Sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra: “Siapa yang berpuasa pada hari delapan belas Dzulhijjah, akan dicatat baginya (pahala) berpuasa selama enam bulan. Ialah hari Ghadir Khum ketika Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib, seraya berkata, “Bukankah aku adalah pemimpin kaum mukmin?”
“Benar, wahai Rasulullah!”, sahut mereka.
Beliau bersabda: “Siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali lah pemimpin dia.”
Kemudian Umar bin Khatab ra mengatakan, “Selamat.. selamat untuk Anda, hai putra Abu Thalib! Anda telah menjadi pemimpinku dan pemimpin semua muslim.”
Lalu Allah ‘Azza wa Jall menurunkan wahyu: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.”(QS: al-Maidah 3)(1)
Mengenai Riwayat-riwayat Al-Ghadir
Banyak riwayat yang serupa, sebagiannya dengan teks panjang yang membentuk kisah lengkap tentang peristiwa akbar ini, dan sebagian lainnya dengan teks singkat. Semuanya memiliki titik kesamaan, yaitu tentang pengangkatan Sayidina Ali sebagai pemimpin umat sesudah Nabi saw.
Namun yang terpenting bagi sebuah riwayat ialah terkait dengan keabsahannya dinisbatkan kepada Rasulullah saw, bahwa keaslian riwayat bergantung pada kesahihan sanadnya. Pengetahuan mengenainya dapat dicapai dengan mempelajari ilmu rijal dan ilmu dirayah.
Baca: “Kisah Dua Sahabat“
Meminjam istilah Syahid Mutahari(2), perkara ini terkait dengan pengetahuan intisabi atau isnadi. Yakni, penisbatan suatu perkataan kepada seseorang, bahwa apakah benar perkataan itu dari dia? Dan jika benar, apakah seluruhnya merupakan perkataan dia, ataukah sebagainya saja -dalam arti sebagian lainnya bukan dari dia?
Dalam penerapannya, beliau katakan bahwa pertanyaan tersebut tidak berlaku bagi Alquran. Karena Alquran di atas kemutawatiran. Tidak diragukan sedikitpun, bahwa seluruh isinya adalah wahyu dari Allah swt, yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Tetapi pertanyaan itu berlaku bagi kitab-kitab agama-agama samawi yang ada. Juga bagi semua kitab hadis, yang meskipun kiranya sangat mu’tabar kesahihannya, tetaplah tidak akan menandingi keaslian Alquran.
Jika pengetahuan intisabi tersebut, beliau terapkan pada suatu kitab atau buku yang dinisbatkan kepada seseorang sebagai sumbernya, maka di sini barangkali dapat diterapkan pada setiap riwayat. Bahwa apakah benar riwayat itu dari Nabi saw? Jika benar, apakah semua kalimat di dalamnya adalah milik beliau saw, ataukah sebagian darinya merupakan tambahan dari yang lain?
Tujuannya adalah untuk tidak sekedar membawakan riwayat, tetapi memiliki sandaran yang kokoh bila validitas sebuah kajian bergantung padanya. Adapun riwayat-riwayat al-Ghadir diakui kesahihannya oleh para ahli hadis, seperti di bawah ini sebagai contoh di antara mereka:
1-Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain/Hakim Naisaburi, juz 3, hal 118, no 4576, yang mengatakan: “Adalah hadis sahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tapi dibawakan oleh keduanya.”
2-Al-Bidayah wa an-Nihayah/Ibnu Katsir, juz 5, hal 232, yang dikomentari oleh Dzahabi: “Ini hadis hasan yang sangat tinggi, dan matan (teks)nya mutawatir.” (Siyar A’lam an-Nubala`/Dzahabi, juz 7, hal 71)
Kado Syair dari Hassan bin Tsabit
3-Faraid as-Simthain/Juwaini, juz 1, hal 72; al-Juwaini dalam kitabnya ini menyampaikan: “Dikabarkan kepadaku oleh Syekh Tajuddin Abu Thalib Ali bin Anjab bin Ustman bin Ubaidillah al-Khazin; ia berkata, “Dikabarkan kepadaku oleh imam Burhanuddin Nashir bin Abul Makarim al-Mathrazi –sebuah ijazah (lisensi); ia berkata, “Dikabarkan kepadaku oleh imam Ahktab Khawarezmi Abul Mu`ayad Muwafaq bin Ahmad al-Makki al-Khawarezmi; ia berkata, “Dikabarkan kepadaku oleh Sayidul Hufazh mengenai apa yang ia tuliskan kepadaku dari Hamadan; “Dikabarkan kepada kami oleh Rais Abul Fath Abdus bin Abdullah bin Abbas al-Hamadani -sebuah tulisan; “Dikabarkan kepada kami oleh Abdullah bin Ishaq al-Baghawi; “Dikabarkan kepada kami oleh Hasan bin ‘Alil al-‘Anzi; “Dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Abdillah adz-Dzira’; “Dikabarkan kepada kami oleh Qais bin Hafsh; ia berkata, “Ali bin Hasan al-‘Abdi menyampaikan kepadaku dari Abu Harun al-‘Abdi dari Abu Sa’id al-Khudri; ia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw pada suatu hari menyeru orang-orang kepada Ali di Telaga Khum… (sampai pada) Kemudian beliau saw bersabda:
“Ya Allah, dukunglah orang yang mendukung dia (Ali bin Abi Thalib sa); musuhilah orang yang memusuhi dia; tolonglah orang yang menolong dia; dan hinakan orang yang menghinakan dia.”
Lalu Hassan bin Tsabit mengusulkan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau izinkan aku untuk melantunkan bait-bait syair?”
“Sampaikanlah dengan keberkahan Allah..”, ucap Nabi saw mempersilahkannya.
Maka Hassan bersyair:
يناديهم يــوم الغـدير نبيهم بخم فأسمع بالرســول مناديا
Nabi panggil mereka pada hari al-Ghadir, Khum, maka perdengarkan Rasul sedang memanggil
وقال مـن مولاكم ووليكـم فقـالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
Lalu bertanya, “Siapakah sang tuan dan pemimpin kalian?”
Mereka jawab tanpa ada yang saling tanya:
إلهك مــولانا وأنت ولينـا ومالك منـا في الولاية عاصيـا
“Tuhan Anda, Allah lah Sang Tuan kami, dan Anda pemimpin kami. Tak Anda dapati seorang dari kami yang melanggar dalam kepemimpinan.”
فقـال له قم يا علي فإننـي رضيتك مـن بعدي إماما وهاديا
Maka ia berkata, “Bangunlah Ali, sungguh aku merestuimu untuk menjadi imam pemberi petunjuk sesudahku.
فمـن كنت مولاه فهذا وليه فكونوا لـه أنصار صدق مواليا
Siapa yang aku pemimpinnya, inilah dia (Ali) pemimpinnya. Jadilah kalian pendukung yang benar-benar mendukung dia!”
هنالك دعـا اللهم وال وليه وكن للذي عادى عليا معاديـا
Di situlah Nabi berdoa, “Ya Allah, bantulah pendukung dia, dan jadilah musuh orang yang memusuhi dia.”
[*]
Referensi:
1-Tarikh Dimasyq”, juz 42, hal 233.
2-Asyna` ba Qur`an, juz 1.
Baca: “Makna Al-Ghadir dalam Penjelasan Imam Khamenei“