Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keharusan Merenungkan Makna Al-Quran

Al-Quran al-Karim sebagai kitab suci dan buku pedoman dalam tazkiyah bagi seorang salik atau peniti jalan menuju Allah tentunya harus dicamkan dan direnungkan maknanya. Keharusan ini ditegaskan dalam firman Allah SWT;

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوب أَقْفالُهَا.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?[1]

Imam Ja’far al-Shadiq as dalam menafsirkan ayat suci ini berkata;

إنَّ لك قلباً ومسامع وإنّ الله إِذا أراد أَن يهدي عبداً فتح مسامع قلبه، وإِذا أراد به غير ذلك ختم مسامع قلبه، فلا يصلح أبداً.

“Sesungguhnya kamu memiliki hati dan pendengaran, dan sesungguhnya jika Allah berkehendak untuk memberi petunjuk kepada seorang hamba maka Dia membuka pendengaran hatinya, dan jika Dia menghendaki selain itu maka Dia menutup pendengaran hatinya sehingga tidak akan baik untuk selamanya.”[2]

Al-Quran al-Karim menyebut dirinya sebagai kitab tarbiyah, tazkiyah, dan penyembuh bagi jiwa manusia, sebagaimana terlihat dalam ayat;

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إلاَّ خَسَاراً.

“Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”[3]

Jelas bahwa penyembuhan yang dimaksud ialah penyembuhan manusia dari berbagai penyakit ruhani. Hal yang sama juga disebutkan dalam firman Allah SWT;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”[4]

Demikian pula dalam firman Allah SWT;

لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَل لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُّتَصَدِّعاً مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الاْمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”[5]

Ketika gunung bisa tunduk dan takut kepada Allah apabila Al-Quran diturunkan kepadanya, lalu hati kita ternyata tidak remuk redam karena rasa takut yang sama, maka ini menjadi pertanda kuat bahwa kita belum mendaratkan makna Al-Quran ke dalam kalbu kita. Kita belum mencernanya sebagai asupan untuk ruh kita. Kita hanya sebatas membacanya dari lafal ke lafal tanpa ada kepedulian untuk memahami arti dan maknanya untuk kemudian kita labuhkan ke kalbu kita. (Baca: Kehati-hatian Karena Takut Kepada Allah SWT)

Imam Ja’far al-Shadiq as berkata;

لقد تجلّى الله لخلقه في كلامه، ولكنّهم لا يبصرون.

“Allah telah bertajalli untuk makhlukNya dalam kalamNya, tapi mereka tidak melihat.”[6]

Sebagaimana diketahui, buku karya seseorang mencerminkan kepribadiannya. Bahkan surat pendek dalam korespondensi antara dua orang yang bersahabat bisa jadi juga merepresentasikan kepribadian penulisnya. Karena itu dapat dimengerti ketika Imam al-Shadiq as berkata, “Allah telah bertajalli untuk makhlukNya dalam kalamNya, tapi mereka tidak melihat.” Hal yang sama juga dapat diterapkan pada kitab semesta dan jiwa ciptaanNya, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,..”[7]

Hanya saja, dibanding Al-Quran, kitab semesta dan jiwa itu lebih mudah dimengerti oleh kalangan awam. (Baca: Cincin Surgawi, Canda dan Kemurahan Hati Nabi saw)

Bertadabbur atau mencamkan dalam-dalam makna Al-Quran sedemikin besar pengaruhnya sehingga dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa seorang pria datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ajarilah aku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.”  Rasul saw lantas meminta salah seorang sahabatnya supaya mengajarkan Al-Quran kepada pria itu. Sahabat itu kemudian mengajarkan kepadanya surat al-Zalzalah hingga sampai pada firman Allah SWT;

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّة خَيْراً يَرَهُ * وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّة شَرّاً يَرَهُ.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”[8]

Pria itu meresapi dan menghayati ayat-ayat dalam surat itu sehingga ketika sampai pada dua ayat terakhir itu dia berkata, “Ini sudah cukup bagiku.” Rasul saw lantas bersabda, “Dia pulang sebagai seorang fakih.”[9]

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam menyifati orang-orang yang bertakwa mengatakan;

أمّا الليل فصافّون أقدامهم تالين لأجزاء القرآن، يرتّلونه ترتيلاً، يحزّنون به أنفسهم، ويستثيرون به دواء دائهم، فإذا مرّوا بآية فيها تشويق ركنوا إليها طمعاً، وتطلّعت نفوسهم إليها شوقاً، وظنّوا أنّها نصب أعينهم، وإذا مرّوا بآية فيها تخويف أصغوا إليها مسامع قلوبهم، وظنّوا أنّ زفير جهنّم وشهيقها في أُصول آذانهم.

“Di malam hari mereka bangkit (mendirikan shalat), membaca bagian-bagian al-Quran, melantunkannya dengan perlahan (direnungkan), membuat jiwanya sedih karenanya, dan berusaha mendapatkan darinya penyembuhan penyakitnya. Ketika melintas pada ayat yang mengandung motivasi (pahala) maka dia tunduk padanya dengan penuh hasrat, dan jiwa mereka terpana kepadanya dengan penuh kerinduan sehingga seolah pahala itu terpampang di depan matanya. Sedangkan jika dia melintas pada ayat yang mengandung peringatan maka mereka mengerahkan pendengaran hatinya agar menyimaknya dan seolah teriakan dan jerit tangis penghuni jahannam ada di sebelah telinga mereka.”[10] (mz)

[1] QS. Muhammad [47]: 24.

[2] Tafsir Namuneh, jilid 21, hal. 470.

[3] QS. Al-Isra’ [17]: 82.

[4] QS. Yunus [10]: 57.

[5] QS. Al-Hasyr [59]: 21.

[6] Bihar al-Anwar, jilid 92, hal. 107.

[7] QS. Fushshilat [41]: 53.

[8] QS. Al-Zalzalah [99]: 8.

[9] Tafsir Namuneh, jilid 27, hal. 231 – 232.

[10] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.

Baca: “Antara Ulama dan Raja, Penguasa dan Hamba Saleh

 

No comments

LEAVE A COMMENT