Semua makhluk hidup di dunia ini, yang selalu berinteraksi dengan kita (mencakup pelbagai jenis tetumbuhan, hewan, dan manusia lain), memiliki banyak potensi yang tersusun secara apik dalam dirinya. Kemudian, setelah tercipta kondisi dan terpenuhinya syarat-syarat yang mendukung, potensi-potensi tersebut akan berkembang dan menjadi sempurna. Setelah itu, makhluk hidup tersebut akan memiliki sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak dimiliki. Inilah proses alamiah yang niscaya dialami semua makhluk hidup, yang merupakan hasil perkembangan segenap potensi yang tersimpan dalam dirinya.
Tentunya dengan perbedaan; kalau terjadi pada jenis tumbuhan, proses alamiah itu berlangsung dalam sebuah sistem yang disebut tabi’at ‘alamiah. Bila proses alamiah itu terjadi pada hewan, maka kehidupan hewan tersebut akan digerakkan oleh rasa ‘cinta diri’ yang didasari insting kehewanannya. Adapun bila terjadi pada manusia, maka manusia akan menjalani hidupnya berdasarkan ikhtiar dan kesadarannya. Maka, secara pasti, tujuan dan puncak kesempurnaan manusia juga berbeda dengan dua jenis makhluk hidup lainnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa kesempurnaan adalah sifat atau kondisi nyata yang menegaskan kepemilikan atas sesuatu atau kelebihan sesuatu tatkala dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Sesuatu akan sempurna apabila memiliki pengetahuan dan kesadaran. Maka dari itu, tatkala memiliki kesempurnaan semacam itu, seseorang akan mengecap kenikmatan.
Kesempurnaan, berdasarkan definisi di atas, jika dihasilkan secara alamiah dan tanpa ikhtiar (sebagaimana perkembangan potensi-potensi hewani pada diri manusia, seperti hasrat seksual), disebut dengan kesempurnaan ghair-iktisabi dan alamiah; sementara yang dihasilkan lewat usaha yang dilandasi ikhtiar dan kesadaran, disebut dengan kesempurnaan iktisabi.
Baca: Mampukah Materi Mewujudkan Kebahagiaan Manusia?
Lantas apakah kesempurnaan hakiki bagi manusia? Dengan perkembangan potensi manakah manusia dapat dinyatakan telah sempurna?
Tidak diragukan lagi bahwa di antara potensi-potensi yang dimiliki manusia, terdapat potensi yang bersifat material dan kebinatangan. Karenanya, perkembangan kedua jenis potensi tersebut tidak boleh dijadikan ukuran kesempurnaan manusia, karena kepemilikan potensi ini tidak membuat manusia berbeda dari binatang. Perkembangan potensi ini hanya berarti bahwa aspek kebinatangan manusia saja yang telah sempurna. Pada fase tersebut, tentu saja kemanusiaan manusia masih berupa potensi, kendati aspek kebinatangannya telah sempurna. Kesempurnaan potensi-potensi yang bersifat terbatas dan tidak langgeng ini jelas tidak sesuai dengan hakikat sejati manusia yang terletak pada ruhnya, serta tuntutan akan kekekalan dan ketakterbatasannya. Karena itu, kemanusiaan manusia akan dinyatakan sempurna tatkala dimensi rohaninya yang tak mengenal kata musnah telah berkembang, sekaligus merasakan kesempurnaan, kebahagiaan, serta kelezatan tiada akhir, murni, dan tak terbatas.
Puncak Kesempurnaan Manusia
Manakah fase tertinggi kesempurnaan, tujuan hakiki, dan final yang ingin dicapai setiap manusia berdasarkan fitrahnya?
Dalam menjawab persoalan di atas, perlu kiranya memperhatikan hal berikut. Dalam mengarungi kehidupannya, manusia selalu mengejar maksud dan tujuan yang statusnya berbeda-beda. Sebagian maksud dan tujuan itu berposisi sebagai ‘pengantar’ dan prasyarat untuk mencapai tujuan berikutnya. Sementara sebagian lainnya berposisi sebagai maksud dan tujuan paling atas sekaligus menjadi puncaknya.
Adapun sebagian lainnya lagi menjadi penghubung antara ‘pengantar’ dan puncak. Dengan kata lain, kedudukan ketiga tujuan ini membentuk garis vertikal, di mana yang satu berada di bawah yang lain. Adapun yang dimaksud dengan tujuan dan kesempurnaan puncak adalah suatu posisi yang mustahil dibayangkan adanya posisi yang lain di atasnya. Inilah tujuan dan kesempurnaan yang merupakan anak tangga terakhir dari usaha manusia. Alquran menjelaskan kedudukan sangat mulia ini dengan menggunakan kata-kata seperti fauz (kemenangan), falah (keberuntungan), dan sa’adah (kebahagiaan).
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. al-Ahzab: 71)
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Baqarah: 5)
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka berada di surga dan kekal di dalamnya.” (QS. Hud. 108)
Dalam mengemukakan kedudukan yang berlawanan dengan kedudukan yang mulia itu, Alquran menggunakan terminologi la falah (tidak beruntung), seperti dalam ayat suci: “Sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan beruntung.”
Juga menyebutnya sebagai ‘kerugian’ dan ‘kecelakaan’, sebagaimana disebutkan dalam dua ayat suci berikut:
“Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya,” (QS. al-Qashash: 37)
“Adapun orang-orang yang celaka maka tempatnya di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik napas (dengan merintih).” (QS. Hud: 106)
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa titik nilai kesempurnaan dan aktualisasi segenap kemampuan manusia terbatas pada perannya dalam mempersiapkan terwujudnya kesempurnaan kekal atau sebagai pengantar menuju puncak kesempurnaan. Dengan kata lain, semua aktualitas itu hanya berfungsi sebagai pengantar, sehingga tatkala perannya telah berlalu, dengan serta-merta nilai dan urgensinya akan lenyap.
Kedekatan pada Allah
Apakah realitas hakiki dari puncak kesempurnaan itu?
Dalam pandangan Alquran, realitas hakiki dari puncak kesempurnaan manusia adalah kedekatannya kepada Allah Swt. Sementara kesempurnaan-kesempurnaan lainnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, hanya berfungsi sebagai pengantar untuk mencapainya. Bahkan kemuliaan sejati manusia bergantung pada tercapainya derajat ini. Ketercapaian manusia pada derajat kedekatan ini merupakan sebab dirasakannya kenikmatan tertinggi, paling murni, luas, dan kekal.
Titik tertinggi derajat kedekatan ini dikatakan telah tercapai tatkala kebesaran dan keagungan Allah Swt senantiasa hadir tak terselubung dalam diri manusia, serta menjadikannya selalu berdampingan dengan rahmat-Nya, sekaligus menjadi telinga, mulut, dan mataNya, serta memiliki kemampuan melakukan sebagian pekerjaan-Nya dengan seizin-Nya. Di antara ayat-ayat suci yang menjelaskan kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas adalah dua ayat suci berikut:
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang Berkuasa.” (QS. al-Qamar: 54-55)
Baca: Kadar Kemuliaan Manusia dalam Sistem Nilai Islam
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh pada agama-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya yang besar dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” (QS. an-Nisa: 175)
Sejumlah riwayat juga menjelaskan hakikat agung ini, yang salah satunya adalah hadis Qudsi berikut:
“Tidak seorang pun dari hamba-Ku yang mendekatkan diri padaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari yang telah diwajibkan kepadanya, kemudian dia mendekati-Ku dengan hal-hal yang mustahab (disunahkan); tak seorang pun di antara mereka yang tidak Aku cintai. Di saat Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinga yang digunakannya untuk mendengar, menjadi mata yang digunakannya untuk melihat, menjadi mulut yang digunakannya untuk berbicara, dan menjadi tangan yang digunakannya untuk melakukan sesuatu.” (Ushul al-Kafi, jil.2, hal.352)
Hakikat Kedekatan
Walaupun hakikat kedekatan dan keberhasilan untuk mencapainya tidak mudah dipahami seseorang kecuali setelah dirinya sampai kepadanya, namun penolakan terhadap konsep-konsep yang keliru tentangnya, akan menyuguhkan ke hadapan manusia, gambaran yang lebih akurat tentangnya, kendati tidak sesempurna yang diidealkan. Dekat pada sesuatu adakalanya bermakna kedekatan dari sisi ruang dan waktu. Jelas, kedekatan kepada Allah Swt tidak dapat dikelompokkan dalam kategori ini, karena ruang dan waktu hanya berlaku pada entitas material; sementara Allah Swt lebih tinggi ketimbang ruang dan waktu (yang bahkan merupakan ciptaan-Nya juga). Demikian pula dengan kedekatan non-esensial dan sekedar formalitas. Karena, di samping hanya khusus terjadi di alam dunia ini, kedekatan formalitas tersebut juga pada hakikatnya tidak lain hanya bersifat i’tibari (kebenaran, kesahan, keabsahan) sesuatu yang lain, kendati adakalanya memiliki dampak yang nyata.
Adakalanya yang dimaksud dengan kedekatan adalah kubergantungan segenap makhluk, termasuk manusia, kepada Allah Swt serta keberadaan mereka di sisi-Nya. Ini sebagaimana dinyatakan ayat suci berikut: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)
Makna kedekatan ini juga bukan yang dimaksud dalam konteks kedekatan sebagai puncak kesempurnaan manusia. Karena kedekatan ini berlaku pada semua manusia. Bahkan yang dimaksud dengan kedekatan di sini adalah bahwa disebabkan amal-amal saleh yang dilakukan atas dasar keimanan dan ketakwaan, maka hakikat diri manusia menyempurna, menguat, dan menjadi semakin agung. Dalam kondisi ini, melalui ilmu hudhuri, manusia secara sadar menyaksikan hakikat diri dan Tuhannya; dan dengan kesaksian batinnya, dia merasakan ketergantungan mutlak kepada Tuhannya: “Pada hari itu (hari kiamat) terdapat wajah-wajah yang menampakkan kegembiraan, karena dapat menyaksikan Tuhannya.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Jalan Mencapai Kedekatan
Penyempurnaan manusia dan pencapaian kemuliaan iktisabi dan kesempurnaan pada akhirnya bergantung pada perbuatan ikhtiarinya. Akan tetapi, tidak semua perbuatan ikhtiari, dengan segala bentuk dan pandangan yang mendasarinya, dapat mengantarkan manusia pada derajat kedekatan semacam ini. Bahkan, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya, yang dimaksud dengan perbuatan ikhtiari yang secara efisien berperan menentukan adalah perbuatan yang didasari ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt, kenabian, dan hari akhir. Sebaliknya, perbuatan yang tidak didasari keimanan ibarat tubuh tanpa ruh. Segala tindakan yang tidak dilandasi ketakwaan tak akan diterima di sisi Tuhan: “Sesungguhnya Allah hanya menerima persembahan dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maidah: 27)
Karena itu, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor umum dalam mewujudkan kedekatan kepada Allah Swt adalah keimanan dan amal saleh. Suatu perbuatan yang tidak disertai ketakwaan dan tidak memiliki kelayakan untuk dipersembahkan kehadapan Tuhan, tidak dapat disebut sebagai amal saleh. Darinya menjadi kian jelas bahwa yang disebut dengan amal yang memiliki ruh adalah amal yang berwujud ibadah. Yakni, hanya karena Allah. Tentu saja ‘hanya karena Allah’ karena dia sangat berkaitan dengan niat: “Dan sesungguhnya semua amal bergantung pada niatnya.” (Bihar al-Anwar, 76/212)
Niat adalah satu-satunya amal yang secara otonom mengandungi dimensi ketuhanan dan ibadah. Amal-amal lainnya juga mengandungi kedua dimensi tersebut apabila diiringi niat karena Allah Swt. Dengan alasan ini, seluruh amal tanpa niat yang bersih tak akan menghasilkan nilai [kebajikan] bagi pelakunya. Dengan alasan yang sama , salah satu ayat suci menyatakan bahwa tujuan penciptaan seluruh makhluk yang memiliki ikhtiar adalah ibadah: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali semata-mata untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Baca: Dunia dalam Pandangan Manusia Ilahi
Juga patut diperhatikan bahwa berdasarkan logika Alquran, setiap manusia, apa pun suku, bangsa, dan jenis kelaminnya, tidak mungkin meraih (mencapai) derajat kedekatan ini tanpa perbuatan ikhtiari (mencakup tindakan fisik dan rohaninya). Selain terdapat faktor-faktor umum bagi terwujudnya kedekatan yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat menjauhkan pelakunya dari Allah Swt. Di antaranya adalah cinta dunia, mengikuti rayuan setan, dan tunduk pada pelbagai tuntutan hawa nafsu.
Berkaitan dengan hal ini, Alquran mengemukakan sebuah kisah tentang ketergelinciran seorang cendekiawan Yahudi di zaman Nabi Musa yang bernama Bal’am Ba’ura, karena tergerak mengikuti Fir’aun: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu. Akan tetapi dia lebih cenderung kepada dunia dan memperturutkan ]hawa nafsunya yang rendah.” (QS. al-A’raf: 175-176)
*Disarikan dari buku Horison Manusia – Mahmud Rajabi