Setiap risalah agama mempunyai tanda-tanda pokok atau khusus yang membedakannya dari risalah-risalah lainnya. Berbagai ajaran di dunia ini mempunyai keragaman dan perbedaan sesuai dengan pemikiran dan pemahaman yang menjadi sandarannya. Dan kita dapat menyimpulkan tanda-tanda khusus dari ajaran Islam dalam beberapa hal di bawah ini:
Pertama, pandangan spiritualitas kepada kehidupan dan alam secara umum. Namun spiritualitas di sini tidak berarti mengingkari makna-makna materi di alam, atau hanya semata-mata membatasi ruang lingkup keberadaan hanya pada rohani atau spiritualitas semata. Islam mengakui hakikat rohani dan jasmani, namun ia mengikat semua hakikat tersebut dengan “penyebab bersama” (sabab musytarak) yang lebih dalam, yaitu Allah Swt.
Jadi, pada hakikatya pandangan spiritual merupakan pengetahuan akan hubungan kehidupan dan alam dengan Allah serta pancaran dari kekuasaan dan ketentuan-Nya. Dengan makna yang demikian, maka kita dapat menganggap alam secara umum sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Sebab, hubungan dengan Sang Pencipta itu adalah hubungan penciptaan yang mencakup aspek materi sebagaimana mencakup aspek rohani di mana strateginya menembus kandungan-kandungan alam dan hakikat-hakikatnya.
Baca:Hak-hak Perempuan dalam Islam
Dan pandangan spiritual ini, yang tergambar di dalamnya hakikat besar dari alam, bukan teori kosong (tak berarti), namun ia berkaitan erat dengan eksistensi praktis manusia dan menentukan baginya sikapnya dari alam yang dihuninya dan kehidupan yang dijalaninya serta manusia bersandar padanya, atau orientasi umumnya terpancar darinya dalam setiap aktivitasnya dan tindakannya.
Kedua, metode rasional dalam pemikiran. Terdapat dua metode dalam pemikiran. Pertama, metode rasional (ath-thariqah al-aqliyyah) di mana akal berfungsi sebagai hakim terakhir dan standar utama untuk membandingkan berbagai pemikiran berdasarkan petunjuknya serta informasi-informasi atau data-data untuk menguji sejauh mana kebenarannya dan objektivitasnya. Dan yang kedua, metode eksperimental (ath-thariqah at-tajribiyyah) di mana ia menjauhkan akal dari bidang ini dan merampas darinya tugas utamanya ini dalam kehidupan pemikiran, dan meletakkan eksperimen di posisinya dengan mengklaim bahwa ia adalah dasar satu-satunya dari segala hal yang mungkin dapat dicapai oleh manusia dari berbagai hakikat dan penemuan.
Realitas membuktikan bahwa kaum rasionalis dan kaum eksperimentalis jatuh dalam kesalahan yang berakibat sangat fatal. Kaum rasionalis yang menganggap akal sebagai standar atau timbangan, mereka tidak hanya mempraktikkan standar ini, bahkan mereka cenderung tidak maksimal (tidak menempuh jalur yang semestinya) di mana mereka membatasi kajian-kajian mereka hanya pada ruang lingkup rasio. Lebih tragis lagi, mereka memaksakan akal semata agar membekali mereka dengan berbagai hakikat dan informasi meskipun pada bidang yang bukan haknya atau wewenangnya.
Kaum rasionalis menganggap bahwa mereka mampu mencapai kata akhir dalam kajian mereka melalui akal saja, dan darinya muncul dua teori: penyambungan (al-ittishaliyyah) dan pemutusan (al-infishaliyyah). Lalu terjadilah pertarungan seru antara mereka. Penganut teori ittishaliyyah dan infishaliyyah menyingkirkan eksperimen dan sarana-sarananya sehingga mereka tidak mencapai hasil yang memuaskan dan pasti. Sebab, akal secara alami bersikap netral dalam keadaan seperti ini dan hal-hal yang menyerupainya dari pandangan-pandangan analitis terhadap alam. Akal tidak akan mampu mengetahui -tanpa bantuan eksperimen- apakah tubuh terdiri dari atom atau tidak.
Baca: Pentingnya Akhlak dalam Islam
Sebagaimana kaum rasionalis, kaum eksperimentalis juga salah di mana mereka menuju arah yang sangat berlawanan, sebagai reaksi atas orientasi rasional yang terdahulu. Mereka percaya terhadap eksperimen dan kemampuannya dalam menyingkap hakikat dan rahasia; dan mereka mengira (karena lupa daratan atas keberhasilan mereka mencapai bukti-bukti eksperimental) bahwa mereka tidak membutuhkan akal lagi karena ia tidak dapat dibuktikan oleh eksperimen. Akibatnya, banyak dari pendukung eksperimen lepas dari hakikat spiritual yang berada di luar lingkup eksperimen praktis.
Sedangkan Islam mengambil sikap yang benar di antara dua kubu itu dan menciptakan jalan yang sangat dicintai oleh pemikiran manusia yang menjamin hasil yang paling baik untuk manusia dalam berbagai bidang dan mencegahnya dari debat kusir yang kosong yang menimpa kaum rasionalis sebagaimana mencegahnya dengan materi rendah yang menjadi tujuan kaum eksperimental.
Jalan Islam menyimpulkan bahwa akal harus diambil sebagai standar atau tolok ukur dari pemikiran dan hakim yang memutuskan di mana kita menghamparkan di hadapannya berbagai bukti yang dicapai oleh manusia melalui observasi indrawi atau eksperimen ilmiah untuk mengaturnya dan menghasilkan darinya sesuatu yang berupa hakikat materi atau hakikat yang berada di luar batasan materi. Alquran mengatakan: “Tidakkah mereka berjalan di muka bumi sehingga mereka memiliki hati yang mengerti.” (QS. Al-Hajj: 46)
Jalan di muka bumi dan apa yang diisyaratkannya dari berbagai perenungan eksperimental pada hakikatya tidak terlepas dari akal dan akal pun tidak lepas dari perjalanan di muka bumi dan mempelajari hakikat-hakikatnya dengan metode-metode indrawi dan eksperimental.
Mengambil eksperimen dan mengeksploitasinya serta mengembangkannya adalah hal yang benar, namun dengan syarat tidak meniadakan akal dan tidak mengekang manusia dalam batasan panca indranya yang eksperimetal. Namun hendaklah ia menjadikan akalnya sebagai hakim untuk memutuskan apa yang dirasanya untuk menghasilkan sesuatu yang ada di balik eksperimen dengan hasil penalaran yang serasi.
Baca: Kontribusi Mazhab Syiah untuk Peradaban Islam
Ketiga, tolok ukur praktis yang umum yang dikemukakan oleh Islam berdasarkan pandangannya yang umum terhadap kehidupan dan alam. Selama manusia terkait dengan Sang Pencipta dan anugerah kehidupan serta segala hal yang dikandungnya dan ruang lingkup materi dan spiritualnya, maka haruslah ridha Allah Swt menjadi tolok ukurnya dalam kehidupan dengan cara mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ridha-Nya.
Alquran mengatakan: “Dan ikutilah ridha Allah Swt dan Allah mempunyai keutamaan yang besar.” (QS. Ali Imran: 174).
Inilah tolok ukur praktis yang mencakup semua bidang praktis bagi manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat dan mencakup berbagai bidang sosial, baik politik, ekonomi, dan moral. Islam menetapkan agar manusia berjalan pada semua bidang ini sesuai dengan ridha Allah Swt dan bimbingan-Nya. Tolok ukur ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan tolok ukur lain yang dikemukakan oleh para filsuf akhlak umumnya.
Keistimewaan-keistimewaan pokoknya ialah keistimewaan yang berupa pandangan spiritual yang umum terhadap kehidupan dan alam, dan bukan tolok ukur yang mengalami improvisasi (perbaikan) sebagaimana ia menghilangkan kontradiksi dari sisi praktis. Ini berbeda dengan banyak tolok ukur yang dikemukakan oleh para filsuf akhlak seperti kenikmatan atau manfaat dan sebagainya dari berbagai konsepsi yang kabur atau tidak terbatas.
Dan kepercayaan manusia terhadap tolok ukur moral yang kurang sempurna ini adalah penyebab terjadinya banyak bencana dan menyeret mereka pada pergulatan dan konflik yang terus menerus. Sedangkan ketika manusia mengikuti tolok ukur praktis yang disuarakan oleh Islam, maka semua bentuk pergulatan dan kontradiksi akan hilang karena ridha Allah Swt tidak akan mengalami kontradiksi dan pertentangan.
Hanya dengan tolok ukur ini, dapat diciptakan masyarakat yang tenang dan saling gotong-royong. Di mana jika terdapat persaingan di antara mereka, maka persaingan itu hanya berkisar pada usaha mencapai ridha Allah, bukan pada keinginan untuk memperoleh kepentingan khusus (pribadi) dan manfaat materi.
*Dikutip dari buku Syahadat Kedua – Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir Sadr