Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Syair yang Membubarkan Pesta Arak

Biasanya, menjelang bulan suci Ramadan, ada sejumlah orang yang melakukan sweeping di tempat-tempat yang dianggap berbau maksiat. Katanya sih, mereka berniat melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Tujuan mereka adalah agar bulan Ramadan tak dinodai aktifitas maksiat, sehingga muslimin bisa menjalankan ibadah puasa dengan tenang.

Mungkin niat dan tujuan mereka baik. Tapi, yang kadang membuat kita miris adalah cara mereka. Mereka kerap berbuat anarkis saat melakukan sweeping. Alih-alih mendatangkan simpati, aksi mereka justru menuai kecaman. Mau tidak mau, sebagian orang menjadi antipati terhadap Islam, atau secara khusus, terhadap konsep amar makruf dan nahi mungkar.

Apakah memang amar makruf dan nahi mungkar harus dilakukan dengan cara ini? Tentu saja tidak. Dalam fikih, disebutkan level-level amar makruf dan nahi mungkar. Pertama, dengan hati; kedua, dengan lisan; dan ketiga, dengan tangan. Jika amar makruf bisa dilakukan dengan hati/sikap, maka tak perlu menggunakan lisan. Dan begitulah seterusnya. Ketika menggunakan tangan pun, tetap ada batas-batas yang tak boleh dilanggar. (Baca: Hadits Pilihan dari Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.)

syairJika kita menelusuri sirah Maksumin as, kita akan melihat para manusia agung ini melakukan amar makruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang elegan. Kita pasti tahu kisah Imam Hasan dan Husain as saat mengoreksi cara wudu seorang pria tua. Mereka berdua, yang saat itu masih bocah, mengajarkan cara wudu yang benar dengan cara yang tak membuat pria tua itu tersinggung.

Karena 15 Dzulhijjah bertepatan dengan hari kelahiran Imam Ali Hadi as, maka di sini kami akan menukil kisah beliau mencegah kemungkaran dengan cara yang amat indah dan elegan.

Diriwayatkan bahwa Mutawakkil, khalifah di masa itu, menerima laporan tentang Imam Hadi as. Beliau dituduh menyimpan senjata di rumahnya untuk memberontak kepada penguasa. Mutawakkil lalu mengutus pasukan ke rumah Imam as.

Setibanya di rumah Imam Ali Hadi as, pasukan Mutawakkil tak menemukan senjata apa pun. Mereka justru menemukan beliau sedang beribadah dan membaca Alquran. Imam Ali Hadi as lalu dibawa paksa untuk menemui Mutawakkil. Beliau dibawa ke balairung istana tempat Mutawakkil sedang mengadakan pesta arak. (Baca: Almarhum Syeikh Behjat: Perselisihan Terjadi dari “Hasbuna Kitaballâh”)

Kemudian Mutawakkil menawarkan cawan arak di tangannya kepada Imam as. Beliau menolak dan berkata,”Darah dan dagingku tak pernah dikotori hal seperti ini.” Si Khalifah mengurungkan niatnya dan ganti meminta Imam as membacakan syair.

“Aku tak mahir bersyair,”kata Imam Hadi as.

“Tidak ada alasan. Kau harus bersyair untukku,”jawab Mutawakkil.

Karena Mutawakkil tetap memaksa, Imam as pun bersedia dan membaca syair berikut ini:

Mereka (para penguasa) melewatkan malam di atas puncak-puncak gunung

Yang dijaga oleh para pengawal. Tapi apakah guna puncak-puncak gunung itu (karena tak mampu selamatkan mereka dari maut)

Mereka diseret turun dari tempat kemuliaan

Dan ditempatkan dalam liang-liang kubur. Oh, betapa kelamnya

Tatkala mereka dikebumikan, terdengarlah seruan:

Manakah gelang-gelang, tiara-tiara, dan sandang mewah itu?

Manakah orang-orang yang hidup bergelimang nikmat

Yang tinggal di balik tirai-tirai ningrat?

Maka tampillah kubur sebagai juru bicara mereka:

Kini orang-orang itu menjadi rebutan para cacing

Selama hidup mereka telah kenyang oleh makanan dan minuman

Dan kini mereka berbalik menjadi santapan satwa kubur

Mereka bangun griya-griya indah yang lindungi mereka

Tapi kini mereka berpamitan dengannya dan bergegas ke kuburan

Mereka timbun harta dan emas permata

Tapi kini mereka wariskan kepada musuh mereka

Kini griya-griya mereka runtuh dan senyap

Ditinggal para penghuninya yang terdampar di kubur gelap[1]

Syair Imam Hadi as menyentuh hati Mutawakkil. Ia menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah oleh air mata. Begitu pula orang-orang yang hadir di majlis saat itu. Si Khalifah kemudian memerintahkan untuk membubarkan pesta arak itu. Ia lalu menghadiahkan uang sejumlah empat belas ribu dirham kepada Imam as. Ia juga menitahkan agar Imam Hadi as diantar pulang dengan penuh kehormatan. (masul)

[1] Sireye Pishvayan, hlm. 584.

Baca: Angan-angan Duniawi yang Membuat Kita Terpuruk

 

 

No comments

LEAVE A COMMENT