bisa terjadi? Mengirimkan 12.000 surat secara terpisah atau bahkan surat-surat gulungan yang penuh dengan ribuan tanda tangan kepada Imam Husain bukanlah hal yang sepele. Belum lagi Madinah, kota yang menyaksikan kelahiran Imam Husain, kelahiran Islam dan pemerintahan Islam. Rasulullah Saw, Imam Ali, Imam Hasan, juga Imam Husain telah hidup di sana bertahun-tahun. Nyatanya, warga Madinah tidak hanya acuh mengundang beliau, tapi malah menciptakan kondisi yang mendesaknya supaya keluar dari kota nabi itu secara diam-diam menuju Mekkah.

Betul, Imam Husain pun menerima undangan dari kota-kota lain. Tetapi, kebanyakan mereka membatalkan dan menarik kembali undangan serta sambutan yang telah dilayangkannya kepada beliau. Sampai pada hari Asyura, beliau mengingatkan mereka yang pada hari itu telah berdiri sejajar dengan barisan laskar Umar bin Sa’ad. Kita lihat juga sebelumnya bagaimana warga Kufah telah sebegitu entengnya mengkhianati Imam Ali dan Imam Hasan, dua pemimpin yang mereka tinggalkan sendirian dan terlantar. Pernahkah terbayangkan dalam pikiran Anda bahwa orang-orang Kufah dan Madinah tidak memperlakukan pemimpin sekejam itu? Apakah Anda mengira kota-kota lain itu lebih setia?

Baca: Asyura Bukan untuk Si Manja yang Lemah Jiwanya

Coba lepaskan pikiran Anda untuk memutuskan! Belum lagi genap 40 tahun kaum Muslimin ditinggal wafat Rasulullah Saw, mereka berlindung di bawah pemerintahan Imam Ali, menjadi pasukannya dalam banyak peperangan, mereka itu pula yang membunuh anaknya Imam Ali segetir yang pernah dicatat sejarah.

Peristiwa gila macam apa ini? Apa memang sekedar kebetulan? Apakah cukup kita katakan bahwa telah terjadi sebuah kebiadaban oleh masyarakat pengkhianat Kufah? Benarkah tidak ada lagi masyarakat pengkhianat di zaman kita ini? Apakah setelah itu tidak akan lagi terjadi persekongkolan terhadap kebenaran? Adalah sangat layak untuk kita kupas serat-serat peristiwa Asyura satu persatu. Kita harus temukan faktor-faktor yang memprakarsai semua itu; hal-hal apa saja yang membuat mereka, yang mengenyam keadilan Imam Ali dan menghaturkan surat-surat undangan kepada Imam Husain melakukan kebusukan sejijik itu?

Jika kita menelaah peristiwa ini dan mengenali faktor-faktor kemunculannya, kita dapat pula mempelajari sebagian rangkaian perubahan pasca revolusi (Revolusi Islam Iran) kita sekarang ini dan memahami kenapa kejadian-kejadian semacam itu muncul? Mengapa sebagian orang itu menyimpang? Ada yang bisa kita manfaatkan dari peristiwa Asyura ini. Ia akan mengajari kita banyak pelajaran dan ibrah. Kalaulah kita mau mendengarnya, betapa banyak kejadian sekarang ini bisa kita hindari. Pada hari ini pun kita masih bisa, setidaknya, melindungi diri dari penyelewengan dengan melakukan telaah demikian ini.

*Dikutip dari buku Asyura dalam Persepsi Ayatullah Misbah Yazdi


No comments

LEAVE A COMMENT