Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Mengapa Imam Husain Mempercayai Penduduk Kufah dan Memenuhi Undangannya?

Sering kita jumpai orang-orang yang mengkaji sejarah kehidupan Imam Husain a.s. merasa heran dan selalu bertanya-tanya, “Mengapa Imam Husain mempercayai penduduk Kufah dan bergantung kepada mereka dalam mewujudkan Revolusinya? Mengapa pula beliau memenuhi undangan mereka? Bukankah beliau adalah manusia yang paling pandai sehingga -semestinya- memahami adanya tipu muslihat dan akan terjadinya pembelotan di balik kesungguhan mereka? Bukankah beliau seharusnya belajar dari pengalaman ayahnya, Imam Ali dan saudaranya, Imam Hasan, apalagi setelah mendengar nasihat dari beberapa sahabat dan kerabatnya agar tidak memenuhi undangan atau pun mempercayai utusan mereka, disebabkan mereka terkenal sebagai bangsa penipu dan pengecut?”

Imam Husain bersikeras datang ke Irak karena hal itu sesuai dengan tuntutan syariat sebagaimana si pembawa syariat Islam telah memberlakukan hukum-hukumnya pada manusia menurut keadaan yang tampak (dhahir), atau dengan kata lain, hal-hal yang dhahir itu harus dijadikan hujah dan bukti serta sebab penentuan hukum. Sedangkan masalah yang sifatnya samar (tidak jelas) serta masih dalam anggapan, tidak dikategorikan sebagai acuan hukum dalam syariat Islam. Masalah demikian yang mengetahui hanyalah Allah Swt, sehingga yang berhak menentukan hukumnya dan memperhitungkannya kelak di hari Kiamat hanyalah Allah.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kamu bukan Mukmin kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda (kehidupan) di dunia, karena di sisi Allah terdapat harta yang banyak.” (QS. an-Nisa: 94)

Baca: Belajar Keberanian dari Imam Husein as

Diriwayatkan bahwa ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan seorang Muslim yang mengangkat senjatanya terhadap seorang musyrik dalam salah satu peperangan, lalu orang musyrik tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi Muslim bersikeras mengayunkan pedang dan membunuhnya. Insiden terdengar oleh Nabi Muhammad Saw yang selanjutnya memanggil si Muslim dan menanyakan ihwal kejadiannya sehingga ia membunuh orang musyrik tersebut, sedangkan dia telah mendengar dua kalimat syahadat terucap dari kedua bibirnya. Si Muslim membela dirinya, “Wahai Rasulullah, dia mengatakan demikian karena takut pada tajamnya pedang ini bukan karena keimanan sejati dan akidah yang benar.”

Rasul membantahnya, “Sejauh manakah pengetahuanmu atas hal itu? Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu mengetahui kebohongannya?” (Tafsir al-Manar, juz 5)

Teramat banyak nash Alquran mengenai keabsahan berhujah dalam hukum Islam dengan hal-hal yang dhahir, di antaranya firman Allah: “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS: an-Najm: 28)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS.: al-Isra: 36).

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kam mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS: al-Hujurat: 12)

Beberapa kaidah ushul fiqih berpedoman pada pekerjaan dhahir pelakunya, seperti kaidah tertuduh bebas dari hukuman sampai jelas tuntutannya. Ringkasnya, Islam adalah agama yang memandang manusia secara dhahir (apa yang tampak dari mereka). Dan hukum Islam tidak berkaitan dengan apa yang belum tampak. Bila alasan (kaidah-kaidah tersebut) dibenarkan, maka jelaslah bahwa penduduk Kufah telah menampakkan ketaatan dan kecintaan kepada Imam Husein dengan ketulusan dan kesungguhan yang belum pernah dijumpai. Sikap loyal mereka yang terang-terangan terhadap imamah ini telah tampak semenjak masa Muawiyah dan pada era Imam Hasan.

Bahkan, ketika mereka mendengar berita tentang meninggalnya Muawiyah yang disusul dengan penolakan Imam Husain untuk membaiat Yazid, tuntutan mereka terhadap Imam Husain semakin meluap. Ini ditandai dengan dikirimkannya beberapa utusan dan banyak sekali surat kepada Imam Husain di Madinah oleh mereka.

Ketika beliau berada di Mekah, mereka tetap berdatangan dengan tuntutan dan surat-surat dengan derasnya. Hingga dalam sehari saja Imam Husain menerima 600 lembar surat. Dan selama beliau berada di Mekah telah terkumpul di tangan beliau sebanyak 12.000 lembar surat dan setiap lembarnya ditandatangani oleh dua, tiga sampai empat orang. Semuanya isi surat itu mengulang-ulang ungkapan, “Wahai putra Rasulullah, datanglah! Kami tidak memiliki imam selain Anda. Sungguh telah menjadi hijau daun-daun dan menjadi masak buah-buahan, dan bergabunglah dengan tentara yang dipersenjatai untukmu.”

Maka, adakah hujah yang lebih tepat dan lebih kuat daripada memenuhi tuntutan mereka? Apakah alasan Imam Husain kelak di hadapan Allah dan di hadapan sejarah bila beliau menolak undangan mereka? Pantaskah jika beliau mengatakan, “Saya kira yang mereka lakukan itu hanyalah sebuah tipuan penentangan belaka.”

Imam Amirul Mukminin Ali a.s. pernah berkata terhadap gubernurnya yang di Mesir, Malik Al-Asytar “Sesungguhnya manusia memiliki aib-aib, dan gubernur lebih berhak untuk menutupinya. Maka, janganlah menyingkap apa yang tidak tampak olehmu. Sebab, kamu hanya diperbolehkan menyingkap apa yang jelas dan Allahlah yang akan menghukum apa yang tidak tampak olehmu.”

Rasulullah Saw sendiri sering memperlakukan orang-orang munafik seperti perlakuan terhadap orang-orang Muslim, meskipun beliau lebih mengetahui bahwa mereka menyembunyikan kemunafikan di balik tindakan mereka. Namun demikian, berdasarkan Islam menghukum manusia berdasarkan penyelewengan dan penentangannya yang ditampakkan.

Imam Husain telah bertindak menurut ketentuan syariat. Beliau memenuhi undangan penduduk Kufah setelah tidak henti-hentinya tuntutan dan undangan mereka, ditambah dengan adanya bukti lain berupa diterimanya beberapa surat dari duta dan wakil pribadinya yang bernama Muslim bin Aqil.

Muslim bin Aqil adalah orang yang diutus Imam Husain ke Kufah untuk menyelidiki sejauh mana kesungguhan penduduk Kufah dengan surat-surat mereka. Setelah menyimpulkan hasil penyelidikannya selama lebih dua bulan di Kufah, Muslim bin Aqil menulis surat dan menegaskan kepada bahwa penduduk Kufah telah siap mengorbankan jiwa, harta benda dan kemuliaan di bawah pimpinan Imam Husain. Selanjutnya, dia meminta Imam a.s. agar segera datang ke Kufah secepatnya.

Maka, apakah masih ada alasan (udzur) bagi Imam Husain untuk mendatangi mereka setelah semuanya demikian jelas?

Beliau a.s. pernah menjelaskan kepada putra pamannya, Abdullah bin Abbas, mengenai tanggung jawab beliau terhadap penduduk Kufah di waktu berangkat meneruskan perjalanan dengan terpaksa menuju Irak. Imam Husain berkata, “Wahai putra pamanku, telah banyak surat-surat mereka berdatangan kepadaku dan silih berganti pula berdatangan utusan mereka. Maka, wajiblah bagiku untuk mengabulkannya….”

Kita tahu bahwa kebangkitan Imam Husain bergerak menuju titik bentur dengan sebuah tembok pemerintahan yang terlalu kokoh. Oleh karenanya, dari tinjauan kaca mata politis dan pertimbangan yang bijaksana, beliau harus memiliki kekuatan yang besar pula untuk mendorong laju revolusinya. Pada saat yang sama, negeri Irak pada waktu itu merupakan negara besar dan kuat yang bisa dijadikan sandaran untuk mewujudkan revolusi yang dikehendaki oleh Imam Husain, mengingat letak geografis negara Irak dan posisi negeri itu yang strategis yang merupakan pusat perekonomian dan memiliki beberapa keistimewaan lain yang tidak dimiliki oleh wilayah lainnya.

Oleh sebab itu, AmiruI Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. pernah menjadikan (Irak) sebagai pusat pengendalian kepemimpinan dan ibu kota kekhalifahan, serta pusat komando gerakan revolusinya yang universal dan sangat pelik pasca Usman. Beliau pun mengadakan perombakan dan melepaskan masyarakat dari belenggu kebejatan moral dan penyelewengan-penyelewengan. Imam juga telah menggerakkan lebih dari 100.000 pasukan yang seluruhnya terdiri dari rakyat Irak ke perang Siffin.

Ringkasnya, kota Kufah adalah tempat yang paling potensial untuk menggalang setiap gerakan revolusioner. Sekiranya tidak ada suatu cacat pada negeri tersebut, niscaya semua keistimewaan revolusi akan dengan mudah terwujud. Sikap yang cepat berubah (membelot) dan tidak konsekuen agaknya telah menjadi ciri khas penduduk Irak pada umumnya, dan penduduk Kufah pada khususnya pada waktu itu.

Baca: Benarkah Imam Husein as “Sebenarnya” Dibunuh oleh Para Syi’ahnya Sendiri?

Walhasil, sekiranya Imam Husain tidak berangkat menuju Irak menuruti paksaan dan ajakan mereka, lalu ke mana kiranya beliau akan mengarahkan tujuannya setelah kehidupannya di Mekah menghadapi ancaman bahaya? Adakah di wilayah lain yang akan menerima dakwahnya selain di Irak? Apakah beliau akan tetap tinggal di Mekah sampai tertangkap dan menyerah kepada Yazid sebagai tawanan atau menjadi korban tipu daya dan terbunuh, karena pengkhianatan sehingga darahnya tumpah dengan sia-sia?

*Disarikan dari buku Asyura dalam Perspektif Islam – Syekh Abdul Wahab al-Kasyi

No comments

LEAVE A COMMENT