Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA
Banyak dari para pendukung kemerdekaan Palestina menanti pidato SHN dan mengharapkan dia menyatakan perang terbuka terhadap Israel lalu mengerahkan ribuan pasukannya untuk memasuki wilayah rezim iblis itu dan menembakkan ribuan rudal ke ibukota dan kota-kota lainnya.
Anggapan dan ekspektasi ini lumrah karena terma perang kerap dipahami secara sempit dan sederhana sebagai aksi militer semata yang dilakukan antar dua negara karena dorongan balas dendam atau tuntutan atas hak yang dirampas dan sebagainya tanpa menyertakan variabel konteks geopolitik yang melingkupinya dan sejumlah faktor penting seperi, waktu, tempat, strategi dan lainnya yang secara niscaya menentukan efektivitas dan hasil yang diinginkan.
Ada banyak definisi dan pengertian perang bergantung kepada salah satu aspek yang dipandang, antara lain tujuan, teknik, sarana, medan dan sebagainya. Bahkan pengertian perang telah mengalami ekspansi meliputi semua konflik militer dan non militer seperti ekonomi, perdagangan, budaya, diplomatik, media dan lainnya. Ia juga tidak hanya berlaku dalam konfrontasi militer antar dua negara, namun juga meliputi pemberontakan faksi tertentu terhadap pemerintah atau faksi lain dalam negara.
Perang juga bisa dianggap sebagai salah satu mekanisme perundingan juga usaha menaikkan posisi tawar dalam arena persaingan. Bagi Sun Tzu, Jenderal Tiongkok kuno, perang adalah seni, sebagaimana dituangkan dalam magnus opusnya The Art of War.
Karena itu, sebagian orang, terutama yang merawat pandangan sinis stereotipe sektarianisme terhadap Hizbullah dan Poros Perlawanan yang berada dalam lingkaran pengaruh Iran, meski membenci Hizbullah, menuntutnya terjun ke arena bukan karena pro perlawanan tapi ingin Hizbullah menjadi musuh dalam negeri karena dianggap menyeret Lebanon yang sedang terpuruk secara ekonomi ke dalam konflik terbuka dengan Israel di luar wilayah perbatasan yang disengketakan sebagai justifikasi menuntutnya melucuti senjatanya. Respon negatif semacam ini telah diwakili oleh pernyataan salah satu pejabat dan pangeran Arab Saudi.
Bila kita mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca secara rasional dan objektif pidato SHN, mungkin kita bisa memperluas wawasan geopolitik dan meredefenisi kata perang dan menang secara lebih komprehensif.
Hizbullah, sebagai entitas sosial dan politik juga militer dalam Lebanon menghadapi dua situasi pelik, internal dan eksternal. Situasi politik Lebanon sejak hampir 1 tahun mengalami kevakuman presiden dan kabinet akibat polarisasi diametrikal yang diciptakan oleh kekuatan politik global (AS, Perancis dan Barat) dan regional (Arab Saudi yang menentang opsi militer dalam isu Palestina via faksi-faksi anti Poros Perlawanan dan Iran yang mendukung opsi militer yang direpresentasi oleh Hizbullah).
Krisis kepemipinan politik ini menjadi penyebab utama ambruknya ekonomi Lebanon hingga menyentuh level kebangkrutan. Situaisi aktual domestik ini dan posisi Iran yang sedang berusaha menjaga stabilitas negeri dengan mengatasi masalah ekonomi akibat embargo dan sanksi-sanksi serta kemelut Yaman yang diduduki oleh Saudi dan Emirat, juga situasi Suriah dan Irak yang belum stabil akibat intervensi AS dan faksi-faksi buatannya mendorong Hizbullah untuk menunda realisasi “Perang Terbuka” dan lebih memilih konsolidasi seraya tetap memainkan jurus “ambiguitas” yang membuat pihak lawan internal di Lebanon dan eksternal terutama AS dan Israel cemas tak kepalang.
Sejak agresi Israel di Jalur Gaza menyusul operasi “Badai Al-Aqsa” pada tanggal 7 Oktober, untuk kali pertama Sekretaris Jenderal Hizbullah SHN tampil ke publik para Jumat 3 November dalam pidato penting. Pidatonya dinantikan oleh para pemimpin dan masyarakat dunia, karena diyakini menentukan arah konflik yang sedang berlangsung di kawasan.
Dalam awal pidatonya yang memakan waktu lebih dari satu jam, SHN menggambarkan batasan peran organisasinya dan poros resistensi dalam perang tersebut, berdasarkan dua tujuan realistis :
1. Menghentikan agresi Israel di Jalur Gaza
2. Mempertahankan eksistensi Hamas dan faksi-faksi perlawanan Palestina dalam keadaan apa pun, dengan imbalan menggerakkan pertempuran di garis depan Lebanon, berdasarkan pada dua faktor:
1. Perkembangan perang di Jalur Gaza.
2. Perilaku pasukan Israel terhadap Lebanon.
Ini mengungkapkan karakter gerakan perlawanan dan memberikan definisi baru tentang kemenangan dalam konfrontasi. “Hanya karena mereka tetap berada di garis depan Jalur Gaza dan tidak membebaskan para tahanan kecuali dalam kondisi tertentu juga merupakan sebuah kemenangan.” tandasnya.
Setidaknya pidato yang menyimpan meta makna dan teka-teki yang cukup misterius dan ambigu itu, SHN menyampaikan beberapa pesan penting sebagai berikut :
- Menepis secara implisit anggapan bahwa keputusan untuk melancarkan operasi “Badai Al-Aqsa” dan kerahasiaan operasi yang dilakukan tanpa sepengetahuan para pemimpin “Poros Perlawanan”.
- Mengisyaratkan bahwa keputusan dan inisiasi penyerangan faksi-faksi perlawanan di Gaza bersifat lokal dan tidak bersumber dari komando Iran, meskipun mendukung sepenuhnya. Ini bisa dipahami bahwa operasi “Badai Aqsa” merupakan aksi spontan demi memanfaatkan kelengahan Israel yang sedang mengalami kemelut politik domestik.
- Menekankan keterlibatan Hizbullah dalam perang ini, dan menegaskan bahwa tujuan paling menonjol yang dicapai oleh Front Lebanon adalah memecah fokus Israel dan menguras tenaga tentaranya. SHN mengatakan bahwa sepertiga tentara pendudukan berada di front utara, dan setengah dari kemampuan angkatan laut, seperempat dari angkatan udara, sekitar setengah dari sistem Iron Dome telah diduduki, dan sekitar 43 pemukiman di dekatnya dievakuasi dari Lebanon.
- Menyebut AS sebagai pihak yang bertanggung jawab secara langsung atas agresi Israel di Gaza, dan bahwa nasib perang tersebut serta kemungkinan perluasannya ke wilayah lain bergantung kepada perilaku pemerintah AS dalam arah ini.
- Menyatakan kesiapan dan persiapan untuk menghadapi armada Amerika, dan menyarankan bahwa eskalasi Israel dengan Hizbullah akan mengarah pada perang regional. “Siapa pun yang ingin mencegah perang regional harus segera menghentikan agresi terhadap Gaza.”
- Mengkonfirmasi peran penting faksi perlawanan di Irak, dan organisasi Ansarullah di Yaman, seraya menerbitkan ancaman bahwa kepentingan AS di wilayah, terutama sejumlah pangkalan militernya adalah target yang dibidik dalam konfrontasi.
- Menghimbau kepada negara-negara dan rezim-rezim Arab agar memberikan tekanan untuk menghentikan agresi Israel, dengan menyerukan penggunaan kekuatan ekonomi mereka dan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan AS dan Israel, seperti gas, minyak, dan berbagai pasokan.
- Mengumumkan bahwa perbatasan Lebanon dengan Palestina, bersamaan dengan pertempuran militer antara Hizbullah dan pasukan Israel, akan tetap terbuka untuk operasi infiltrasi ke wilayah Israel.
SHN menegaskan dengan tegas bahwa nasib wilayah tersebut sebelum operasi “Banjir Al-Aqsa” tidak sama dengan setelahnya, berdasarkan kembalinya isu Palestina ke permukaan, dan bahwa operasi tersebut mendapatkan legitimasinya dalam skala global. Karena itu, dia menyebutkan empat isu penting yang menjadi perhatian utama masyarakat dunia, yaitu :
- Nasib ribuan tahanan di penjara-penjara Israel
- Posisi sakral Masjid Al-Aqsa yang terus menjadi sasaran pelecehan.
- Operasi perluasan pemukiman ilegal yang mengancam rakyat Palestina di Tepi Barat.
- Pengepungan yang tidak adil terhadap dua juta orang di Jalur Gaza.
Meskipun beberapa orang menganggap pidato Nasrallah tidak sesuai dengan tingkat eskalasi yang diharapkan dalam mendukung perlawanan Palestina, banyak pula pengamat yang percaya bahwa SHN mencoba untuk fokus pada fakta bahwa gol dicetak berdasarkan poin saat ini dan bukan dengan KO, sebagai jawaban terhadap mereka yang bertanya, “Kapan Hizbullah akan memasuki arena perang?”
Babak-babak utama pertempuran antara Hizbullah dan Israel belum dimulai karena momentumnya belum tepat dan itu hanya akan terjadi bila AS secara terbuka melibatkan kekuatan militernya dalam konfrontasi, karena SHN yakin Israel hanyalah proksi bagi AS dan Barat. Dia kali ini mengalihkan keputusan dari Tel Aviv ke Washington, sebagai pembukaan untuk negosiasi dan perhitungan ulang.