Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa ketika Abul Fadhl Abbas memutuskan untuk pergi ke medan perang, Imam Husain a.s. meminta agar ia membawa air untuk anak-anak dan bayi baru lahir. Abul Fadhl pun segera mengambil kantong air dan menaiki kudanya. Dia mulai bergerak menuju Sungai Efrat. Ribuan orang mengelilinginya dan tombak menghujani dirinya dari segala arah. Tentara tunggal Abul Fadhl Abbas tidak peduli sedikitpun kepada mereka, tidak juga pada tombak-tombak yang dihujankan dari sekelilingnya.
Dia berhasil mengusir musuh jauh dari tepi sungai dan mendapatkan akses ke air, semuanya dilakukannya sendirian. Dia menuruni kudanya dan pergi ke sebelah sungai dengan kemudahan dan ketenangan yang mengejutkan. Dia kemudian mengambil segenggam air dari sungai dan ingin minum karena rasa haus yang terik. Tiba-tiba, ia ingat bahwa Imamnya, Al-Husain a.s. dan anak-anak serta seluruh keluarga merasa sangat haus. Dia menjatuhkan kembali air yang berada di tangannya ke sungai dan membacakan syair yang terkenal:
Wahai jiwa! Kau harus direndahkan demi Husain dan tidak pernah hidup setelahnya.
Husain telah berhadapan dengan kematian dan sekarang kau ingin minum air dingin dan nikmat?
Aku bersumpah demi Allah bahwa ini tidak sesuai dengan kaidah agamaku!
Baca: Keutamaan Abul Fadhl Abbas, Putra Ali
Kemudian, Abbas mengisi kantong air tadi, menaiki kudanya dan kembali menuju perkemahan Imam Husain as. Namun musuh menutup jalannya.
Sebagian bertanya mengapa Abul Fadhl Abbas tidak meminum air. Akan lebih baik jika ia menyegarkan hausnya terlebih dahulu untuk mendapatkan kekuatan yang diperlukan untuk melawan, dan dengannya ia dapat menghantamkan pukulan berat pada musuh atau bahkan memusnahkan mereka sama sekali. Jika dia meminum air itu, dia akan mampu membantu Imam Husain a.s. dan Islam lebih baik.
Pertama, Abul Fadhl Abbas percaya bahwa meminum air tatkala Imam Husain dan keluarganya kehausan, bagaimanapun juga berarti pengkhianatan. Aturan perilaku Islam yang benar, tidak mengizinkannya sebagai pengikut untuk memuaskan rasa haus tatkala pemimpinnya yang suci merasa haus.
Kedua, isu Abul Fadhl Abbas yang tidak meminum air menjadi bukti lebih lanjut dari penindasan yang dilakukan terhadap Imam Husain. Tindakan ini telah menarik simpati dan kasih sayang serta membawa hati manusia terhadap Imam Husain. Ini menarik orang-orang untuk memulai pemberontakan melawan Yazid dan orang lain yang seperti dia.
Baca: Berkah Menyebut Namanya…
Ketiga, Abul Fadhl Abbas tahu betul bahwa dia dan saudaranya, Imam Husain akan terbunuh, baik ia mengambil kesempatan untuk minum air atau tidak. Dia tahu bahwa dia tidak akan meninggalkan medan perang ini dalam keadaan aman, sehat dan hidup. Dia tahu bahwa musuh pasti dan bertekad membunuh semua anggota keluarga Bani Hasyim apa pun caranya. Oleh karena itu, bukankah lebih baik untuk mencapai kesyahidan dan kembali kepada Tuhannya dengan bibir haus?
Apa yang menjadi saksi untuk ini adalah bahwa manusia meminum air apabila dia tahu dengan pasti bahwa meminum air akan menyelamatkan nyawanya. Namun, Abul Fadhl Abbas tidak punya harapan hidup setelah perang ini. Dia tahu dengan pasti bahwa dia akan mati syahid.
Keempat, tujuan Imam Husain a.s. di Karbala bukanlah membawa kematian semua orang. Sebaliknya, tujuan utama Imam Husain as adalah untuk menyadarkan masyarakat Islam dan membawa kesadaran sosial. Bahkan membunuh musuh harus terjadi apabila ada kebutuhan yang mendesak dan kelayakan dalam tindakan.
Baca: Cukupkah dengan Menangis?
Kelima, kemurahan hati dan pengorbanan diri merupakan salah satu akhlak dan kebajikan anggun dari Ahlulbait a.s. Abul Fadhl Abbas berkorban dengan cara yang sama seperti ayahnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain berkorban dengan murah hati dan memberikan makanan yang sangat mereka butuhkan untuk berbuka puasa di bulan suci Ramadan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan selama tiga hari berturut turut sedangkan mereka sendiri dipaksa untuk tetap lapar sepanjang waktu ini.
*Dikutip dari buku Asyura Kebangkitan Imam Husain, Menjawab Fitnah dan Tuduhan karya Ali Ashgar Ridhwani