Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Membangun Diri dengan Muhasabah (1)

Muhasabah (introspeksi) merupakan jenjang yang disebut-sebut datang setelah jenjang taubat. Artinya, setelah manusia bertaubat maka dia konsisten berinterospeksi, mawas diri dan mengevaluasi keadaan dirinya demi melestarikan keutuhan dan kesejatian taubatnya.[1]

Namun demikian, taubat dan muhasabah sebenarnya berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi taubat membawa ke muhasabah, sedangkan muhasabah bekerja untuk melestarikan taubat dan menjaga komitmennya kepada taubat, dan di sisi lain muhasabah sebelum taubat juga akan mengantarkan seseorang kepada taubat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَد وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ * وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”[2]

Firman Allah SWT “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),” merupakan perintah kepada manusia agar bermuhasabah atau berintrospeksi untuk melihat apa saja yang sudah dia perbuat untuk kehidupan di alam akhirat kelak; perbutan baik atau buruk apa yang dia lakukan selama ini; Jika dia berbuat baik lantas apa nilai perbuatannya itu? Dia harus mengetahui bahwa perbuatan baik yang dia lakukan itulah yang akan lestari dan abadi bagi kebahagiaan dirinya di sisi Allah, sedangkan yang lain akan sirna sia-sia, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT;

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللّهِ بَاق. . .

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”[3]

Dan yang membuat orang lebih merinding lagi ialah firman Allah SWT yang pertama tadi; “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.” Ayat ini menunjukkan bahwa pengabaian muhasabah merupakan perbuatan yang bersangkutan dengan orang-orang yang lupa kepada Allah, dan hukuman Allah bagi mereka adalah membuat mereka lupa kepada diri sendiri. Lupa diri merupakan lupa yang paling fatal dan ini diakui bahkan oleh orang-orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Ungkapan “lupa diri” (nisyan al-nafs) dapat dijelaskan dengan dalam beberapa poin sebagai berikut;

Pertama, orang yang lupa kepada Allah jelas tidak ingat kepada kemaslahatan dirinya di akhirat, padahal kemaslahatan ini abadi dan di atas segalanya. Karena itu, orang yang lupa kepada kemaslahatan dirinya tak ubahnya dengan orang yang lupa diri. Sebab orang yang waras jelas tidak mungkin melupakan kepentingan dan kemaslahatan dirinya. (Baca: Wara’ dan Takwa – 1)

Kedua, orang yang lupa kepada Allah SWT adalah orang yang lupa kepada potensi dan kemampuannya untuk berbuat baik, dan potensi ini merupakan anugerah yang tertanam dalam dirinya berkat kemurahan Allah SWT. Mengabaikan potensi ini tak ubahnya dengan mengabaikan diri sendiri.

Ungkapan “lupa diri” mirip dengan ungkapan “merugikan diri” yang juga disebutkan dalam berbagai ayat al-Quran al-Karim. Allah SWT berfirman;

الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ …

“Orang-orang yang merugikan dirinya,…”[4]

Orang yang berbuat buruk hingga akhir hayatnya dan tak beruntung dalam kehidupan akhirat adalah orang yang merugikan dirinya, baik dari segi kemaslahatannya di akhirat untuk selamanya maupun dari segi kehilangan potensi yang telah ditanamkan Allah dalam dirinya.

Alhasil, apa yang ditegaskan oleh al-Quran mengenai keharusan manusia menimbang dan memperhitungkan persiapan dan bekalnya untuk akhirat kelak merupakan sesuatu yang logis dan sesuai dengan tuntunan hati nurani atau fitrah manusia. Sebab, jika dalam perjalanan jauh di dunia inipun setiap manusia pasti memerlukan persiapan dan bekal yang memadai, lantas bagaimana lagi dengan perjalanan dan nasibnya kelak di alam keabadian. (Baca: 2 Kisah Karamah Fatimah Zahra a.s.)

Muhasabah sedemikian penting karena kelak amal perbuatan kita akan dihisab atau ditimbang oleh Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam beberapa firmanNya dalam al-Quran, antara lain;

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّة مِّنْ خَرْدَل أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.”[5]

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّة مِّنْ خَرْدَل فَتَكُنْ فِي صَخْرَة أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الاْرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ.

“(Luqman berkata): ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Lembut  lagi Maha Mengetahui.’”[6]

(Bersambung)

[1] Lihat Manazil al-Sa’irin, Bab ke-3 di antara bab-bab permulaan.

[2] QS. Al-Hasyr [59]: 18 – 19.

[3] QS. Al-Nahl [16]: 96.

[4] Lihat; QS. al-An’am [6]: 12 dan 20; Al-A’raf [7]; 9 dan 53; Hud {11]: 21; Al-Mu’minun [23]: 103; dan Al-Zumar [39]; 15.

[5] QS. Al-Anbiya’ [21]: 47.

[6] QS. Luqman [31]: 16.

Baca Selanjutnya: “Membangun Diri Dengan Muhasabah (2)

 

No comments

LEAVE A COMMENT