Di balik tembok batu bersejarah di Kota Madinah, sebuah cerita yang melampaui zaman tengah terurai. Di sinilah kisah Abbas, lahir dari cinta suci antara Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as dan Fathimah binti Hizam bin Khalid atau dikenal dengan nama Ummul Banin.
Pada 4 Syakban 28 Hijrah, di bawah cahaya bulan yang memantulkan bayangan, terjadi kelahiran Abbas, menandai awal perjalanan takdirnya. Dari pernikahan mulia ini, terjalinlah benang kehidupan yang akan mengikatnya pada panggilan takdir yang menggetarkan.
Di bawah atap cinta kasih yang dipancarkan oleh Amirul Mukminin, Abbas tumbuh sebagai bunga yang subur dari kebun kemuliaan. Keempat anak laki-laki yang dilahirkan dari rahim Ummul Banin diberkahi dengan kelembutan cinta yang tak terhingga. Namun, di antara mereka, Abbas, sang sulung, menonjol sebagai bintang yang bercahaya di langit keluarga mereka.
Imam Ali, dalam kedalaman hatinya yang penuh firasat, merasakan getaran tak terucapkan tentang takdir yang menanti putranya. Dalam pelukan hangat, di antara gemuruh tangis, ia memeluk Abbas dengan erat, seolah-olah merangkai sebuah persembahan terakhir sebelum perjalanan hidupnya mengembara ke jalan yang penuh cabaran dan pengorbanan. Begitu pula Ummul Banin, sosok ibu yang berdiri teguh di balik dinding kehidupan mereka, ia membawa kearifan dan keberanian yang menemani setiap langkah keluarga mereka. Diceritakan bahwa jodoh antara Imam Ali dan Ummu Banin disatukan oleh tangan Imam Ali sendiri, Aqil, ahli silsilah yang tak tertandingi.
Abbas, putra tercinta Ummu Banin, dianugerahi gelar “Bulan Bani Hasyim” atas ketampanan wajah dan keanggunan batinnya. Namun, di balik keindahan tersebut, Ummul Banin menyelipkan biji-biji kebijaksanaan dan ketulusan dalam mendidik keempat putranya. Ia mengajar mereka tentang arti sejati dari perjuangan, kesetiaan, dan keikhlasan. Dengan lembut namun teguh, ia membentuk mereka menjadi pelindung Islam yang siap mengorbankan segalanya demi melindungi saudaranya, al-Husain.
Dalam jalinan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan, Ummul Banin terpahat sebagai gambaran sempurna seorang ibu yang saleh, yang tiada hentinya mempersembahkan doa-doa terbaiknya untuk keselamatan dan kemuliaan anak-anaknya.
Dalam pelukan kehangatan rumahnya yang dipenuhi dengan aura keagungan, iman, ilmu, dan keutamaan, Abbas tumbuh sebagai bunga yang kokoh dan tangguh. Di bawah bimbingan ayahnya yang mulia, Imam Ali, tumbuhlah seorang pemuda yang penuh dengan semangat pengorbanan. Di setiap detiknya, hatinya terpatri dengan keimanan yang tak tergoyahkan, akhlak yang luhur, dan keberanian yang membara. Maka tak heran, panggilan Abu Fadhl –orang yang menyimpan keutamaan yang tak terhitung banyaknya– melekat erat padanya.
Dalam berbagai medan pertempuran, dari peperangan Jamal hingga Shiffin, dari Nahrawan hingga medan berdarah Karbala, Abbas selalu setia berada di sisi imamnya, mengikuti jejak langkahnya yang penuh dengan keberanian dan keteguhan. Di bawah langit-langit medan perang, bendera saudaranya, al-Husain, menjadi panji yang dipegang teguh oleh tangan al-Abbas yang gagah berani. Badannya yang tegap dan langkahnya yang mantap menandai kehadiran sang pejuang di tengah gemuruh peperangan.
Namun, bukan hanya dalam medan perang, keteguhan dan kesetiaan Abbas mencapai puncaknya. Di malam Asyura, saat kegelapan menyelimuti bumi dan para pengikut Husain terhanyut dalam ibadah, Abbas tetap berjaga, siap menghadapi segala bentuk ancaman yang mengintai. Keberaniannya tidak lekang oleh waktu, dan hatinya yang lembut senantiasa menyirami bunga-bunga pengharapan yang tumbuh di tanah-tanah kepedihan.
Air matanya sering kali menjadi saksi bisu dari penderitaan yang melanda kaum tertindas, dan dengan tangan yang penuh dengan kemurahan hati, ia menumpas kezaliman yang merajalela. Kebaikan dan kelembutan yang melekat padanya mengukir cerita tentang seorang pahlawan yang tidak hanya menegakkan kebenaran di medan perang, tetapi juga dalam setiap tindakannya yang penuh dengan kasih sayang.
Dalam keterikatan yang tak terputus dengan Imam Husain, Abbas menunjukkan betapa besarnya kesetiaannya. Saat dirayu dengan surat perlindungan dan janji keselamatan, ia menolak dengan tegas, setia memilih mempertahankan kehormatan dan kebenaran yang diyakini. Dalam setiap detiknya, ia menjadi bukti nyata dari kekuatan kesetiaan yang mengalir dalam darahnya, menjadikannya tiang yang kokoh dalam menopang kehormatan dan kebenaran.
Maka, dalam sorotan mata yang menyaksikan setiap langkahnya, dalam ingatan yang abadi dari sejarah yang terukir, Abbas bin Ali akan selalu dikenang sebagai pahlawan yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan kebenaran, dan sebagai pelindung yang setia bagi keluarga Rasulullah dan Ahlulbaitnya.