Allamah Murtadha Muthahhari, seorang alim terkemuka Iran, yang mendapat gelar dari Imam Khomeini sebagai sosok Perpustakaan Islam. Beliau wakafkan masa hidupnya yang berharga kepada Islam, keilmuan dan nilai-nilai suci kemanusiaan, hingga meneguk cawan kesyahidan, dibunuh di tempat oleh agen anti Revolusi Islam Iran.
Di salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, asy-Syahid Yatahaddats an asy-Syahadah, beliau menjelaskan tentang nilai suci kesyahidan. Berikut sebagian dari penjelasannya:
Di dunia Islam, kata “syahîd menyiratkan makna khas yang suci, mulia dan agung. Ialah sebuah kata yang seakan bercahaya. Mati syahid artinya telah mencapai kesyahidan. Yakni, seseorang telah mengorbankan jiwanya demi cita-cita yang sangat tinggi, mewujudkan nilai-nilai insani yang nyata, dan ia telah mencapai derajat tertinggi.
Keistimewaan Seorang Syahid dalam Islam
Kesyahidannya selalu diperingati oleh Alquran:
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا في سَبيلِ اللهِ أَمْواتاً بَلْ أَحْياءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS: Al Imran 168)
Dalam hukum Islam, orang muslim yang mati, jasadnya harus dimandikan dan dikafani, terkecuali dia mati syahid. Ia dikebumikan beserta darah dan pakaiannya. Pengecualian ini menyimpan hikmah yang dalam, dan menyiratkan bahwa jiwa yang syahid telah mencapai puncak kemuliaan dan kesucian, yang jejak-jejaknya ada pada jasad dan darahnya, bahkan pada pakaian yang dikenakannya saat ia mati terbunuh.
Baca: “Tidakkah Sayyidah Zainab as Pasca Tragedi Karbala Kembali ke Madinah, Lalu Mengapa Makam Beliau di Suriah?“
Raganya berjiwa; yakni, mengobankan eksistensi yang berlaku baginya hukum jiwa. Pakaiannya pun berkorban, dan ber-jasad; yakni, berlaku baginya hukum jasad yang mengandung ruh suci. Dari mana mana kesuciannya itu lahir? Lahir pada saat sang pejuang kesucian itu terbunuh.
Ragam Kematian
Di dunia ini, banyak peristiwa dan beragam hal terbunuh. Di bawah ini adalah ragam kematian:
1-Kematian natural; seseorang mati secara alami setelah menghabiskan umurnya. Tak hina juga tak mulia, dan tak begitu disayangkan.
2-Kematian yang merenggut; akibat wabah penyakit yang mematikan, atau bencana alam. Ialah sama dengan jenis kematian yang pertama, melainkan biasanya- diiringi dengan penyesalan (kesedihan) dan disayangkan. Karena bencana itu menelan korban.
3-Kematian yang dibayangi tindakan kejahatan; si pembunuh menghabisi korban karena dianggap menghalangi kepentingan pribadinya, seperti membunuh rekannya karena persaingan bisnis atau kekayaan. Atau perempuan menghabisi anak tirinya agar si suami hanya cinta kepadanya, atau pembunuhan terhadap saingan di masa datang.
Baca: “Kematian Manusia di Tangan Siapa?“
Si pelaku menyesal saat melihat kedua tangannya berlumuran darah, dan kasihan terhadap yang dia bunuh dalam teraniaya dan tak berdaya. Sementara si korban tak terlibat dalam pembunuhan (terhadap dirinya) ini, dan karena itu kematiannya tak disertai kekaguman dan kebanggaan. Tetapi faktornya adalah kedengkian, kebencian dan kerendahan yang membuat dirinya terbunuh.
4-Kematian kriminal; pelakunya bisa dirinya sendiri seperti bunuh diri. Atau mati dalam kecelakaan akibat kesalahannya yang disengaja.
5-Kesyahidan; ialah kematian yang memang diinginkan oleh yang mati demi mewujudkan tujuan suci kemanusiaan atau bahasa Qur`aninya, mati di jalan Allah.
Nilai Tinggi Kesyahidan
Dua rukun bagi kesyahidan; yang pertama, kesucian tujuan, yang ingin diwujudkan oleh yang mati. Yakni, mati di jalan Allah. Yang kedua, syahid dalam pengetahuan dan kesadarannya.
Kesyahidan juga memiliki dua sisi: kesucian bagi yang terbunuh dan kenistaan bagi si pembunuh. Kematian ini membawa sifat-sifat mulia seperti kesadaran, bebas memilih, kesucian tujuan dan jauh dari kecenderungan personal. Tindakan kepahlawanannya mengagumkan dan membanggakan. Kematian di atas kehidupan ini adalah keagungan, kesucian dan sangat bernilai.
Baca: “Budaya Arbain Dan Jabir Al-Anshari“
Sayangnya, di sana terdapat peringatan hari kesyahidan Imam Husain as, seperti memperingati kematian macam ketiga di atas. Yakni, kematian manusia yang darahnya tertumpah begitu saja, padahal beliau syahid dan sebagai penghulu syuhada. Banyak orang menangis bercucuran atas kemazluman beliau seperti menangisi anak kecil yang mati sebagai korban hawa nafsu penguasa lalim. Hal demikian tak bedanya dengan orang-orang yang mati terbunuh secara tragis.
Memang tragedi Karbala di satu adalah kekejaman para pembunuh yang diperbudak oleh nafsu yang keji dan hina. Tetapi di sisi lain yang berkenaan dengan Imam Husein as adalah kesyahidan. Yakni perlawanan suci dengan penuh kesadaran di jalan tujuan yang suci. Adalah dalam pengetahuan beliau bahwa jalan yang akan ditempuhnya itu dampak dari sikap tegasnya menolak baiat terhadap penguasa lalim, dan sikap diam berarti kemaksiatan yang melahirkan kemaksiatan lainnya.
Baca: “Taubat Nasuha (1/5)“
Amaliyah yang mengantarkan pada kesyahidan, yakni kematian dengan kesadaran di jalan tujuan yang suci, di dalam Islam merupakan jihad. Jika merupakan pembelaan, maka terbatas pada hak-hak personal dan nasionalisme. Tetapi wilayahnya luas mencakup hak-hak asasi manusia, seperti kemerdekaan dan keadilan. Lalu, apakah tauhid bagian dari HAM ataukah tidak? Apakah prinsip jihad bertentangan dengan hak kebebasan ataukah tidak?
Soal tersebut perlu dibahas di ruang lain. Yang jelas, Islam bukan agama yang menyerukan kepada hal merawat pipi kiri ketika pipi kanan ditampar. Ia bukan agama yang tak bertujuan dan tak bermetode dalam pembelaan dan dakwah.
Baca: “Tafwidh, Tsiqah, Dan Taslim“