Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kiat Sukses untuk Pembelajar: Sepuluh Etika Pembelajar terhadap Ilmu (3)

Melalui dua pusaka abadinya (Alquran dan Ahlulbaitnya yang suci), Rasulullah Saw telah menekankan pentingnya belajar bagi manusia.

Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, “‘Wahai Rasulullah, apakah ilmu itu?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Memperhatikan.’ Lalu pria itu bertanya kembali, ‘Apa lagi, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawabnya, ‘Menyimak.’ Lalu pria itu bertanya kembali, ‘Apa lagi, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawabnya, ‘Memeliharanya.’ Lalu pria itu bertanya kembali, ‘Apa lagi, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawabnya, ‘Melaksanakannya.’ Lalu pria itu bertanya kembali, ‘Apa lagi, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawabnya, ‘Menyebarkannya.'”

Sementara Imam Ja’far as-Sadiq a.s., cucu Rasulullah Saw, berkata, “Ilmu itu bukan sekadar dengan mempelajarinya, melainkan ia cahaya yang merasuk ke dalam sanubari yang dikehendaki Allah Swt sebagai petunjuk dari-Nya. Sebab itu, jika kau menghendaki ilmu, tanamkanlah pada dirimu penghambaan yang hakiki lebih dulu; pelajarilah ilmu dengan menerapkannya; dan mohonlah pemahaman kepada Allah agar Dia memberimu pemahaman.”

Baca: Kiat Sukses untuk Pembelajar: Sepuluh Etika dalam Proses Menuntut Ilmu (1)

Demikianlah sekilas gambaran tentang ilmu dari khazanah Rasulullah dan Ahlulbaitnya.

Bila ilmu diumpamakan sebagai pohon dan amal diumpamakan sebagai buahnya, maka yang diharapkan dari pohon adalah buahnya. Karena itu, proses pembelajaran itu menjadi penting agar dapat menghasilkan buah dari ilmu itu berupa penerapannya.

Bila proses pembelajaran itu dan pandangan tentang ilmu itu sendiri tidak sempurna, maka ia tidaklah bernilai guna. Karena itu, pada bagian ketiga dari buku Tsalātsūna Adaban li al-Muta’allim (Tiga Puluh Etika bagi Pembelajar), yaitu sepuluh etika terhadap ilmu, kita akan mempelajari bagaimana sepatutnya kita memandang suatu ilmu.

1. Mempertimbangkan kemampuan akalnya.
Sepatutnya seorang pembelajar membatasi telaahnya pada hal-hal yang dapat dia pahami, dapat diserap akalnya, tidak bertentangan dengan wataknya, dan tidak menyibukkan diri dengan buku-buku rasional dengan kontroversi yang kompleks.

Sebelum ada kesiapan mentalnya terhadap hal-hal tersebut; pemahaman yang tepat, pandangan yang mantap pada kebenaran; dia perlu memiliki kapasitas untuk merespons dan memahaminya.

Baca: Memperdalam Ilmu Agama, Manajemen Kehidupan Dunia, dan Bersikap Sabar

Hindarkanlah diri kita dari menghabiskan waktu dalam kebingungan pada bertumpuk-tumpuknya buku dengan pelbagai disiplin ilmu sehingga menyia-nyiakan waktunya dan merusak akalnya.

Lebih baik dia fokuskan waktu untuk membaca buku secara menyeluruh dan teliti tanpa menyibukkan diri dengan yang lain agar fokus tidak terbelah dan tidak memperoleh apa pun.

2. Memelihara pelajarannya.
Perhatikanlah pemeliharaan pelajarannya dengan hafalan yang akurat, lalu mengulang-ulangnya dengan cermat, menelaah kembali ingatannya pada waktu tertentu agar tertanam kuat pada sanubarinya.

3. Memerhatikan prioritas.
Susunlah skala prioritas pada pengetahuan yang kita peroleh dengan cermat, lalu menelaahnya kembali dan mendiskusikannya dengan kawan-kawan belajarnya.

4. Manajemen waktu.
Bagilah waktu siang dan malam kita untuk belajar. Luangkanlah waktu sepanjang usia kita untuk belajar. Waktu terbaik untuk menghafal, misalnya, sebelum fajar tiba; untuk telaah di pagi hari; untuk menulis di siang hari; untuk diskusi di malam hari.

Berdasarkan pengalaman para pembelajar, menghafal di malam hari lebih berguna ketimbang menghafal di siang hari; saat lapar lebih utama dari saat kenyang; tempat yang terisolasi lebih utama dari tempat yang bising sebab mencegah hati tenang.

Baca: Bersama Mufasir Perempuan; bagaimana Menyerap Ilmu jadi Cahaya Jiwa?

5. Belajar di pagi hari.
Dalam riwayat disebutkan, “Diberkati umatku di pagi hari.” Riwayat lain menyebutkan, “Raihlah ilmu di pagi hari. Sebab aku memohon Tuhanku agar memberkati umatku di pagi hari.”

6. Memelihara ilmu dengan mencatatnya.
Rasulullah Saw bersabda, “Rantailah ilmu!” Seseorang bertanya, “Bagaimanakah merantainya?” Rasulullah menjawab, “Dengan mencatatnya.”

7. Mendiskusikan dan mengulas pelajaran.
Seorang pembelajar dapat mendiskusikan suatu pelajaran bersama kawan-kawannya agar dapat terasah, memunculkan pertanyaan dan kesimpulan yang matang untuk ditanyakan kembali kepada gurunya.

8. Menentukan waktu diskusi.
Sepatutnya menentukan waktu diskusi bersama kawan-kawannya di luar forum gurunya, kemudian menyampaikan persoalan yang ada kepada gurunya.

9. Membantu kawan-kawannya dalam belajar.
Adakalanya seorang pembelajar akan memahami suatu pelajaran setelah memperoleh penjelasan dari kawannya yang lebih memahami pelajaran itu.

10. Tidak dengki terhadap kawannya.
Seorang pembelajar pantang untuk mendengki, merendahkan, dan meremehkan kawannya. Dia tidak boleh merasa lebih unggul dan lebih paham dari kawannya. Bukankah semua itu adalah karunia dari Allah yang tidak boleh disombongkan atau didengki? Berterima kasihlah kepada Allah agar Dia meningkatkan pemahaman kita dan meningkatkan kemanusiaan kita.

Semoga tiga serial tulisan ringkas ini dapat memberikan manfaat dan motivasi bagi kita yang berkewajiban untuk senantiasa belajar hingga akhir hayat. Wallāhu a’lam.[]


No comments

LEAVE A COMMENT