Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kunci Keharmonisan Keluarga

Hak-hak seorang suami terhadap istrinya adalah termasuk ke dalam jenis kewajiban akhlak dan kewajiban yang didasarkan kepada kebiasaan umum yang berlaku (‘urf). Seorang laki-laki tidak berhak mencela istrinya, kenapa tidak mencucikan bajunya, kenapa tidak memasak makanan yang enak. Satu-satunya hak (dalam pandangan syariat -penerj.) yang dimiliki secara mutlak hanya berkaitan dengan hubungan seksual. Dalam hal yang satu ini seorang istri harus tunduk kepada suaminya. Agama tidak mengatakan bahwa seorang istri yang saleh ialah seorang istri yang berbuat dan berperilaku sesuai dengan kehendak dan selera suaminya.

Dan salah satu sifat terpuji seorang wanita saleh adalah dengan membela suaminya. Sifat ini dapat dibuktikan pada beberapa keadaan: Pertama, pada saat beberapa orang dari kalangan keluarganya atau teman-temannya mengatakan sesuatu yang buruk tentang suaminya, dengan tegas dan berani namun tetap dengan cara-cara yang sopan, dia membela dan melindungi suaminya.

Kedua, tingkah laku dan perbuatannya sama, baik pada saat kaya maupun pada saat miskin. Bahkan, pada saat miskin dan menghadapi berbagai kesulitan materi dia justru lebih banyak menunjukkan kasih sayangnya kepada suaminya. Tidak pernah sekali pun kesabarannya berkurang, dan tidak pernah sekali pun dia kehilangan kemampuan di dalam menghadapi kesulitan.

Baca: Ayatullah Khamenei: Wanita adalah Sumber Ketenangan Keluarga

Ketiga, jika dia melihat kekurangan, kelemahan atau kesalahan, dia tidak akan menceritakannya kepada siapa pun. Dia tidak akan menceritakan kekurangan-kekurangan yang ada di rumahnya kepada orang lain.

Secara umum Alquran al-Karim mempunyai pandangan bahwa seorang manusia harus menutupi aib orang lain. Manusia harus sadar bahwa dirinya, mulai dari atas kepala hingga ujung kaki, dipenuhi dengan aib, kekurangan dan dosa. Jika sekiranya Allah Swt tidak menutupi kekurangan-kekurangan dirinya dari penglihatan orang lain, sungguh betapa memalukannya. Oleh karena itu, hendaknya kita bersyukur atas nikmat yang sangat besar ini dengan cara tidak mencari­cari kekurangan orang lain dan tidak membiarkan lidah kita menyebut-nyebut kelemahan orang lain.

Akan tetapi, khusus bagi wanita, mereka harus lebih berusaha di dalam masalah ini dibandingkan yang lain. Mereka juga harus tahu bahwa miskin dan kaya, kedua­duanya adalah ujian. Artinya, Allah Swt menguji seorang manusia dengan perantaraan kemiskinan dan kekayaan. Janganlah sekali-kali hanya karena miskin lalu seorang wanita menyepelekan suaminya. Dan janganlah sekali-kali hanya karena menderita kekurangan materi di dalam kehidupan lalu seorang wanita membanding­bandingkan keadaannya dengan keadaan teman-temannya atau keadaan saudara-saudaranya. Sehingga dengan begitu kehidupan yang manis tidak berubah menjadi pahit, dan kehangatan keluarga tidak berakhir dengan kebekuan.

Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setiap kali Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. masuk ke rumahnya, dia merasakan ketenangan, seluruh rasa sakit yang dirasakannya mendadak sirna, dan begitu juga teriakan musuh dan keluh kesah teman menjadi tertutupi. Akan tetapi, jika seorang istri bukan seorang istri yang saleh, tentunya hak-hak suami tidak akan terpenuhi.

Dalam keadaan yang seperti ini, apa yang harus dilakukan? Jawabannya ialah nasihat.

Sebuah nasihat harus berlandaskan kepada tiga syarat. Jika ketiga syarat ini ada maka nasihat akan efektif dan memberikan pengaruh. Ketiga syarat itu ialah,

  1. Kelembutan dan kasih sayang. Artinya, seorang pemberi nasihat harus menyampaikan nasihatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
  2. Artinya, nasihat yang diberikan harus ditopang dengan dalil dan argumentasi.
  3. Kelapangan dada. Syarat yang ketiga ini amat penting di dalam memberikan nasihat, di samping merupakan sebuah karunia Allah Swt yang amat besar. Sampai-sampai di dalam Alquran al-Karim Allah SWT berfirman kepada Rasulullah Saw: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu” (QS. Al-Insyirah: 1). Artinya, Allah SWT menyebut bahwa pelapangan dada Rasulullah saw dan pemberian ketenangan jiwa kepadanya adalah merupakan sebuah karunia.

Secara ringkas dapat kita katakan bahwa jika suami melihat kelalaian pada istri maka suami harus menasihatinya, dan jangan sekali-kali melakukan kekerasan yang justru akan mendatangkan hasil yang tidak diinginkan. Perlu disadari, bahwa timbulnya perselisihan keluarga tidak senantiasa merupakan kesalahan istri. Karena, betapa banyak perselisihan keluarga yang timbul akibat kesalahan dari kedua belah pihak. Bahkan, pada banyak kasus, perselisihan keluarga justru diakibatkan oleh kesalahan suami, yang biasa menyikapi sesuatu dengan kekuatan dan kekuasaan.

Meski pun suami harus berusaha mendidik istri, namun suami juga tidak boleh melupakan untuk mendidik diri sendiri terIebih dahulu sebelum mendidik istri. Suami harus mendidik dan memperbaiki dirinya, sehingga dengan begitu dapat mencegah sejauh mungkin faktor-faktor yang akan menimbulkan perselisihan di dalam keluarga.

Seorang suami tidak boleh membawa tekanan kehidupan, kesulitan pekerjaan, dan masalah kemasyarakatan yang dihadapinya ke dalam Iingkungan keluarga. Karena, betapa keburukan akhlak dan ketidak-gairahan seorang ayah dan ibu akan memberikan pengaruh secara langsung kepada anak-anak mereka. Para psikolog sangat menekankan hal ini. Mereka mengatakan bahwa tindakan buruk seorang ayah dan ibu, dan begitu juga perilaku mereka yang keras dan kasar, semua itu akan merusak akhlak anak-anak mereka dan akan mendatangkan kerugian yang tidak terkira pada perkembangan mental dan fisik anak-anak mereka.

Rumah harus menjadi sekolah pertama pembentuk manusia bagi seorang anak, sehingga di situ seorang anak dapat belajar untuk dapat saling memahami, mencintai, bekerja sama, berkorban untuk orang lain, dan ketulusan. Jangan sekali-kali rumah menjadi tempat pertengaran ayah dan ibu, yang mana hal ini akan menghilangkan hak-hak terpenting dan mutlak seorang anak.

Baca: Berkatalah Lemah Lembut di Tengah Keluarga

Bukankah kezaliman besar pertama yang menimpa anak-anak Anda bersumber dari diri Anda sendiri? Bukankah bibit-bibit kesengsaraan dan pembangkangan anak-anak, orang tua sendiri yang menanamnya? Seorang ayah dan ibu harus benar-benar sadar bahwa sekecil apa pun perbuatan dan ucapan mereka di rumah, semua itu akan memberikan pengaruh secara langsung kepada anak-anaknya.

Pada hakikatnya, pembentukan kepribadian anak justru terjadi di lingkungan rumah. Jika kita menunjukkan kelemahan di dalam perkara-perkara yang penting ini, niscaya kita persis akan menjadi orang yang sebagaimana dikatakan oleh Allah Swt di dalam firman-Nya: “Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada Hari Kiamat. lngatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.’(QS. az-Zumar: 15)

*Dikutip dari buku Surga Rumah Tangga – Husain Mazahiri


No comments

LEAVE A COMMENT