Kepala Abu Abdillah as dibawa masuk ke hadapan si penguasa Syam, Yazid bin Muawiyah. Para wanita syuhada yang menjadi tawanan dan Imam Sajjad as yang dibelenggu bersama mereka, pun digiring masuk sampai di hadapannya. Ketika itu Yazid melontarkan syair yang artinya (kira-kira) memuji orang-orang yang memuliakan dia dan keluarganya, dan membalas orang-orang yang durhaka kepada bani Umayah.
Imam membalas perkataannya itu dengan firman Allah: “Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa bumi dan dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami menciptakan bumi itu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan semua itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(1)
Apa yang mungkin dapat dipetik dari ayat suci ini dalam kaitannya dengan perkataan Yazid, ialah pertama bahwa segala yang terjadi di dunia dan yang diperbuat oleh setiap manusia, semuanya dalam ilmu Allah yang Dia tulis di Lauh Mahfuzh dari sejak sebelum bumi ini ada. (Baca: Syiah adalah Pembunuh Al-Husain a.s. – Desas-desus Sejarah)
Kedua, setiap manusia di dunia ini tak luput dari ujian hidup, dan hikmahnya ialah agar sampai pada kesempurnaan. Maka untuk apa larut dalam kesedihan yang mendalam.
Ketiga, terkadang manusia ketika berada di posisi atas larut dalam kesenangan dan membesar-besarkan diri. Hal ini membuat Allah swt murka terhadapnya.
Enam Karunia dan Tujuh Keutamaan bagi Ahlulbait Nabi saw
Yazid kemudian menunjuk seorang penceramah untuk naik mimbar dengan pesanan mencaci al-Husain dan ayahnya (as). Di tengah ia ceramah, Imam Sajjad memotong pembicaraannya: “Hai khatib, kau beli kerelaan makhluk dengan kemurkaan Sang Khalik. Maka tinggallah di tempat tinggalmu dalam api nereka!”
Lalu beliau intruksi kepada Yazid untuk menyampaikan sesuatu kepada mereka. Setelah dipersilahkan, Imam berkata di hadapan semua yang hadir: “Hai orang-orang, kami dikaruniai enam perkara oleh Allah, yaitu: ilmu, sifat bijaksana, toleran, kefasihan, keberanian dan kecintaan di hati orang-orang mukmin. (Baca: Hujjah Kebangkitan Imam Husein Melawan Kezaliman Yazid dan Bani Umayah)
Kami pun diberi tujuh keutamaan oleh Allah, ialah bahwa: “Muhammad Sang Nabi Pilihan (saw) adalah bagian dari diri kami; ash-Shiddiq (Ali bin Abi Thalib) adalah bagian dari diri kami; Ja’far Thayar bagian dari diri kami; (Hamzah) singa Allah dan rasul-Nya saw bagian dari diri kami; Fatimah al-Batul Sang Penghulu kaum wanita seluruh alam adalah bagian dari diri kami; al-Hasan dan al-Husain cucu Nabi dua pemuka penghulu para pemuda yang menghuni surga, adalah bagian dari kami.”
Hakikat Seorang Imam dari Ahlulbait Nabi saw
Setelah itu beliau serukan kepada mereka: “Hai orang-orang, siapa yang mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Bagi siapa yang tidak mengenal siapa aku, akan aku jelaskan asal-usulku, bahwa aku adalah putra Mekah dan Mina (nabi Ibrahim as); akulah putra Zamzam dan Shafa (nabi Ismail as)… Akulah putra Muhammad al-Musthafa; aku putra Ali al-Murtadha… Akulah putra Fatimah az-Zahra..”
Imam memberitahu mereka bahwa dirinya berasal dari “pohon suci” dan mata rantai para nabi dan washi, dan bahwa Mekah, Mina, Zamzam dan Shafa yang merupakan simbol-simbol suci bagi muslimin adalah simbol-simbol yang diam. Sedangkan beliau yang menyebut dirinya sebagai putra semua simbol suci itu, adalah seorang hujjah yang berbicara bagi Allah. (Baca: Pola Bani Umayah dalam Menyesatkan Umat)
Sebagaimana Alquran adalah kitabullah yang diam dan dibaca, sedangkan imam adalah “kitab” yang berbicara dan menjelaskan Alquran. Dengan demikian beliau lah “ruh” bagi simbol-simbol yang disucikan muslimin tersebut, seperti halnya dikatakan bahwa si fulan sebagai putra Jakarta atau putra daerah dan sebagainya, tempat atau sesuatu menjadi hidup dengan seseorang yang dikaitkan padanya. Atau, dialah yang menghidupkan tempat itu.
Jika Muhammad (saw) Kakekku, Mengapa Kalian Bunuh Itrahnya?
Ketika itu Yazid menyuruh orang supaya azan untuk menghentikan pembicaraan Imam. Maka si muazin pun mengumandangkan azan “Allâhu akbar…Allâhu akbar”. Sampai pada kalimat “asyhadu anna muhammadar rasulullah”, Imam menoleh kepada Yazid, dan berkata, “Hai Yazid, Muhammad ini kakekku ataukah kakekmu? Jika kau mengaku-ngaku beliau kakekmu, sungguh jelas kau berdusta. Jika kau katakan beliau adalah kakekku, lantas mengapa kau bunuh ‘itrahnya?”
Sedangkan kakek Yazid adalah Abu Sufyan, salah seorang tokoh Quraisy yang sebelum kemudian masuk Islam pada hari Fathul Makkah, memerangi Nabi saw. Apa yang telah dia lakukan dan oleh ayahnya serta bani Umayah terhadap keluarga Rasulullah saw, adalah dendam mereka terhadap Amirul mu`minin Ali as khususnya. Selain itu adalah demi kekuasaan yang ingin mereka bangun untuk menjadi penguasa di tengah umat Nabi saw. (Baca: Almarhum Syeikh Behjat: Perselisihan Terjadi dari “Hasbuna Kitaballâh”)
Seakan Imam mengingatkan kepada orang-orang di hadapan mereka, bahwa dirinya adalah dari keluarga nabi Muhammad (saw) yang selalu disebut-sebut dalam azan pada setiap tiba waktu shalat. Ialah keluarga yang dalam ayat at-Tathir (QS: al-Ahzab 33) disucikan oleh Allah saw; dalam ayat al-Mawaddah (QS: asy-Syura 23) yang harus dicintai atas permintaan Rasulullah saw kepada umatnya dan ayat-ayat yang terkait dengan Ahlulbait as.
Referensi:
1-QS: al-Hadid 22
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
[*]
Baca: “Jalan Menuju Allah“