Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Mencintai Ahlulbait adalah Berpegang Teguh pada Mereka

Kita telah memahami bahwa cinta memiliki peranan besar dalam penempaan diri dan membuatnya rindu kepada al­Haq dengan syarat cinta itu adalah cinta pada kesempurnaan yang hakiki, bukan cinta pada kesempurnaan yang palsu. Kesempurnaan yang hakiki adalah Allah Swt, dan  mencintai Ahlulbait bersumber dari cinta ini.

“Tuhanku, andai kutemukan para pemberi syafaat yang lebih dekat kepada-Mu daripada Muhammad dan Ahlulbaitnya yang suci niscaya kujadikan mereka sebagai para pemberi syafaatku.” (az-Ziyarah al-Jami’ah)

Cinta kepada mereka a.s. menjadikan seseorang tertarik kepada mereka. Mereka adalah para wali yang sempurna, yang telah mencapai tingkatan puncak dan keutamaan-keutamaan Ilahi yang tertinggi. Oleh karena itu, seseorang tertarik pada tingkatan puncak tersebut dan keutamaan-keutamaan yang tertinggi.

Baca: Kitab Hadis yang Menjadi Pegangan Mazhab Syiah Ahlulbait

Adapun, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang menunjukkan hal ini amatlah banyak. Di dalam Al-Qur’an kita temukan bahwa Allah Swt mengisahkan pembicaraan pada nabi terdahulu dalam menjawab kaum mereka yang menawarkan upah kepada mereka dengan firman-Nya: “Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Hud: 29).

Para nabi menolak para penentang di tengah kaum mereka yang menawarkan upah materi agar para nabi itu diam serta tidak menegakkan kebenaran dan melakukan perbaikan dengan jawaban ini. Selain itu, para nabi juga menjawab dengan jawaban yang sama kepada para pengikut mereka yang merasa diri mereka tenggelam di dalam lautan anugerah. Para nabi membimbing mereka menuju kebahagiaan yang hakiki dan menyelamatkan mereka dari kesengsaraan dan nestapa yang abadi.

Namun, kita temukan juga bahwa Al-Qur’an menceritakan penutup pada nabi dengan pembicaraan yang lain. Di situ, ditentukan upah yang jelas atas penyampaian risalah dan pengorbanan besar yang dicurahkannya dalam menyebarkan hidayah ke segenap penjuru alam dengan firman-Nya: “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apa pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada keluargaku (al-qurba).'” [QS. asy-Syura: 23]

Kecintaan kepada Ahlulbait a.s. merupakan upah atas penyampaian risalah dan pengorbanan besar yang dikatakan Rasulullah Saw: “Demi Allah, tidak seorang nabi pun disakiti seperti sakit yang ditimpakan kepadaku.”

Oleh karena itu, mencintai mereka merupakan fardu. Itulah upah yang sepatutnya diberikan manusia atas hidayah ke jalan al-Haq Swt. Namun, jika kita kembali lagi pada Al-Qur’an, kita temukan bahwa Rasulullah Saw telah kembali pada jawaban para nabi terdahulu dalam menjelaskan kepada manusia bahwa upah yang diminta tidak kembali kepadanya dengan mendapatkan faedah dari mereka. Melainkan, upah yang hakiki adalah yang datang dari Allah Swt.

“Katakanlah, ‘Upah apa pun yang aku minta kepada kalian maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah.’” (QS. Saba: 47)

Faedah apa pun kembali kepada kita jika kita membayarkan upah ini, yaitu kecintaan kepada Ahlulbait. Bagaimana mungkin bahwa upah itu adalah berupa kasih sayang? Al-Qur’an memberikan jawabannya kepada kita dengan bahasa yang lembut: “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kalian dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharap kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan mereka.’” (QS. al-Furqan: 57)

Cinta yang wajib kepada Ahlulbait adalah jalan Allah bagi manusia yang memungkinkannya mencapai kesempurnaan kemanusiaan dan kebahagiaan yang hakiki. Diriwayatkan dari Abu Abdillah a.s. : “Di antara tali-tali keimanan yang paling kuat adalah engkau mencinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (al­Kafi, juz 2)

Tali paling kuat yang mengikat keimanan adalah cinta atau jalinan hati yang bersumber dari ikatan Ilahi. Diriwayatkan bahwa Fudhail bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah a.s. tentang cinta dan benci, apakah termasuk keimanan?” Beliau menjawab, “Keimanan itu adalah cinta dan benci.”

Cinta bercampur dengan keimanan dan tidak pernah berpisah. Esensi keimanan yang hakiki diperkuat dengan jalinan hati. Jika hati terjalin dengan al-Haq dan tertarik kepada-Nya maka itulah keimanan yang sebenarnya dan berada di atas landasan yang kuat.

Diriwayatkan dari Abu Abdillah a.s. bahwasanya Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya: “Apakah tali keimanan yang paling kuat?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Sebagian menjawab, “Salat.” Sebagian lain menjawab, “Zakat.” Sebagian lain menjawab, “Haji dan umrah.” Sebagian lain menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

Beliau Saw berkata: “Setiap hal yang kalian katakan memiliki keutamaan, tetapi bukan itu jawabannya. Melainkan, tali keimanan yang paling kuat adalah cinta karena Allah, bersikap setia kepada para wali Allah, dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah.”

Rasulullah Saw selalu berusaha untuk mengarahkan kaum Muslim ke arah yang benar dalam suasana tersebut, di mana ajaran-ajaran Ilahi menguasai mereka. Hal itulah yang dapat menjadikan mereka  memberikan pengawasan, perhatian, dan keutamaan pada sesuatu yang lebih rendah daripada yang lain. Pada gilirannya, bahtera kehidupan mereka berlayar menuju pantai keimanan, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang dari kaum Muslim kemudian. Oleh karena itu, cinta karena Allah serta kecintaan dan kesetiaan kepada para wali-Nya, itulah yang memberikan nilai yang hakiki terhadap jihad, haji, puasa, zakat, dan salat.

Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir a.s. : “Jika kamu ingin mengetahui bahwa di dalam dirimu terdapat kebaikan maka perhatikanlah hatimu. Jika hatimu mencintai orang-orang yang taat kepada Allah dan membenci orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya maka berarti di dalam dirimu terdapat kebaikan dan Allah mencintaimu. Sebaliknya, jika hatimu membenci orang-orang yang taat kepada Allah dan mencintai orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya maka berarti di dalam dirimu tidak ada kebaikan dan Allah membencimu. Seseorang bersama siapa yang dicintainya.”

Untuk meraih kecintaan kepada Ahlulbait a.s. dan dengan cinta ini naik ke tingkatan tertentu tempat ditunaikannya sebagian upah penyampaian risalah terdapat dua jalan, yaitu jalan ilmiah dan jalan amaliah.

Jalan ilmiah, yaitu mengenal perjalanan hidup mereka, Mengetahui perjalanan hidup mereka dapat menyalakan api cinta di dalam hati manusia yang tertarik pada keutamaan-keutamaan diri dan limpahan karunia Ilahi, serta mengenal kata-kata dan mendalami ajaran-ajaran mereka, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Baqir a.s. : “Ajarilah manusia dengan kata-katamu yang baik maka kalau mereka mengetahuinya niscaya mereka mengikuti kita.”

Perhatikanlah orang-orang yang membaca kata-kata mutiara Imam Ali a.s. dalam Nahj al-Balaghah. Pasti ia tertarik dan kagum, lalu tumbuh kerinduan. Pada pelupuk matanya mengalir air mata kebahagiaan dan kekaguman. Pada matanya ada tangisan kesedihan.

Baca: Meneladani Ahlulbait: Jangan Berbuat Zalim!

Jalan amaliah, yaitu awalnya adalah mengikuti (ittiba’), sebagaimana firman Allah Swt: “Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian….’” (QS. Ali Iwran: 31)

Hal itu karena mengikuti dan taat melahirkan cinta, dan cinta menguatkan keduanya. Kalau ia tahu bahwa kemaksiatan akan menjauhkannya dari-Nya, tentu ia akan menghindari dan menjauhi kemaksiatan itu.

Hal lain sebagai wujud kecintaan kepada mereka adalah dengan terus-menerus melakukan ziarah kepada mereka dalam bentuk apapun melalui ziarah-ziarah yang termasyhur; yang terpenting di antaranya adalah al-Ziyarah al-Jami’ah al-Kubra, Ziyarah Aminullah, dan Ziyarah Asyura.

*Disarikan dari buku Menerbitkan Cahaya Diri – Sayid Abbas Nuruddin

No comments

LEAVE A COMMENT